Share

6. Aku Yang Dinikahi, Dia Yang Dinafkahi

"Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu.

"Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu."

"Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!"

"Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."

Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda.

Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk madu cinta itu saling menyerukan nama masing-masing.

Dengan tubuh gemetaran Chava menyeret langkahnya kembali ke kamar. Tak ada air mata yang jatuh, sejak lama Chava sudah menyiapkan hati kalau sewaktu-waktu hal ini terjadi.

"Sadar diri, Va. Kamu dan Hana sangat jauh berbeda. Wanita itu cantik, cerdas, berpendidikan. Dia punya segudang pesona dan dengan semua yang dimilikinya mampu membuat para pria tergila-gila, termasuk suamimu." Chava tersenyum getir, mendadak salivanya terasa pahit. Di depan cermin Chava sibuk mematut diri.

"Sedangkan kamu! Apa yang bisa dibanggakan darimu? Sebatang kara, hanya lulusan SMA. Kamu sudah kalah sejak awal, Chava!"

Hampir sebulan sejak Hana menempati rumah itu. Azzam mengajak istri barunya pergi berbulan madu selama dua pekan di Bali. Menghabiskan cuti, memanfaatkan waktu sebaik mungkin demi bisa bersama dengan wanita yang sangat dicintainya.

Sebongkah merah bernama hati bak tercabik lalu ditaburi garam. Chava sakit hati meski dia mencoba menerimanya. Kenyataannya, Hana tak hanya memiliki hati Azzam secara utuh, tetapi waktu dan perhatian lelaki itu. Sejak awal Azzam sudah condong pada istri keduanya. Chava merasakan ketimpangan karena ketidakadilan Azzam dalam bersikap.

"Azzam, ih! Sudah cukup! Tolong tangannya dikondisikan. Kita sudah kesiangan, Zam."

Chava tersentak. Dia yang sedang mengganti gorden ruang tengah menghentikan pekerjaannya begitu melihat pintu kamar utama terbuka lebar. Derai tawa Azzam dan Hana terhenti, senyum perlahan memudar dari wajah mereka manakala menyadari keberadaan Chava di sana.

"Va, lagi apa kok naik-naik bangku, begitu?" Hana bertanya. Mendadak ia diserang canggung manakala tatapannya saling bertemu dengan kakak madunya.

"Oh, gordennya sudah kotor, mau aku ganti. Mbak Hana baru mau berangkat?"

"I-iya." Hana tampak gugup. Ia menyikut lengan suaminya. "Zam, bantuin Chava, gih! Kasihan masa perempuan suruh manjat-manjat kursi begitu."

"Tidak usah, Mas. Ini juga sudah selesai, kok. Mas Azzam sama Mbak Hana berangkat saja takutnya nanti kesiangan." Chava menjawab tanpa menatap lawan bicaranya.

"Kasihan Chava, Zam. Bantuin dulu, toh cuma sebentar."

"Kamu kan dengar sendiri Chava hampir selesai dengan pekerjaannya, sebaiknya kita berangkat sekarang kalau tidak mau telat sampai kantor."

"Iya, Mbak. Pergilah."

"Tuh, dengar! Chava itu bukan perempuan manja yang perlu kamu cemaskan. Dia bisa melakukan semuanya sendiri, selama ini juga begitu. Ayo!" Azzam menggandeng istri mudanya, berlalu dari sana.

Samar, Chava masih bisa mendengar suara Hana berpamitan padanya, lalu detik berikutnya pasangan pengantin baru itu lenyap di balik pintu. Tubuh itu limbung, hampir saja mencium lantai seandainya saja Chava tak gegas berpegangan.

Sekeras apa pun Chava berusaha menabahkan hati, nyatanya dia tak sekuat itu. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya yang tak berdaya. Andai saja dia bekerja sehingga tak menggantungkan hidupnya pada Azzam. Andai tak ada janin dalam perutnya, andai tak sedalam itu rasa cintanya. Chava tak perlu menderita sendiri bertahan di tempat yang bahkan kehadirannya sama sekali tak diharapkan.

Chava pikir ketersediaannya menerima Hana di rumah itu membuat Azzam bisa menerimanya juga sebagaimana lelaki itu menerima Hana. Akan tetapi lagi-lagi hanya kekecewaan yang Chava dapatkan. Harapannya bisa mendapat sedikit perhatian Azzam, tak pernah menjadi nyata. Lelaki itu justru semakin lengket dengan Hana. Tak jarang mereka memperlihatkan kemesraan di depan Chava tanpa memikirkan bagaimana hancurnya perasaan Chava.

"Gajiku bulan ini, bagi dua sama Chava ya." Azzam melepas dasi yang menjerat lehernya.

"Memang selama ini kamu kasih Chava berapa, Zam?"

Azzam tak langsung menjawab, dia menghempaskan bobotnya di bibir ranjang, menarik tangan Hana untuk duduk di pangkuannya. Sementara Hana masih menunggu jawaban lelaki itu karena dia tahu pasti berapa gaji suaminya per bulannya, dan uang pemberian Azzam barusan hanya sebagian dari nominal yang didapat Azzam selama sebulan dia bekerja.

"Selama ini dia hanya aku beri sepertiga dari gajiku saja, itu pun dia berikan sebagian untuk ibu."

"Apa!" Hana terbelalak. Dia tak menyangka lelaki yang biasanya royal terhadapnya, ternyata perhitungan pada Chava yang notabenenya merupakan istri pertama.

"Jangan bercanda, Zam. Uang segitu mana cukup!"

"Buktinya Chava tak pernah protes selama ini, dia juga tak pernah meminta lagi padaku. Itu artinya cukup, kan?"

"Chava diam bukan berarti cukup, Zam. Bisa saja dia tak enak hati kalau harus memintanya lagi padamu. Kamu tau, kebutuhan perempuan itu sangat banyak. Urusan dapur, keperluan listrik, air dan segala macam. Belum lagi untuk keperluan pribadi. Jatahmu buat Chava sedikit sekali, ditambah masih harus dibagi lagi buat ibu. Lalu kamu kemana kan sisa gajimu?"

"Jangan heran, Yang. Uangnya selalu aku bagi tiga selama ini. Buat aku sendiri, buat kamu, sama buat Chava. Itu saja sudah aku tambahi karena aku tau aku harus memberimu nafkah juga."

"Astaga, Azzam. Uang segini mana cukup, padahal Chava yang harus membeli semua kebutuhan hidup kita."

"Kan sudah aku tambahi." Azzam menyahut.

"Tetap saja kurang, apalagi sekarang aku juga tinggal di sini, artinya kebutuhan makin banyak. Ya sudah, biar bagian aku buat Chava sekalian. Toh, gajiku juga utuh."

"Yakin?" tanya Azzam menguji istri keduanya.

"Kenapa tidak?"

"Bukankah katamu kamu ingin punya rumah sendiri? Rumah yang kita tempati berdua, tanpa Chava."

"Iya juga. Ya sudah, aku kasih sebagian jatahku saja."

"Kamu memang sangat baik, jadi makin cinta." Azzam mencuri satu ciuman di bibir Hana.

"Aku kasihan sama Chava, Zam."

"Sudah, jangan memikirkan dia lagi. Cukup fokus saja padaku dan jadilah istri yang baik."

Obrolan mereka terhenti ketika tangan Azzam mulai bergerak nakal. Pengantin baru itu seolah tak pernah bosan untuk kegiatan yang satu itu. Tanda merah yang menghiasi leher masing-masing menjadi tanda betapa ganasnya dua anak manusia itu ketika menyelami samudera kenikmatan.

Chava mengurungkan niatnya memanggil suami beserta adik madunya untuk makan malam. Chava pikir setelah seharian bekerja akan membuat Azzam dan Hana merasa lapar. Akan tetapi rupanya bukan perut mereka yang lapar, tetapi bagian bawah perut yang mendesak untuk dikenyangkan juga.

Chava telah mendengar semuanya. Untuk kesekian kali, hatinya teriris pedih menyadari fakta itu terungkap. Awal menikah dengan Azzam, lelaki itu memang bekerja sebagai staf biasa, dan dari yang Chava ketahui Azzam berhasil naik pangkat enam bulan lalu. Tak sekali pun ia bertanya perihal gaji Azzam. Chava selalu bersyukur berapa pun uang yang diberikan lelaki itu padanya.

Namun, mengetahui fakta Hana menikmati penghasilan Azzam jauh sebelum keduanya menikah, juga dengan nominal yang jauh lebih besar dari apa yang diterima Chava. Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri.

'Mama harus bagaimana, nak?' Chava kembali ke kamar tanpa sempat mengisi perut terlebih dulu.

Masalah yang selalu datang selepas Azzam mengatakan niatnya menikah lagi, juga faktor hormon kehamilan membuat kewarasan Chava nyaris cidera.

Pagi harinya. Seperti biasa, Chava selalu dihadapkan dengan keromantisan suaminya bersama istri mudanya. Dengan rambut yang sama-sama masih setengah basah, Azzam menggandeng Hana menuju meja makan. Mereka makan dengan lahap, apalagi setelah semalaman penuh kegiatan ranjang yang mereka lakukan menguras habis tenaga mereka.

"Terima kasih uangnya, Mas. Mbak Hana sudah kasihkan ke aku pagi tadi." Chava berujar.

"Ya."

Berbeda ketika berinteraksi dengan Hana, Azzam akan selalu antusias dengan apa saja yang dikatakan wanita itu. Sedangkan ketika bersama Chava lelaki itu hanya berbicara seperlunya saja, bahkan terkesan enggan.

"Aku ke dalam dulu ambil tas sekalian sama kunci mobil," pamit Hana usai menghabiskan isi piringnya.

"Iya, Sayang."

Andai Chava lebih dulu pergi ke dapur, mungkin telinganya tak ternodai dengan panggilan mesra itu. Panggilan yang diam-diam ingin dapat dia dengar dari suaminya.

"Duduk, Va!" titah Azzam, dingin.

"Sebentar, aku taruh piring kotor dulu ke belakang."

"Nanti saja," cegah Azzam.

Chava menurut, ia kembali menempati kursinya. Sepersekian detik, keluarlah perkataan yang lagi-lagi sukses menghancurkan kepercayaan diri Chava. Ia pikir kesabarannya akan berbuah manis, lalu sampai kapan dia bisa bertahan dalam situasi seperti ini?

Azzam, lelaki itu terus mematahkan perjuangannya. Chava benar-benar tak dianggap. Hanya Hana yang menjadi poros kehidupan lelaki itu. Semua sudah terbukti. Pun dengan permintaan Azzam pada Chava kali ini. Tak cukup dengan membawakan adik madu, kini Azzam juga meminta sertifikat tanah pemberian Halimah sebagai hadiah pernikahan mereka dulu.

"Berikan aku sertifikat pemberian ibu. Aku harus membelikan rumah untuk Hana karena dia juga istriku. Nanti begitu aku sudah ada uangnya, akan aku ganti."

Chava mematung sejenak. Ditatapnya lurus manik mata lelaki itu, lelaki yang selama ini Chava jadikan sebagai dunianya. Lelaki yang Chava perlakukan selayaknya raja, kini tengah meminta satu-satunya benda berharga yang dimilikinya untuk dia berikan pada wanita lain. Azzam memintanya untuk Hana.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
erna trikoriani
Astagafirullah... bodoh si Chava ini. tinggalkan aja si Azzam.. sudah gak dianggap dijadikan budak pula...
goodnovel comment avatar
Sari Mbit
kpn chava ninggalin azzam, sedih q kalo tokoh utama lemah gini
goodnovel comment avatar
Alghifari
terlalu bodoh si chava itu untuk apa mempertahannkan orang yg jelas2 tidak menghargai dia sedikit pun biar pun itu suaminya,,, tinggalkan saja itu laki jangan mau jadik budak aja di rumah itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status