Home / Romansa / Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder / 6. Aku Yang Dinikahi, Dia Yang Dinafkahi

Share

6. Aku Yang Dinikahi, Dia Yang Dinafkahi

last update Last Updated: 2023-09-22 13:12:23

"Azzam, ih! Minggir sana!" Suara Hana terdengar manja mendayu-dayu.

"Jangan harap kamu bisa lolos, Han. Aku sudah terlalu lama menunggumu jadi terima saja hukumanmu."

"Jangan macam-macam, Zam. Sudah siang, kita bisa telat ke kantor!"

"Tidak, jika kamu bisa diajak bekerjasama."

Setelahnya tak terdengar lagi percakapan dua sejoli itu. Chava mematung di depan kamar dengan gagang kain pel di tangan, niatnya untuk membersihkan kamar adik madunya tertunda. Ia pikir Azzam dengan istri barunya sudah pergi ke kantor selagi dia membereskan dapur tadi, tapi rupanya pasangan yang masih dalam masa pengantin baru itu sedang menuntaskan sesuatu yang tertunda.

Suara tabu yang bahkan tak pernah Chava dengar sepanjang penyatuannya bersama Azzam, membuatnya ingin melarikan diri dari tempat itu detik ini juga. Akan tetapi kakinya seolah tertanam kuat di bumi. Chava bahkan tak sanggup sekadar menggeser tubuhnya. Ketika deru napas terdengar bersahutan dengan desahan, dua anak manusia yang sibuk mereguk madu cinta itu saling menyerukan nama masing-masing.

Dengan tubuh gemetaran Chava menyeret langkahnya kembali ke kamar. Tak ada air mata yang jatuh, sejak lama Chava sudah menyiapkan hati kalau sewaktu-waktu hal ini terjadi.

"Sadar diri, Va. Kamu dan Hana sangat jauh berbeda. Wanita itu cantik, cerdas, berpendidikan. Dia punya segudang pesona dan dengan semua yang dimilikinya mampu membuat para pria tergila-gila, termasuk suamimu." Chava tersenyum getir, mendadak salivanya terasa pahit. Di depan cermin Chava sibuk mematut diri.

"Sedangkan kamu! Apa yang bisa dibanggakan darimu? Sebatang kara, hanya lulusan SMA. Kamu sudah kalah sejak awal, Chava!"

Hampir sebulan sejak Hana menempati rumah itu. Azzam mengajak istri barunya pergi berbulan madu selama dua pekan di Bali. Menghabiskan cuti, memanfaatkan waktu sebaik mungkin demi bisa bersama dengan wanita yang sangat dicintainya.

Sebongkah merah bernama hati bak tercabik lalu ditaburi garam. Chava sakit hati meski dia mencoba menerimanya. Kenyataannya, Hana tak hanya memiliki hati Azzam secara utuh, tetapi waktu dan perhatian lelaki itu. Sejak awal Azzam sudah condong pada istri keduanya. Chava merasakan ketimpangan karena ketidakadilan Azzam dalam bersikap.

"Azzam, ih! Sudah cukup! Tolong tangannya dikondisikan. Kita sudah kesiangan, Zam."

Chava tersentak. Dia yang sedang mengganti gorden ruang tengah menghentikan pekerjaannya begitu melihat pintu kamar utama terbuka lebar. Derai tawa Azzam dan Hana terhenti, senyum perlahan memudar dari wajah mereka manakala menyadari keberadaan Chava di sana.

"Va, lagi apa kok naik-naik bangku, begitu?" Hana bertanya. Mendadak ia diserang canggung manakala tatapannya saling bertemu dengan kakak madunya.

"Oh, gordennya sudah kotor, mau aku ganti. Mbak Hana baru mau berangkat?"

"I-iya." Hana tampak gugup. Ia menyikut lengan suaminya. "Zam, bantuin Chava, gih! Kasihan masa perempuan suruh manjat-manjat kursi begitu."

"Tidak usah, Mas. Ini juga sudah selesai, kok. Mas Azzam sama Mbak Hana berangkat saja takutnya nanti kesiangan." Chava menjawab tanpa menatap lawan bicaranya.

"Kasihan Chava, Zam. Bantuin dulu, toh cuma sebentar."

"Kamu kan dengar sendiri Chava hampir selesai dengan pekerjaannya, sebaiknya kita berangkat sekarang kalau tidak mau telat sampai kantor."

"Iya, Mbak. Pergilah."

"Tuh, dengar! Chava itu bukan perempuan manja yang perlu kamu cemaskan. Dia bisa melakukan semuanya sendiri, selama ini juga begitu. Ayo!" Azzam menggandeng istri mudanya, berlalu dari sana.

Samar, Chava masih bisa mendengar suara Hana berpamitan padanya, lalu detik berikutnya pasangan pengantin baru itu lenyap di balik pintu. Tubuh itu limbung, hampir saja mencium lantai seandainya saja Chava tak gegas berpegangan.

Sekeras apa pun Chava berusaha menabahkan hati, nyatanya dia tak sekuat itu. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya yang tak berdaya. Andai saja dia bekerja sehingga tak menggantungkan hidupnya pada Azzam. Andai tak ada janin dalam perutnya, andai tak sedalam itu rasa cintanya. Chava tak perlu menderita sendiri bertahan di tempat yang bahkan kehadirannya sama sekali tak diharapkan.

Chava pikir ketersediaannya menerima Hana di rumah itu membuat Azzam bisa menerimanya juga sebagaimana lelaki itu menerima Hana. Akan tetapi lagi-lagi hanya kekecewaan yang Chava dapatkan. Harapannya bisa mendapat sedikit perhatian Azzam, tak pernah menjadi nyata. Lelaki itu justru semakin lengket dengan Hana. Tak jarang mereka memperlihatkan kemesraan di depan Chava tanpa memikirkan bagaimana hancurnya perasaan Chava.

"Gajiku bulan ini, bagi dua sama Chava ya." Azzam melepas dasi yang menjerat lehernya.

"Memang selama ini kamu kasih Chava berapa, Zam?"

Azzam tak langsung menjawab, dia menghempaskan bobotnya di bibir ranjang, menarik tangan Hana untuk duduk di pangkuannya. Sementara Hana masih menunggu jawaban lelaki itu karena dia tahu pasti berapa gaji suaminya per bulannya, dan uang pemberian Azzam barusan hanya sebagian dari nominal yang didapat Azzam selama sebulan dia bekerja.

"Selama ini dia hanya aku beri sepertiga dari gajiku saja, itu pun dia berikan sebagian untuk ibu."

"Apa!" Hana terbelalak. Dia tak menyangka lelaki yang biasanya royal terhadapnya, ternyata perhitungan pada Chava yang notabenenya merupakan istri pertama.

"Jangan bercanda, Zam. Uang segitu mana cukup!"

"Buktinya Chava tak pernah protes selama ini, dia juga tak pernah meminta lagi padaku. Itu artinya cukup, kan?"

"Chava diam bukan berarti cukup, Zam. Bisa saja dia tak enak hati kalau harus memintanya lagi padamu. Kamu tau, kebutuhan perempuan itu sangat banyak. Urusan dapur, keperluan listrik, air dan segala macam. Belum lagi untuk keperluan pribadi. Jatahmu buat Chava sedikit sekali, ditambah masih harus dibagi lagi buat ibu. Lalu kamu kemana kan sisa gajimu?"

"Jangan heran, Yang. Uangnya selalu aku bagi tiga selama ini. Buat aku sendiri, buat kamu, sama buat Chava. Itu saja sudah aku tambahi karena aku tau aku harus memberimu nafkah juga."

"Astaga, Azzam. Uang segini mana cukup, padahal Chava yang harus membeli semua kebutuhan hidup kita."

"Kan sudah aku tambahi." Azzam menyahut.

"Tetap saja kurang, apalagi sekarang aku juga tinggal di sini, artinya kebutuhan makin banyak. Ya sudah, biar bagian aku buat Chava sekalian. Toh, gajiku juga utuh."

"Yakin?" tanya Azzam menguji istri keduanya.

"Kenapa tidak?"

"Bukankah katamu kamu ingin punya rumah sendiri? Rumah yang kita tempati berdua, tanpa Chava."

"Iya juga. Ya sudah, aku kasih sebagian jatahku saja."

"Kamu memang sangat baik, jadi makin cinta." Azzam mencuri satu ciuman di bibir Hana.

"Aku kasihan sama Chava, Zam."

"Sudah, jangan memikirkan dia lagi. Cukup fokus saja padaku dan jadilah istri yang baik."

Obrolan mereka terhenti ketika tangan Azzam mulai bergerak nakal. Pengantin baru itu seolah tak pernah bosan untuk kegiatan yang satu itu. Tanda merah yang menghiasi leher masing-masing menjadi tanda betapa ganasnya dua anak manusia itu ketika menyelami samudera kenikmatan.

Chava mengurungkan niatnya memanggil suami beserta adik madunya untuk makan malam. Chava pikir setelah seharian bekerja akan membuat Azzam dan Hana merasa lapar. Akan tetapi rupanya bukan perut mereka yang lapar, tetapi bagian bawah perut yang mendesak untuk dikenyangkan juga.

Chava telah mendengar semuanya. Untuk kesekian kali, hatinya teriris pedih menyadari fakta itu terungkap. Awal menikah dengan Azzam, lelaki itu memang bekerja sebagai staf biasa, dan dari yang Chava ketahui Azzam berhasil naik pangkat enam bulan lalu. Tak sekali pun ia bertanya perihal gaji Azzam. Chava selalu bersyukur berapa pun uang yang diberikan lelaki itu padanya.

Namun, mengetahui fakta Hana menikmati penghasilan Azzam jauh sebelum keduanya menikah, juga dengan nominal yang jauh lebih besar dari apa yang diterima Chava. Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang istri.

'Mama harus bagaimana, nak?' Chava kembali ke kamar tanpa sempat mengisi perut terlebih dulu.

Masalah yang selalu datang selepas Azzam mengatakan niatnya menikah lagi, juga faktor hormon kehamilan membuat kewarasan Chava nyaris cidera.

Pagi harinya. Seperti biasa, Chava selalu dihadapkan dengan keromantisan suaminya bersama istri mudanya. Dengan rambut yang sama-sama masih setengah basah, Azzam menggandeng Hana menuju meja makan. Mereka makan dengan lahap, apalagi setelah semalaman penuh kegiatan ranjang yang mereka lakukan menguras habis tenaga mereka.

"Terima kasih uangnya, Mas. Mbak Hana sudah kasihkan ke aku pagi tadi." Chava berujar.

"Ya."

Berbeda ketika berinteraksi dengan Hana, Azzam akan selalu antusias dengan apa saja yang dikatakan wanita itu. Sedangkan ketika bersama Chava lelaki itu hanya berbicara seperlunya saja, bahkan terkesan enggan.

"Aku ke dalam dulu ambil tas sekalian sama kunci mobil," pamit Hana usai menghabiskan isi piringnya.

"Iya, Sayang."

Andai Chava lebih dulu pergi ke dapur, mungkin telinganya tak ternodai dengan panggilan mesra itu. Panggilan yang diam-diam ingin dapat dia dengar dari suaminya.

"Duduk, Va!" titah Azzam, dingin.

"Sebentar, aku taruh piring kotor dulu ke belakang."

"Nanti saja," cegah Azzam.

Chava menurut, ia kembali menempati kursinya. Sepersekian detik, keluarlah perkataan yang lagi-lagi sukses menghancurkan kepercayaan diri Chava. Ia pikir kesabarannya akan berbuah manis, lalu sampai kapan dia bisa bertahan dalam situasi seperti ini?

Azzam, lelaki itu terus mematahkan perjuangannya. Chava benar-benar tak dianggap. Hanya Hana yang menjadi poros kehidupan lelaki itu. Semua sudah terbukti. Pun dengan permintaan Azzam pada Chava kali ini. Tak cukup dengan membawakan adik madu, kini Azzam juga meminta sertifikat tanah pemberian Halimah sebagai hadiah pernikahan mereka dulu.

"Berikan aku sertifikat pemberian ibu. Aku harus membelikan rumah untuk Hana karena dia juga istriku. Nanti begitu aku sudah ada uangnya, akan aku ganti."

Chava mematung sejenak. Ditatapnya lurus manik mata lelaki itu, lelaki yang selama ini Chava jadikan sebagai dunianya. Lelaki yang Chava perlakukan selayaknya raja, kini tengah meminta satu-satunya benda berharga yang dimilikinya untuk dia berikan pada wanita lain. Azzam memintanya untuk Hana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
erna trikoriani
Astagafirullah... bodoh si Chava ini. tinggalkan aja si Azzam.. sudah gak dianggap dijadikan budak pula...
goodnovel comment avatar
Sari Mbit
kpn chava ninggalin azzam, sedih q kalo tokoh utama lemah gini
goodnovel comment avatar
Alghifari
terlalu bodoh si chava itu untuk apa mempertahannkan orang yg jelas2 tidak menghargai dia sedikit pun biar pun itu suaminya,,, tinggalkan saja itu laki jangan mau jadik budak aja di rumah itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    159.

    Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    Bab. 158.

    Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    157.

    Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    156.

    "Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    155.

    Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    154.

    "Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status