Share

5. Seatap Dengan Adik Madu

"Zam."

Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.

Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.

'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.

Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga mata Azzam mengembun tak kuasa menatap mata bening Chava. Tak peduli betapa lelahnya wanita itu, bagaimana perasaannya, tak pernah sekali pun Chava melalaikan tugasnya sebagai istri. Belum pernah sekali pun bibir itu melontarkan keluhan.

"Kenapa aku perhatikan dari tadi kamu murung, Zam?" Hana menatap suaminya dari pantulan cermin. Ia tengah sibuk membersihkan sisa riasan di wajah. Keduanya telah berada di kamar hotel begitu resepsi berakhir.

"Hanya perasaanmu saja." Azzam menjawab sekenanya. Duduk di ranjang, berada dalam ruangan yang sama dengan Hana, tetapi kadang kala bayangan Chava datang tanpa permisi. Hingga mengalihkan perhatian lelaki itu.

"Wajahmu terus mendung. Apa karena Chava? Dia pulang bahkan tanpa pamit. Apa sebenarnya dia tidak benar-benar merestui pernikahan kita, Zam?"

"Jangan membuang waktu memikirkan hal yang akan membuatmu terluka." Azzam meraih ponsel yang sejak pagi ia matikan, kemudian menunjukkannya pada Hana.

"Dia sudah pamit, katanya agak kurang sehat."

Hana membaca barisan kata dalam kolom room chat suaminya dengan kakak madu, lalu memandangi Azzam dalam diam.

"Kalau memang dia nggak merestui kita, nggak mungkin kita menikah sekarang. Sudahlah, jangan merusak hari bahagia kita dengan terus memikirkan soal Chava. Dia sengaja pulang lebih awal karena memang butuh istirahat. Sama seperti kita, dia pasti juga kelelahan setelah beberapa hari ini membantu persiapan pernikahan kita," ucap Azzam yang langsung tahu apa yang sedang ada dalam pikiran Hana.

Azzam mengangsurkan tubuhnya memangkas jarak menyadari sang istri masih bergeming.

"Pergilah mandi, aku sudah tidak tahan," bisik Azzam membuat Hana merinding.

"Ih, dasar!" Hana memekik manja sambil memukul mesra dada suaminya.

Ketika Hana tengah mengurung diri di kamar mandi, Azzam berusaha menepis bayangan Chava. Dia tak mau merusak suasana malam pengantinnya, malam yang telah begitu lama Azzam nantikan.

Dinginnya malam berbanding terbalik dengan suasana kamar di mana dua anak manusia tengah sibuk berbagi raga. Malam itu, Hana berhasil menumpahkan darah di seprai sebagai bukti bahwa Azzam adalah yang pertama. Hana pandai memanaskan suasana hingga bayangan Chava benar-benar lenyap dari kepala Azzam. Betapa Azzam dibuat mabuk kepayang ketika berkali-kali dia harus meninggi dan tumbang penuh kepuasan.

"Terima kasih banyak, Yang. Aku sangat mencintaimu," bisik Azzam dengan tangan melingkari perut Hana begitu permainan panas keduanya berakhir.

Kedua anak manusia itu saling berpelukan, tanpa sekat. Peluh yang mengucur, kondisi peraduan yang tak ubahnya kapal pecah juga jejak cinta yang ditinggalkan Azzam di tubuh Hana menjadi bukti keganasan lelaki itu.

"Maaf kalau aku belum bisa mengimbangi permainanmu, Zam. Bisa jadi Chava jauh lebih bisa memuaskanmu ketimbang aku, dia pasti jauh lebih mahir mengingat kalian sudah menikah cukup lama. Tapi kamu tidak usah khawatir, biar nanti aku belajar padanya agar aku bisa ...,"

Azzam membalikkan badan Hana yang semula berbaring memunggunginya. Gerakannya menghentikan perkataan Hana, tatapan keduanya saling bertautan.

"Sudah kubilang jangan pernah membahas soal Chava kalau kita sedang berdua, apalagi ini malam pengantin kita. Fokus saja hanya pada kita berdua. Aku tidak bisa membandingkan kalian berdua, tolong ... kamu sendiri tau betul alasan aku menikahinya."

"Iya, maaf." Hana mencicit manja lalu menubruk dada Azzam dan tenggelam di sana.

"Istirahatlah sebentar."

"Sebentar?" Hana mendongak.

"Jangan harap aku akan membiarkanmu tidur nyenyak malam ini. Aku sudah cukup bersabar selama ini, Yang. Pokoknya, malam ini aku ingin melakukannya sampai puas."

"Ah, Azzam! Masih sakit, tau."

Pekikan manja Hana semakin membuat Azzam berhasrat untuk kembali melakukan pendakian. Azzam benar-benar mewujudkan ucapannya dengan tidak membiarkan Hana lolos malam itu.

Malam makin merambat naik. Meski lelah mendera akibat aktivitas sejak pagi hingga malam meninggi, tak lantas membuat Azzam mengurungkan niatnya mengajak istri keduanya mengarungi lautan cinta berbalut kenikmatan. Rintihan tertahan yang sesekali disertai kesakitan Hana, sungguh membuat Azzam menggila. Lelaki itu dibuat lupa pada sosok istri pertamanya.

Jika sang suami tengah sibuk mereguk kenikmatan bersama wanita yang dicintainya, di tempat yang berbeda Chava justru sedang berperang melawan rasa sakit. Tak hanya hatinya, pun fisiknya yang dihajar letih sejak beberapa hari terakhir. Belum lagi drama mual muntah yang ia rasa semakin parah.

"Berhenti memikirkan dia, Va. Mereka pasti sedang ...," Chava menggelengkan kepala berusaha mengusir bayangan tentang aktivitas yang sedang dilakukan suaminya bersama istri barunya malam ini.

Salahkan Chava yang terlalu banyak berharap pada pernikahannya. Seharusnya dia sadar diri, Azzam menikahinya hanya demi bakti. Salahkan Chava yang sudah dengan mudahnya menjatuhkan hati pada Azzam. Andai Chava sadar diri dari awal, rasanya tak akan semenyakitkan ini ketika dia ditinggal menikah lagi.

"Sabar ya, Sayang. Demi kamu Mama akan coba bertahan agar kamu juga mendapatkan hakmu, tapi kita perlu bersabar. Saat ini papamu sedang menikmati kebahagiaannya menjadi pengantin baru." Chava mengelus perutnya.

Air matanya kembali menitik saat teringat saat ini dia hanya seorang diri, menahan rasa nyeri diselimuti kesepian dan dinginnya malam. Sementara jauh di sana lelaki yang dicintainya tengah merengkuh kenikmatan bersama wanita lain.

Chava membenci perasaannya yang sulit dikendalikan. Andai tak ada kehidupan baru di dalam rahimnya, mungkin sudah sejak hari itu dia memutuskan pergi. Sejatinya, tak ada satu pun wanita di dunia ini yang rela dimadu.

Kehidupan rumah tangganya berjalan lancar selama ini, dia dan Azzam membina hubungan baik meski pria itu kerap bersikap dingin. Karir Azzam juga terus menanjak, cemerlang hingga sesukses ini. Kebahagiaan mereka makin lengkap manakala Tuhan menitipkan anugerahnya sebagai bukti cinta mereka. Chava kira sebahagia itu kehidupan rumah tangganya.

Namun, sayangnya kebahagiaan yang Chava pikir akan bisa membuat pasangan lain di luar sana menjadi iri, justru hanya kebahagiaan semu. Chava ingin pergi, tapi ada hal yang menahannya. Chava telah bertekad untuk bertahan demi bayinya, dia tak bisa egois.

Dibangunkan oleh desakan dari dalam perut yang kemudian menjalar naik, setengah berlari Chava menghambur ke kamar mandi. Cukup lama Chava berdiri di depan wastafel, sampai tak ada yang keluar dari mulutnya. Tak hanya rasa mual yang luar biasa menyiksa, Chava juga merasa pusing dan lemas.

"Anak manis, Mama tau kamu anak pintar. Bantu Mama melewati masa sulit ini ya, Nak. Entah harus dengan apa Mama ungkapkan, betapa Mama sangat bersyukur dengan kehadiranmu."

Dengan tubuh lemah Chava menyeret langkahnya, tertatih meniti setiap anak tangga demi bisa mencapai dapur. Segelas teh mungkin akan membantu meredakan mual yang dirasakannya. Chava menelan ludahnya saat tiba-tiba saja membayangkan sarapan bubur ayam yang ada di depan pintu masuk perumahan.

Ah, lagi-lagi dia hanya bisa menelan kekecewaan. Chava memang memiliki suami, tapi bukan seperti suami kebanyakan orang. Chava harus membiasakan diri untuk menjalani kehamilan itu sendirian.

"Chava!"

Tubuh Chava menegang. Suara itu amat dikenalinya.

'Apa aku berhalusinasi? Kenapa aku seperti mendengar suara Mas Azzam. Ini pasti salah, dia sedang menikmati masa pengantin baru di hotel, mana mungkin dia ada di sini sekarang.' Chava membatin.

Selepas minum teh, Chava merasa lebih baik hingga dia memutuskan untuk membeli bubur ayam sendiri.

"Chava."

Sekali lagi, panggilan itu terdengar. Kali ini jauh lebih jelas. Chava masih bergeming di depan pintu pagar yang baru saja ditutupnya. Ibu hamil itu pun membalikkan badan, menoleh ke arah sumber suara.

Seperti mimpi, tubuh Chava mematung. Antara tak percaya, tapi juga bahagia saat melihat sosok yang semalaman ini terus dia bayangkan, tengah berdiri di depan mata.

"Mas Azzam?"

Ada setitik bahagia menghinggapi rongga dada Chava, ia pikir suaminya akan melupakannya, tapi rupanya Azzam kembali ke rumah pagi ini. Hingga kemudian senyum yang tergambar di wajah Chava perlahan memudar manakala ia melihat sosok yang tersembunyi di balik tubuh suaminya. Saking bahagianya, Chava bahkan tak menyadari kalau ternyata adik madunya tengah berada di sana, juga dua buah koper besar yang berjajar tak jauh dari mereka.

"Hai, Va." Hana tersenyum manis.

"Hana akan tinggal bersama kita mulai hari ini. Jadilah kakak madu yang baik." Begitu Azzam berucap.

Hancur. Selaksa asa lebur menjadi debu. Bayangan bisa bermanja dan berbagi berita kehamilan yang akan membuat Azzam bahagia. Melewati waktu berdua, hanyalah angan. Sebuah mimpi mahal yang entah kapan akan terlaksana.

Chava pikir dirinyalah yang menjadi alasan kepulangan Azzam pagi ini. Akan tetapi rupanya dia telah keliru. Mana mungkin Azzam memikirkannya sedang tak pernah ada namanya di dalam hati lelaki itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rokhani Khani
penghiatan yg menyakitkan. hukum akan berlaku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status