Share

8. Sebuah Tragedi

Senyum di bibir Chava memudar begitu menyadari apa yang dia bayangkan tak menjadi kenyataan. Ia pikir Azzam akan berteriak antusias mendengar kabar itu, lalu memeluknya dan mengucapkan kata-kata manis. Serasa hendak terbang tetapi belum apa-apa sudah langsung dihempaskan sampai ke dasar jurang saat ketakutan itu terjadi.

Azzam terpaku dengan pandangan kosong, alih-alih bahagia mendengar kabar kehamilan Chava, lelaki itu justru menatap istri mudanya. Pun sama dengan Hana yang bibirnya terkatup rapat. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain, sampai akhirnya mereka sadar ada Chava di tengah-tengah mereka.

Semua sudah cukup membuktikan kalau Azzam tak pernah menginginkan anak dari Chava. Betapa bodohnya Chava, kehadirannya saja tak pernah dianggap ada oleh suaminya sendiri, apalagi anaknya.

"Sudah siang, Mbak. Nanti telat ke kantornya." Chava mengambil alih kotak susu di tangan Hana.

"Kamu hamil, Va?" Sekali lagi Hana bertanya.

Melalui ekor matanya, Chava dapat menangkap seberkas rasa iri yang terpancar dari mata adik madunya. Entah hanya perasaan Chava saja, tetapi seolah ada ketakutan dalam diri Hana. Mungkin Hana pikir kehamilan Chava akan mengancam hubungannya dengan Azzam.

Hana juga sesekali menatap Azzam pilu, seakan kabar kehamilan Chava sungguh melukai perasaannya. Melalui tatapan itu pula Chava tahu betapa Hana sangat ingin bisa hamil sepertinya.

"Iya, Mbak." Pada akhirnya Chava menjawab.

"Berapa bulan?"

"Jalan lima."

"Apa? Sudah selama itu dan kamu nggak ada kasih tau sama kita?" Hana terperanjat.

"Waktu aku tau hamil, di saat bersamaan Mas Azzam kasih tau kalau dia mau nikahi Mbak Hana. Aku cuma tidak mau menambah beban pikirannya, selama ini aku sengaja diam karena tak ingin mengusik kebahagiaan kalian yang sedang dalam masa pengantin baru," jelas Chava.

Ibu hamil itu menaruh bungkus susu ke tempat semula. Chava kemudian mengambil kotak bekal yang telah dia siapkan untuk suami dan adik madunya.

"Han," panggil Azzam penuh kekhawatiran. Cukup lama mengenal wanita itu membuat Azzam tahu betul apa yang saat ini tengah dirasakan Hana.

"Ini bekalnya, Mbak. Hati-hati di jalan, nanti makan malam mau dimasakin apa?" Chava berusaha mengurai suasana yang mendadak canggung.

"Nanti saja Hana kirim pesan sama kamu. Kami berangkat sekarang, sudah siang," pungkas Azzam sembari menggandeng tangan Hana mengajaknya pergi dari sana.

Sepi.

Chava menarik kursi dan lekas menempatinya sebelum ia tumbang. Luar biasa perih hatinya. Azzam kentara sekali mencemaskan Hana, khawatir perasaannya terlukai dengan kehamilan Chava, sementara pada Chava lelaki itu tak peduli sedikit pun.

Ah, tak ingin berlarut dalam kesedihan, Chava memutuskan menunda membuat salad buah. Ia mengembalikan mangga yang sudah dia kupas ke dalam lemari pendingin. Pagi ini dia berencana untuk pergi ke pasar membeli kebutuhan yang kebetulan sudah habis semua.

"Ya ampun," lirih Chava kebingungan. Ia membuka laci lemarinya, tetapi ternyata tak ada selembar pun uang tersisa di tempat biasa dia menyimpannya.

Chava tertegun, selain hilang kebiasaan cium tangan sebelum dan sesudah Azzam pulang kerja, dia pun sudah tiga bulan ini tak lagi diberi nafkah seperti biasanya. Jika biasanya uang untuknya diberikan melalui Hana setelah beberapa hari berlalu dari tanggal Azzam gajian, puncaknya bulan ini. Dia sama sekali tak diberi uang. Ternyata menjadi ibu rumah tangga yang sama sekali tak menghasilkan itu sangat merepotkan.

Chava yang terbiasa menadahkan tangan pada Azzam, seketika dibuat berpikir keras. Memutar otak demi kompor di dapur tetap menyala, demi kebutuhan lainnya bisa terpenuhi. Sekilas, tatapan Chava tertuju pada cincin pernikahannya. Hanya tersisa itu saja barang berharga yang dia punya saat ini.

"Apa aku gadaikan atau dijual saja cincinnya ya?" Chava menimbang sesaat.

Detik berikutnya, Chava memutuskan untuk berganti pakaian dan pergi ke pasar. Akan dia gadaikan cincin kawinnya, nanti setelah dapat uang dari Azzam barulah dia akan menebusnya. Begitu pikir Chava.

Andai masih ada beras di rumah, mungkin Chava tak akan bertindak sejauh itu. Dia hanya tak mau membiarkan suami dan istri barunya pulang kerja dalam keadaan kelaparan dan tak mendapatkan makanan di rumah. Dia akan semakin kesulitan jika disalahkan nantinya.

Chava meninggalkan pegadaian dengan beberapa lembar uang merah di tangan. Rumah sakit menjadi tujuan utamanya untuk melakukan kontrol kehamilan rutin yang seharusnya dia lakukan sejak seminggu lalu. Sampai di sana rupanya antrean pasien cukup panjang. Chava baru bisa mendapatkan sekantong plastik berisi vitamin semasa hamil ketika sore menjelang.

Chava melanjutkan perjalanan dengan berburu bahan makanan di supermarket terdekat dan sesampainya di rumah saat gelap mendekap bumi sepenuhnya.

"Dari mana, Va?"

Chava kaget melihat sosok lelaki yang duduk di teras rumahnya. Pria itu kemudian mendekat untuk membantu mengangkat beras dan barang belanjaan Chava.

"Habis belanja, Om. Om Heru sudah lama?"

"Belum terlalu. Kenapa nggak minta tolong Azzam buat bawakan? Ini berat, apalagi kamu sedang hamil."

"Tadi sekalian ada perlu, Om. Terima kasih," ujarnya saat Heru menaruh barang belanjaannya di dapur.

"Silakan duduk, Om. Biar aku buatkan teh."

"Tidak usah repot-repot."

"Hanya teh, Om."

Heru mengedarkan pandangan sekilas. Rumah cukup sepi.

"Suamimu belum pulang? Padahal biasanya jam enam sudah ada di rumah. Apa semenjak menikah lagi, dia jadi sering terlambat pulang?"

Prang!

"Astaga! Kamu baik-baik saja?" Heru menjauhkan tubuh Chava dari pecahan kaca.

Chava tak sengaja menjatuhkan cangkir kopi lantaran terlalu kaget. Dia tak menyangka Heru mengetahui pernikahan kedua suaminya.

"Jadi Om sudah tau kalau Mas Azzam menikah lagi? Sejak kapan?" Manik itu memancarkan tanya.

"Om pernah ke sini waktu itu dan tidak sengaja melihat suamimu merangkul mesra seorang wanita cantik. Saat itulah Om tau kalau ternyata Azzam menduakanmu."

"Om, tolong jangan beritahu ibu. Chava takut kondisinya drop kalau ibu sampai tau pernikahan kedua Mas Azzam."

"Kalau soal itu kamu tidak perlu cemas, Om belum pernah menceritakan perihal pernikahan ke dua suamimu pada siapa pun." Heru menghela napas, menatap istri dari keponakannya itu dengan penuh keheranan.

"Kamu ini aneh, Va. Suami kawin lagi kok diizinkan. Memangnya apa kurangmu?"

"Chava terpaksa, Om. Chava tidak bisa melarang keinginan Mas Azzam." Wanita itu tertunduk. Ketidakberdayaan yang membuatnya terpaksa menelan semua kepahitan ini.

"Jangan menderita sendiri sementara kamu bisa mengambil keputusan dan berbahagia," kata Heru.

"Maksud Om Heru?"

Heru memangkas jarak, tatapannya mengerikan dan gerak tubuhnya sungguh membuat Chava merinding. Wanita itu beringsut menjauh.

"Jangan pura-pura bodoh, Va. Selama ini Om perhatian sama kamu, Om memiliki rasa lebih sama kamu. Bukan sebagai paman dan keponakan, melainkan sebagai seorang laki-laki terhadap wanita," ucap Heru disusul seringai menakutkan.

"Om Heru sudah menikah, begitu pula aku. Jangan melantur, Om." Chava bergerak menjauh. Gelagat Heru mulai mencurigakan, dan itu membuatnya takut.

"Cerai sama Azzam! Kamu bisa membalas dendam padanya dengan menikah denganku. Jadilah istri keduaku, Om janji akan memenuhi seluruh kebutuhanmu, termasuk membahagiakanmu juga. Hal yang tidak bisa Azzam lakukan untukmu."

"Om jangan macam-macam!" Chava memekik. Setiap kali dia menjauh, Heru terus saja mengejarnya.

Merasa sedang dalam bahaya, Chava berlari hendak meninggalkan rumah. Akan tetapi kondisinya yang sedang berbadan dua membuat pergerakannya menjadi terbatas. Naas, Heru berhasil menangkapnya.

"Om, lepas!" Chava mendorong tubuh Heru kala pria itu berhasil memeluknya.

"Kamu itu cantik, Va. Bahkan jauh lebih cantik dari istri kedua Azzam yang bodoh itu. Bisa-bisanya dia tega mencampakkanmu dengan menikahi wanita lain. Sungguh bodoh!"

"Lepas, Om! Ingat, aku ini istri keponakanmu. Sadar, Om."

Air mata mulai membanjiri wajah Chava. Dia sangat ketakutan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Meronta dengan sekuat tenaga pun rasanya percuma. Bukannya iba, Heru justru semakin beringas.

"Sudah sangat lama aku memimpikan bisa mencicipi tubuhmu yang indah ini, Va. Aku perhatikan kamu semakin cantik dan menggairahkan dalam keadaan hamil begini," bisik Heru penuh nafsu. Tatapannya menelanjangi Chava dan itu membuat Chava risih.

Di tengah ketakutan yang mendera, Chava menendang pangkal paha Heru. Dengan cepat dia memanfaatkan keadaan untuk lari secepat yang dia bisa.

"Chava! Jangan berani kabur. Bersikap baiklah selagi aku masih bisa sabar. Jika kamu terus bersikap seperti ini, maka jangan salahkan kalau aku melakukannya dengan kasar."

Heru meringis memegangi alat vitalnya. Meski tendangan Chava tak begitu keras, tapi tetap saja dia merasa kesakitan. Heru kemudian berlari menyusul Chava, dan lagi-lagi dia berhasil menangkap wanita itu.

Chava yang merasakan sakit di perutnya tak bisa berlari dengan cepat, kini tubuhnya tenggelam dalam dekapan kokoh pria laknat itu. Heru menyeringai, tangannya mulai bergerilya membuat Chava menangis jejeritan.

"Tolong, Om. Kalau memang Om tidak peduli padaku, kasihanilah bayi dalam kandunganku, Om," pinta Chava mengiba, berharap lelaki yang serupa monster itu masih memiliki sedikit belas kasihan padanya.

"Jangan coba membujukku, apalagi menggunakan air matamu sebagai senjata karena aku tidak akan mundur sedikit pun setelah sekian lama kesempatan ini datang padaku."

Heru menarik paksa Chava ke kamar, membanting tubuh wanita itu di kasur. Tak peduli tangisan kesakitan bercampur rasa takut Chava. Tak peduli wanita itu terus meronta, mengiba untuk dilepaskan. Melihat wanita hamil itu lemas tak berdaya, Heru melucuti helaian kain yang melekat di badan dengan cepat.

Hal itu dimanfaatkan Chava dengan baik. Dia gegas meraih ponsel dalam saku bajunya dan menghubungi Hana. Beberapa kali panggilan itu tak diangkat, Chava yang sedang berburu dengan waktu bergantian menghubungi suaminya. Nihil. Tersambung, tapi tak juga diangkat.

"Brengsek! Jangan coba meminta bantuan pada siapa pun, atau aku akan berubah kejam dan jangan salahkan aku!" hardik Heru penuh ancaman.

Terjadi adegan tarik menarik antara Chava dan Heru memperebutkan ponsel Chava. Sekuat apa pun Chava berusaha mempertahankan miliknya, tenaganya jelas tak sebanding dengan Heru. Lelaki itu berhasil merebut benda itu dan membantingnya ke lantai hingga berserakan.

"Tidak, Om! Jangan lakukan!" Chava terus meronta dengan sisa tenaganya.

"Jangan, Om! Aku mohon!"

Heru menulikan telinganya, pria itu semakin bergerak liar.

"Tidak! Mas Azzam, tolong!" Jeritan Chava terdengar memilukan usai Heru berhasil merobek pakaiannya.

Chava masih berusaha mempertahankan kehormatannya. Dia terus meronta, memukuli apa saja yang bisa dia raih, melawan Heru sampai dia benar-benar kehabisan tenaga. Dan, semua itu membuat Heru murka hingga lelaki itu kalap dan melayangkan satu tamparan keras.

Hening.

Detik berikutnya tak lagi terdengar suara tangisan. Heru tersenyum licik melihat Chava terkapar kehilangan kesadarannya dengan sudut bibir mengeluarkan darah.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Hendrawati Lelaona
bagus ceritanya...lnjut
goodnovel comment avatar
Elda Tavares
Asik ceritanya tapi ngak bisa di buka lanjutannya
goodnovel comment avatar
April Hieldaa
... cerita ok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status