Untungnya, Angkara membawa motor gede merk Suzuki GSX-R150 , jadi kami bisa lebih fleksibel berangkat menuju kantor polisi yang letaknya tak jauh desa tak berpenghuni. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 30 kilometer. Perlahan-lahan, keramaian ibukota mulai lenyap dari pandangan. Jalanan yang semula mulus oleh aspal, tergantikan oleh medan yang lebih tajam. Di mana bebatuan dan kerikil mulai terasa mengguncang tubuh, membuatku memperatkan pegangan ke ujung jaket Angkara.
“Peluk saja, tak apa. Aku nggak mau kamu jatuh!” teriak Angkara dengan suara tipis terhembus angin dibalik helmnya. Aku memberanikan diri memeluk pinggangnya dengan erat. Suara decit rem motornya terdengar pertanda kami telah sampai. Kutekan bahu Angkara untuk menumpu badanku supaya turun dengan mudah. Kami sudah melewati beberapa pos polisi yang dapat dikatakan sepi, tapi kantor polisi yang berada di sisi jalanan aspal lumayan ramai meski di belakangnya tampak hutan belantara yang bisa menembus desa tak berpenghuni. Beberapa mobil terparkir di halaman dan beberapa polisi terlihat berlalu lalang. Biar kutebak, beberapa dari mereka mungkin akan melakukan patroli. Angkara meraih lenganku dan menariknya, “Ayo?” Aku pun menurutinya. Kami menaiki anak tangga kecil sebagai penghubung menuju pintu dua kaca. “Apa kamu tahu siapa polisi yang menangani kasus kita?” tanyaku. “Sudah kucari tahu. Semoga saja dia belum pensiun,” Dia menjawab dengan tegas sembari membukakan pintu untukku. Kami di sambut oleh seorang polwan muda dibalik meja setinggi dadaku. Lengkap dengan seragam kepolisian, ia langsung berdiri begitu melihat kami memasuki front office. Senyumnya menular kepada Angkara, tapi tidak denganku. Maaf-maaf saja, aku selalu malas tersenyum. “Selamat siang, silahkan tunjukkan tanda pengenal kalian." Kami berdua menyerahkan kartu tanda pelajar. Lirikkan tajam sudut mata polwan itu menembus kacamata hitam yang sedari tadi kukenakan, seolah bertanya-tanya mengapa kedua bocah lepas dari kandang yang cukup jauh. “Apa kalian berdua tersesat? Apa kalian punya kontak wali yang bisa dihubungi?” Aku menghela napas panjang, lalu membuka kacamata dan topi hitam yang kugunakan untuk penyamaran. Kelopak matanya membesar, ekspresi sama yang ditorehkan orang-orang saat menyadari aku adalah seorang bintang yang sering mereka lihat mempromosikan brand-brand terkenal. Angkara mencubit pinggangku pelan, aku mengerang sambil menatapnya sinis. “APA?” Bibirku berkedut mencoba melemparkan pertanyaan gaib, Angkara merengek. “Sudah kubilang, jangan buka penyamaranmu!” Aku memutarkan bola mataku lalu kembali beralih menoleh pada polwan muda itu, “Kami mencari seseorang,” sahutku mengawali. “Pak Taruna Wijaya, apa masih bekerja di sini?” lanjut Angkara. “Ah, beliau sedang mengambil cuti tahunan.” “Boleh kami tahu di mana beliau tinggal atau kontak yang bisa dihubungi?” tanya Angkara. “Sebentar, saya hubungi dulu yang bersangkutan." Aku mengetuk-ngetuk kaki yang terbalut sneakers saat polwan muda itu tengah menelpon Pak Taruna. Ketukanku berhenti tepat ketika ia mendaratkan gagang teleponnya. “Bagaimana? Kami bisa menemui beliau?” tanyaku buru-buru. Polwan itu mengangguk lalu menuliskan alamat dan nomor telepon Pak Taruna dalam secarik kertas. Kami pun langsung berangkat menuju lokasi.*** Suara papan catur yang didaratkan terdengar ketika kami hampir sampai di hadapan seorang laki-laki paruh baya berusia sekitar tiga puluh tahun yang tengah bertarung bersama anak laki-lakinya. “Permisi, maaf mengganggu. Perkenalkan saya Angkara dan ini teman saya Meydisha, apa benar ini kediaman Bpk. Taruna dari kepolisian Desa Taman Sari?” Mendengar pernyataan Angkara, bapak itu melirik putranya dan memberi isyarat kepadanya untuk masuk ke dalam. “Silahkan duduk, saya polisi yang kalian cari.” Putranya pun masuk ke dalam menggendong papan catur meninggalkan dua kursi rotan yang kosong. Kami mengisinya, lalu memulai obrolan intens. “Jadi, kalian berdua adalah korban pembantaian sebelas tahun lalu? Aku bersyukur ternyata ada yang selamat dari tragedi mengerikan itu. Mengapa kalian tidak memberikan laporan saat itu? Tidak-tidak, maksudku bagaimana kalian berdua bisa selamat?” “Kami menyelamatkan diri tepat sebelum bekas peternakkan terbakar,” sahut Angkara. “Bagaimana pelakunya? Bapak menangkapnya?” Aku menyela, helaan napas berat keluar dari diafragmanya sebagai aba-aba aku harus siap-siap menelan ludah akibat kekecewaan. “Tidak ada yang tersisa dari kebakaran selain tulang belulang anak-anak kecil yang terbalut abu.” “Tidak mungkin, apa tidak ada mayat seorang laki-laki? Meydisha melumpuhkan pelakunya pak.” Pak Taruna mengernyit, mencoba berpikir keras apa yang terlewati olehnya. “Kamu yakin aku membunuhnya? Aku bahkan tidak ingat, Ra," ujarku kalut. “Masa aktif kasus masih 7 tahun lagi, kalian mau menyelesaikan kasus ini? Pelakunya mungkin masih berkeliaran di luar sana.” “Benar. Dan baru-baru ini, seseorang misterius meneror saya dan mengunggah kisah pembantaian kami menjadi novel daring berjudul Bara Arkais, Pak.” Kutunjukkan novel itu di atas mejanya. “Penulis Arkais? Kalian berpikir ia adalah pelaku pembantaian?” tanya Pak Taruna. Kami berdua mengangguk. “Baik, tapi masih begitu banyak kemungkinan. Untuk sekarang, kalian benar-benar harus didampingi dan diawasi oleh wali kalian sebab ini menyangkut kasus besar.” Aku memutar bola mata, rasa kesalku memuncak. “Bukan itu yang kubutuhkan! Aku butuh bantuan kalian menangkap penulis kurang ajar itu!” teriakku sambil beringsut, Angkara refleks ikut beringsut dan memegang lenganku, menyuruhku untuk tenang. “Mey ....” “SUDAH KUBILANG JANGAN PANGGIL AKU SEPERTI ITU!” Bentakkanku menyemprot langsung di hadapan wajah Angkara. “Meydisha, mari selesaikan bertahap. Kami akan menyelidiki Penulis Arkais terlebih dahulu. Jangan khawatir," ujar Pak Taruna dengan tenang. Aku dan Angkara pun kembali duduk dan melanjutkan perbincangan kami hingga kami sadar bumi sudah temaram untuk diajak berbincangAkhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d
Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan
Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar
“Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal
“Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt