Share

Badut

Author: Secret Dita
last update Last Updated: 2022-03-16 20:01:12

            Tidak ada jadwal pemotretan hari ini. Sebenarnya sejak kemunculan Penulis Arkais, aku sudah mulai berdiskusi kepada agensi yang menaungiku untuk rencana mengambil cuti. Semua ini kulakukan untuk memfokuskan diri menyelesaikan apa yang tertunda selama bertahun-tahun, aku tidak ingin melarikan diri lagi dan bersembunyi dibalik trauma yang hanya merobek luka lama. Apa pun itu, harus kuhadapi.

            Kupandang sahabatku, Hanindita yang sedang menyimak dengan serius arahan dari dosen kami, Bu Novi tentang festival dongeng Universitas Dandelion yang akan diadakan besok. Selama ini aku selalu tak acuh kepadanya, meski aku tahu dia membantuku begitu banyak. Ia selalu mengetahui tentangku, tentang indahnya aku, namun tidak tentang nerakaku. Dia akan ikut menyukai apa yang aku suka. Namun bahkan di titik ini, aku akan membenci apa yang dia sukai, Penulis Arkais.

            “Kenapa? Ada apa? Kamu butuh bantuan?” bisik Hanin ketika sadar aku melamun dengan wajah datar ke arahnya, aku menggeleng lalu tersenyum.

            “Anak-anak, ibu mohon kepada tim musikalisasi puisi yang akan tampil, siapkan pertunjukkan sebaik mungkin. Dan untuk semua, simpan energi kalian baik-baik hari ini, karena besok akan ada tamu spesial!” sahut Bu Novi membuat seluruh anak di kelas kebingungan.

            Riuh mulai memenuhi kelas. Mereka berdebat siapa yang akan datang.

            “Tamu spesial?”

            “Artis?”

            “Apa kita akan kedatangan artis?”

            “Siapa? Siapa?”

            “Cuma selebgram mungkin?”

            Mereka bertanya-tanya sedangkan aku hanya memutarkan bola mataku. Kenapa mereka kaget, sih?

            “Ey, ibu rahasiakan saja ya?” goda Bu Novi, anak-anak langsung merengek seperti bayi.

            “Ini bukan sembarang artis, bagi yang suka baca novel daring, pasti kalian tahu! Apalagi novelnya sedang viral!” lanjutnya.

            Aku langsung terdiam dan saling melempar tatapan dengan Hanin.

            “Apa mungkin ....”

            “Penulis Arkais yang misterius, anak-anak. Ia akan hadir khusus untuk kita!”

DEG.

            Aku membeku dengan jantung berdebar. Beda dengan Hanin yang langsung menutup mulutnya supaya tidak terlihat menganga akibat kegirangan. Sorak sorai memenuhi ruangan, Bu Novi pun tampak sumringah.

            “Sudah ibu bilang jangan terlalu bersemangat, haha. Sampai nanti ya, berdandanlah yang baik. Silahkan kalian istirahat.”

            Saat bel istirahat telah berdentang dengan pekik, aku berlari dan menerobos kerumunan Mahasiswa yang berlalu lalang. Rasanya kelas di mana Angkara belajar menjadi begitu jauh. Beruntungnya, kulihat siluet Angkara yang juga tengah berlari ke arahku. Ketika kami sampai, masing-masing dari kami menorehkan tatapan cemas satu sama lain.

            “Kamu sudah dengar?” tanyaku sembari menelan ludah dengan berat.

            “Jika Penulis Arkais benar-benar menunjukkan dirinya, maka tujuannya pasti adalah kamu. Tidak, tidak bisa, besok kamu jangan ke Universitas Dandelion!”

            Aku mengernyit ketika mendengar ide bodohnya.

            “Apa maksudmu?” tanyaku sinis.

            Ia mendekap kedua bahuku. Pandangan kami saling bertaut, ada kekhawatiran dari sorot matanya.

            “Kapan terakhir kali Penulis Arkais menghubungimu?”

            “Sebelum bab penculikan, ia bilang semua akan dimulai saat bab penculikan terbit,” kataku dengan perasaan tak karuan.

            “Benar. Penulis Arkais sudah menyembunyikan identitasnya selama ini. Dan ia akan mengungkapkannya di sini. Di tempatmu berada! Bukankah jelas-jelas ia akan melakukan sesuatu kepadamu?” jelas Angkara dengan terengah-engah, aku paham atas ketakutannya.

Kusentuh kedua punggung tangannya yang masih betah di bahuku dan kutorehkan senyum tipis kepadanya,

            “Kalau begitu bagus, kita tidak perlu capek-capek mencarinya lagi. Siapa tahu kita bisa membuktikan apa ia benar-benar si pria bertopeng atau bukan,” tuturku sedikit lembut.

            Angkara mendengus karena kesal dengan keputusanku. Kuraih tangannya, menggenggamnya erat dengan harapan bisa meredamkan rasa khawatirnya padaku. Ada sedikit perasaan senang yang menyelinap di lubuk hatiku ketika melihatnya mencemaskanku.

            “Aku akan baik-baik saja. Lagipula kan ada kamu, aku dengar rumor bahwa kamu menjadi Mahasiswa baru yang paling ditakuti seantero Universitas Dandelion ya? Haha.”

            Serius, aku melawak dengan cara yang amat garing. Meski begitu, pada akhirnya Angkara menyerah.

            “Jangan pernah lepas dari pandanganku!” ancamnya, aku terkekeh.

            “Hubungi pak Taruna, siapa tahu beliau bisa membantu memantau kita.” Pintaku.

            Ia mengangguk pelan sambil mempertahankan raut wajah sedihnya.

            “Sayang sekali.” Gumamnya.

            “Sayang kenapa?”

            “Aku nggak bisa memelukmu.”

            Aku sedikit kaget dengan perkataannya. Jantungku berdegup kencang dan mendorong level kecangguanku meningkat di hadapannya.

            “Jika Penulis Arkais telah mengambil langkah seberani ini. Aku ingin kamu terus berada dalam pelukanku supaya tetap aman. Tapi ini ‘kan di Universitas Dandelion!”

            ARGHH.

            Ia mendengus kesal sambil mengacak-ngacak rambutnya. Tanpa sadar, aku begitu betah memandangi tingkahnya yang membuatku damai. Guratan senyumku langsung terukir ketika melihatnya. Aku ingin terus melihatmu, Angkara. Sebanyak aku bisa mendapatkan bintang di angkasa, selama aku bisa menghitung pasir di lautan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Digilai Psikopat   Last Message

    Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d

  • Digilai Psikopat   Sakral

    Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan

  • Digilai Psikopat   Terdesak

    Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot

  • Digilai Psikopat   Anak panah

    “Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar

  • Digilai Psikopat   Pertanyaan

    “Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal

  • Digilai Psikopat   Kambing Hitam

    “Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status