Hingga aku pun kemudian kembali ke kamar, seiring rasa gelisahku semakin ketat menyelubungi diriku. Akhirnya setelah di kamar, aku yang mulanya sudah meletakkan beberapa pakaian dari ransel ke lemari, yang telah disediakan oleh hotel tersebut, lantas memulangkan kembali pakaianku ke dalam ransel. Dan lagi. Suara itu kembali memanggilku. Suara perempuan misterius yang entah berasal dari mana. Tapi, jelas aku bisa mendengar suara itu berasal dari sudut-sudut ruangan itu. “Budi... Budi!” Siapa itu, tanyaku dalam hati. “Aku...” katanya lagi membuat tubuhku semakin bergetar. Dia menjawab pertanyaan dalam hatiku. Siapa gerangan mahluk ini. “Aku!” katanya sayup. Suara itu jelas perempuan, dan tak mungkin pula pelayan perempuan tadi berbuat jahil padaku. Untuk apa pula dia jahil? Apa untuk kesenangan dirinya saja? Yang jelas pemikiran ngawur itu sama sekali tidak masuk akal. Maka, ketika suara sayup itu memanggil namaku lagi. Kuputuskan untuk tetap fokus pada aktivitasku yang sedang mem
Aku sudah tak peduli lagi dengan check out hotel. Aku lantas pergi begitu saja ke parkiran hotel kemudian dan buru-buru memasukkan semua kopor dan perlengkapanku ke dalam bagasi mobil. Seraya itu pula, aku kembali melihat ke arah lobi hotel. Masih sunyi, dan tawa perempuan misterius di arah tangga pun telah hilang. Aku langsung melajukan mobilku begitu kencang di jalanan yang luang. Alih-alih terus memikirkan siapa pemilik tawa menyeramkan di tangga hotel itu, aku memilih menyibukkan pikiranku dengan keadaan istriku yang kutinggalkan di rumah. “Oh, Wirda! Kenapa kau tidak membalas teleponku!” kataku di dalam mobil. Emosi menguasaiku. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri seusai mobil sempat oleng dan menabrak pembatas jalan. Waktu yang semestinya ditempuh satu setengah jam, dengan laju mobilku yang kencang, berhasil memotong waktu menjadi dua puluh lima menit. Aku segera memarkirkan mobilku buru-buru. Bersama itu pula, sebelum aku masuk ke rumahku, aku melirik sebentar k
Aku menggebrak-gebrak jendela. Tak mungkin aksiku tidak membuat Wirda terbangun. “Wirda! Bangunlah, sayang! Jangan kau biarkan mahluk laknat itu menguasaimu!” Seraya aku berkata demikian, angin tambah kencang. Aku semakin bisa mendengar desis pohon di tanah lapang itu. Dan sayup-sayup pula, di saat aku sedang panik mendengar istriku kembali berlaku binal lagi, aku bisa mendengar suara seorang perempuan memanggil namaku. “Budi! Budi!” Suara itu kurasa terdengar dari arah tanah lapang di samping rumahku. Ya, tidak salah lagi. Itu memang suara perempuan yang sama dengan yang kudengar di kamar hotelku. Tidak mungkin, pikirku. Tidak mungkin sosok itu mengikutiku hingga ke kawasan perumahan ini. Suasana benar-benar kacau dan mencekam. Perempuan itu memanggil-manggil namaku selalu. Bersama itu pula, desahan istriku masih mengeras di dalam kamar, seolah menggetarkan jendela kamar yang tertutup gorden, sehingga aku tidak bisa memeriksa lebih detail apakah kini memang ada sosok lain yang
Sinar matahari pagi menyengatku. Entah sudah berapa lama kau tertidur di kamar. Kulihat dengan mata memicing, jendela kamarku terbuka. Aku mencoba duduk di ranjangku, sembari mengarahkan wajah ke halaman kosong di samping rumahku: di mana hanya ada satu pohon beringin besar yang sakral. Dan hingga saat ini belum ada yang mampu memangkasnya. Sampai otakku mulai memproses dan mengingat semua kejadian malam laknat sebelumnya. Aku melihat mahluk mengerikan berbulu lebat, hitam, dan dengan kekuatan magisnya ia berhasil mengangkat tubuhku tanpa menyentuhku, lalu melemparku ke arah dinding kamar. “Wirda!” Aku mulai menggigil. Rasa cemas kembali menggerayangiku. “Wirda!” Tapi, tak ada jawaban. Aku tak bisa mendengar satu orangpun di rumahku. Semuanya seperti kosong. Kemudian, aku semakin tak bisa berpikir jernih lagi karena ketakutan mulai menguasai diriku. Tubuhku, tanpa kuminta lantas beringsut dari ranjang, lalu hampir saja aku meloncat melalui jendela kamar yang terbuka. Telapak kaki
Tak ada. Aku tak mendengar satu nafaspun berkeliaran di luar pintu. Di luar rumah pun, terasa sunyi. Aku tak mendengar percakapan para penjaga perumahan yang biasanya kerap hadir seratus meter dari jarak rumahku. Tak ada. Aku kemudian meloncat, dan berlari ke arah tanah lapang itu. Kulihat pohon beringin besar itu semakin membesar di depan kedua mataku. Kupikir, (ini hanyalah ketololanku saja), bila Wirda tak ada di rumah berarti dia ada di pohon tersebut. Aku akan mencarinya di setiap ranting dan akar yang menggantung ke tanah. Akan kucari di setiap batang pohonnya yang tebal dan berlumut itu. Aku sama sekali tidak rela bila mahluk itu membawa istriku, apalagi menikahinya. Aku tidak terima. Akan tetapi, langkahku malah goyah. Aku tunggang langgang dan terus terjerembab ke ilalang yang kurasa semakin menghalangi arah pandangku. Di saat aku terjatuh lagi, aku mendadak melihat dua kaki di hadapanku. Mataku memicing ke arah sosok itu. Perempuan. Itu perempuan yang tidak pernah kulihat
Aku terus mencari Wirda di pohon itu. Tapi, seperti yang dikatakan oleh hantu perempuan ini. Wirda tak ada. Dan aku hanya seorang diri di atas pohon besar ini. Bertikai dengan ketakutanku sendiri. “Sudah kubilang. Istrimu tidak ada di sana, Budi. Turunlah. Malam semakin larut dan mendung.” “Tidak!” “Jangan keras kepala! Turun!” “Siapa kau berhak mengatur-ngaturku!” “Aku peduli padamu!” “Kenapa pula kau peduli padaku! Kau hanyalah...” sebentar, aku memerhatikan perempuan bergaun serba merah itu melayang. Wajah mengerikan yang semula ditunjukkan olehnya, perlahan-lahan berubah menjadi sosok yang mencengangkan. Entah, apakah itu adalah wujud aslinya atau justru hanya sekadar wajah penggoda saja—pasalnya kini wajah perempuan itu begitu cerah, putih bening seolah aku bisa melihat aliran darah di sekitar dua pipinya yang agak kemerahan. Paras oriental perempuan melayang itu kini begitu menggetarkanku. Apa-apaan ini? Pikirku dalam batin, bisa-bisanya ada seorang perempuan aneh, atau
Jin perempuan itu membawaku melayang melewati orang-orang yang membawa keranda. Dan sungguh ganjil, selama aku melewati sekumpulan orang bermuka rata itu, ketika kabut berhasil menyapu mereka, baik suara maupun rombongan orang itu ikut menghilang bersama kabut.Sementara Kinanti, terus membawaku hingga aku diajaknya ke suatu perhutanan. Kupikir, ini adalah hutan yang terletak tak jauh dari lokasi perumahan kami tinggal. Tapi, ada yang aneh dari hutan yang seingatku tampak sebagaimana hutan pada umumnya. Kali ini, yang kulihat lain. Tepat di bibir hutan itu, kulihat ada gapura. Sementara di dalamnya, begitu ramai oleh aktivitas orang.Seperti pasar, pikirku. Dan kupikir, meski ini malam, daerah itu terlihat begitu penuh hiruk pikuk. Aku melihat orang berlalu-lalang. Banyak pula pedagang dan pejalan kaki di dalam sana. Dan yang semakin aneh lagi adalah hutan itu telah berubah menjadi suatu perkotaan! Rupanya seperti kota-kota zaman penjajahan Belanda, seperti Batavia tempo dulu ataupun
“Lihat itu. Ya, di atas pohon sana, dekat bangunan mirip hotel-hotel tua peninggalan Belanda, gerombolan perempuan bergaun cantik di balkon itu sedang membicarakanmu sembari cekikikan. Kau tahu mereka siapa?” tanya Kinanti membuatku bingung.“Tidak. Apakah mereka peri juga?” kataku malah bertanya balik, sebab kulihat paras mereka sama menariknya dengan golongan peri yang digambarkan kecantikannya oleh Kinanti.“Bukan,” katanya sembari tersenyum kecil. “Mereka adalah entitas lain. Mereka para kuntilanak.”“Yang benar saja!””“Mereka adalah golongan orang yang paling sering tertawa, bahkan dalam keadaan sedih sekalipun. Sangat tidak manusiawi bagi kalian, dan bagi kami mereka seperti golongan perempuan-perempuan jet set, noni-noni Belanda yang doyang arisan serta bergosip tentang banyak hal. Dan, jangan salah. Sepertihalnya kaum sosialita di dalam kaummu, mereka pun punya sistem hierarki.”“Apa bedanya dengan para peri?”“Peri pada umumnya tidak berwujud. Itu wujud aslinya. Tapi, mereka