Biasanya, dia tidak akan selincah itu jika bertemu kawan-kawanku. Apalagi sampai bercengkerama dan bercanda akrab, meski sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Seperti Rizal. Kawanku yang sering kuminta bantuan ini sama sekali belum pernah bertemu dengan istriku. Baik Rizal maupun Wirda hanya mendengar ceritaku saja soal keduanya. “Ya, ya. Terima kasih sebelumnya karena sudah membantu kami untuk mendapatkan jadwal lebih pagi. Tapi, ngomong-ngomong, Dokter Rizal ini tidak mengambil spesialis?” kata istriku yang saat itu sedang naik tangga, bersamaku juga. Mereka berjalan di depanku. Mengobrol akrab sekali seolah mereka adalah kawan lama. Ya, dari membahas masalah kespesialisan yang ingin dituju oleh Rizal, sampai membahas masalah sepele seperti makanan kesukaan juga tempat makan favorit. Bahkan tanpa melibatkanku, Wirda seolah seperti ingin diajak makan bersama oleh Rizal. Dan dia bicara tepat di depan suaminya. Tentu saja, Rizal lantas menoleh padaku sembari canggung. Entah, kenapa
Aku berlalu ke toilet sesaat setelah sempat perang dingin dengan Wirda. Ketika aku usai buang air kecil dan membasuh wajah, tiba-tiba secara mengejutkan seorang kakek yang sebelumnya menatap kami dengan penuh kecurigaan telah berada di belakangku. Tentu saja itu sangat mengejutkan. Bahkan kedua pundakku sampai meloncat karena sebelumnya sama sekali tidak ada siapapun di belakangku. Barangkali karena suara kran air yang memudarkan suara pintu bilik toilet. Mungkin pula sejak tadi kakek yang tak kutahu namanya ini sudah berada di salah satu bilik toilet rumah sakit tersebut. “Anak muda...” katanya bersuara berat dan sedikit parau. “I-Iya, Kek? Ada apa?” Aku merasakan sesuatu yang aneh dari tingkah laku kakek yang menurutku agak mencurigakan. “Dengarkan saya,” katanya lagi sembari mendekat. Nada suaranya begitu medok, karena barangkali ia memang asli orang Yogya. Tidak seperti kami yang berasal dari Jakarta, aku bekerja di Semarang pun sebelumnya karena dipindahkan dari Jakarta, kan
Tentu saja, cerita itu kuanggap sebagai bagian dari kepercayaan yang pernah dianut oleh keluargaku. Aku tak menganggapnya sebagai fakta, karena sampai sekarang pun aku tak pernah melihat penunggu rumah itu. Tak pernah merasakan sesuatu yang aneh, meski memang rumah itu nampak mengerikan kala malam hari. Selanjutnya, aku berusaha bersikap normal di depan Wirda. Saat giliran kami tiba untuk konsultasi. Aku langsung menjelaskan keadaan istriku dalam beberapa bulan terakhir ini. Kulihat Wirda membisu dan seperti tidak menyukai percakapan antara aku dan dokter spesialis penyakit dalam. Pada saat dokter itu, yang mana seorang lelaki paruh baya itu memeriksa istriku, usai menyuruh Wirda rebahan. Wirda menolak. Ia kasar sekali saat stetoskop dokter berusaha mendarat di tubuhnya. “Jangan sentuh aku! Anda berusaha memanfaatkan keadaan!” katanya mengejutkanku. Aku melihat raut dokter sampai heran. “M-Maafkan saya, Pak Dokter... istri saya memang dalam keadaan tidak stabil...” “Hmmm, ya, ya.
Minggu. Aku memutuskan untuk seharian di rumah, setelah biasanya aku mendapatkan tugas untuk mengecek beberapa tabungan nasabah di brankas, meski biasanya pun tidak sampai sore—sebagaimana aku bekerja pada hari normal. Di rumah aku lebih banyak menghabiskan diriku di sofa ruang keluarga. Membaca buku apapun atau surat kabar. Sementara istriku seperti biasa (dalam kebiasaan barunya), selalu bangun tidur menjelang zuhur. Sejak ia pulang dari rumah sakit, aku sudah tidur di kamar terpisah, sehingga aku tak bisa membangunkannya kala subuh atau pun pukul delapan—jam paling telat ia bangun seingatku—ketika kami masih tinggal di rumah lama kami di Semarang. Akan tetapi kini, semua benar-benar berubah. Bersama itu pula, kata-kata kakek yang aku dan Wirda temui di rumah sakit terus membayangi kepalaku. Bahkan bisa-bisanya sosok lelaki tua dan sudah bungkuk itu memasuki mimpiku dalam beberapa hari ini. “Pertanda apa ini?” batinku. Jantung berdebar-debar setiap bangun tidur dan baru saja mem
Aku jelas sekali melihat bahwa istriku melukai dirinya sendiri karena situasi ganjil ini, tapi dengan berbagai cara, ia tak ingin atau memang tidak pernah menyadarinya. Maka dari itu, ia tetap ngotot bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku tak tahu apakah ia berbohong atau ia berbicara jujur, tapi jelas, Wirda sama sekali tidak menyadari sesuatu. Ya, seperti yang sudah kuduga, kini istriku seperti terbelah menjadi dua pribadi yang berbeda.“Enak saja. Aku tidak tahu. Sejak kemarin lebam-lebam itu muncul sendiri.” “Apa sakit?” “Sedikit. Tapi, bukan masalah besar.” “Sebaiknya kita kembali ke rumah sakit.” “Jangan berlebihan!” pekiknya sembari melontarkan pandangan sinisnya—seraya itu pula ia beringsut dari duduknya. “Ini bukan sesuatu yang mesti kau risaukan secara berlarut-larut! Aku sendiri heran, kenapa kau jadi over protektif seperti itu. Posesif....” “Jangan salah paham! Aku nggak posesif seperti yang kamu kira. Apa salah seorang suami menanyakan lebam di tubuh
“Kau benar-benar telah melakukan kesalahan, Bud,” kata kawanku Jarwo. Antara dirinya dan Lukas pun sama-sama memiliki pendapat yang sama perihal keadaanku saat ini. Kami bertiga kini berada di sebuah hotel bintang tiga di kawasan Jogja. Kebetulan kedua kawan kuliahku, yang sudah lebih dulu berada di kota itu bekerja di dekat situ, makannya mereka bisa mampir ke restoran, di mana hotel tempatku menginap. “Jadi, aku harus bagaimana?” tanyaku yang perlahan menampilkan wajah cemas di depan mereka. Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaanku saat ini. “Kalian tahu... aku sama sekali tidak percaya hal-hal klenik macam ini. Bahkan meski pernah kudengar kalau kakekku melakukan perewangan.” “Perewangan apa? Untuk pesugihan?” Jarwo terlihat antusias sekali sembari meminum secangkir kopinya. Ya, sejak kukenal dirinya di masa kuliah dulu, Jarwo memang memiliki ketertarikan soal dunia tak kasat mata ini. Misalnya, ia pernah mengajak kami untuk uji nyali ke sebuah hutan yang terletak di
“Kalau memang istrimu sudah terpikat dengan pesonanya mungkin hal-hal seperti itu akan terjadi,” kata Jarwo. “Kenapa kau bisa tahu?” “Aku pernah mendengarnya dari salah satu paman, dari keluarga ayahku. Katanya istrinya dulu sempat begitu. Bahkan menghilang dari rumah selama tiga hari. Pamanku serta keluarga lain menyuruhnya melaporkan hal tersebut ke kepolisian, tapi mereka pun tak bisa melacaknya.” “Lalu?” tanya Lukas penasaran. “Tetangganya, yang katanya adalah seorang orang pintar. Entah aku tak yakin orang itu adalah dukun atau kyai, yang jelas tampilannya tak selayaknya dukun. Dan orang-orang di kampungnya pun memanggilnya ‘buya’, yang artinya ‘kan pemimpin agama. Aku pernah mendengar sebutan tersebut dari salah satu kawanku yang menyantri,” jelas Jarwo. “Apa istrinya ditemukan?” tanyaku. “Ya, lelaki yang disebut ‘buya’ ini katanya berhasil menerawang keberadaan istri pamanku. Dan kalian tahu apa yang terjadi?” Tentu saja aku dan Lukas menggeleng. “Istri pamanku diculik
Aku terduduk, tercenung di tepi ranjang. Tubuhku serasa menggigil usai melihat sesuatu yang mungkin saja tidak nyata. Ini semua karena stres dan beban pikiran lain berjubelan di dalam kepalaku. Bayangan kepala perempuan itu tak ada. Sudah lenyap entah ditelan waktu atau kegelapan, karena setelah kuperiksa di balik gorden tidak ada apa-apa. Hanya nuansa gelap karena malam masih berkuasa. Berbeda denganku yang tidak kuasa lagi menahan rasa gigilku yang datang tanpa sebab. Tak lama, aku turun dari kamarku yang berada di lantai tiga. Aku menuju resepsionis, mencoba meminjam telepon hotel. Karena telepon di kamar tidak bisa digunakan untuk menelepon ke luar hotel. “Terima kasih,” kataku kepada seorang pelayan perempuan yang tampak cukup ramah mengizinkanku meminjam telepon hotel. Aku memutar nomor telepon rumah sembari melihat ke buku kecil yang berisi kumpulan nomor telepon. Bersama itu pula, aku menunggu seseorang menjawab panggilanku. Suara dengung terasa di telingaku hingga teling