Share

Jangan dijual, Sagara

Sagara menatap Hanna dengan lekat. Rupanya ekspetasinya di luar dugaan. Yang ia pikir Hanna akan setuju dengan niatnya yang akan menjual mobil kesayangannya itu.

“Tapi, Hanna ….”

“Sagara! Pakai mobil aku aja. Tidak perlu menjual mobil hanya karena jabatan kamu. Aku nggak mau sampai buat kamu tidak punya apa-apa setelah menikah dengan aku. Biaya lahiran? Uang yang kamu berikan ke aku kemarin itu sudah lebih dari cukup. Biaya lahiran nggak akan menghabiskan uang sampai lima puluh juta.”

Pria itu lantas menundukkan kepalanya saat mendengar ucapan panjang kali lebar dari Hanna. Mata itu kemudian menatap sang istri lagi dan menghela napasnya dengan pelan.

“Baiklah! Aku tidak akan menjual mobilnya. Mobilku bisa dipakai jika sedang keluar aja. Maaf, aku terlalu bereskpetasi tinggi. Aku pikir, papa kamu akan memberikan pekerjaan yang lebih layak dari ini. Makanya aku bawa mobilku aja,” ucapnya jujur.

Hanna mencoba menepuk bahu Sagara dengan pelan sembari mengulas senyumnya. “Seorang Caraka PraSagara, yang memiliki segudang prestasi dalam hal mendesign, dengan lulusan terbaik, memiliki gelar insinyur dalam usia muda memang nggak pantas menjadi seorang office boy. Papa emang jahat, Sagara.”

Hanna menundukkan kepalanya sembari menitikan air matanya. Pria yang tidak punya salah itu harus menjadi korban penyiksaan luar biasa oleh Krisna. Sudah merendahkan Sagara hanya karena menganggapnya sudah menghamili Hanna.

Sagara menarik tangan perempuan itu dan memeluknya sembari mengusapi punggung itu dengan sangat lembut. “Gelar bukan patokan untuk membuat papa kamu percaya, Hanna. Semuanya butuh pembuktian, dan aku belum bisa membuktikannya. Mungkin, kalau ada yang sulit untuk mereka buat, aku akan mencoba unjuk diri untuk membuatkannya.

“Jika masih gagal untuk menaklukan hati papa kamu, satu-satunya cara yaitu mencari dokumen asli perusahaan Papa. Di sana tertera pemegang saham adalah aku, karena aku juga anak tunggal, sama seperti kamu. Aku harap kamu bisa bersabar menunggunya.”

Sagara kembali melepaskan pelukan itu dan menatap Hanna dengan tenang. “Semua butuh proses. Asal kamu mau sabar, kita bisa melewatinya.”

Hanna menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Sagara. Kamu … bukan hanya ingin menumpang hidup. Tapi, tanggung jawab sebagai suami aku yang bahkan kita belum saling mengenal lebih dekat.”

Sagara menerbitkan senyumnya. “Aku sudah mengenal kamu lebih jauh. Dari sikap dan sifat kamu sudah membuat aku ingin bangkit dari keterpurukan. Kamu sudah menyelamatkan aku, Hanna.”

“Kamu yang sudah menyelamatkan aku, Sagara. Yang tadinya mungkin sudah ada di neraka. Atas kebodohan aku yang tidak bisa mengambil keputusan setelah hati dan pikiran aku sudah dingin. Malah memilih mengakhiri hidup hanya karena malu dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”

Sagara kembali mengulas senyumnya. “Yuk! Pulang. Udah jam sepuluh. Kita sudah terlalu lama di sini. Angin malam nggak baik untuk ibu hamil.”

Hanna mengangguk dan bangun dari duduknya. Kemudian kembali masuk ke dalam mobil. Melajukan mobil tersebut menuju rumah baru yang dibeli oleh Hanna.

“Sagara. Kalau Papa tanya rumah kita yang ditempati siapa yang beli, aku harap kamu mau berbohong dan bilang kalau itu rumah kamu, yaa.”

Sebab Hanna tidak mau Sagara kembali direndahkan oleh sang papa jika tahu yang membeli rumah tersebut adalah dirinya.

Terpaksa, pria itu menganggukkan kepalanya. Menuruti permintaan sang istri yang katanya harus berbohong. Mungkin, dalam hal ini bisa diartikan sebagai berbohong demi kebaikan jiwa dan batinnya agar berhenti direndahkan oleh sang mertua.

“Iya, Hanna. Harganya berapa, kamu beli rumah itu? Kamu belum menjawab pertanyaanku yang ini. Aku harap kamu mau berkata jujur padaku.”

Hanna menghela napasnya dengan pelan dan menatap sang suami dengan dalam. “Hanya lima ratus juta, Sagara. Rumah kecil walau berlantai dua itu karena ada yang menjualnya dengan cepat, makanya dikasih murah.”

Sagara menelan saliva dengan pelan. “Dulu … uang segitu bisa aku dapatkan hanya dua jam, Hanna. Menjual design pada owner yang akan mendirikan bangunan. Sekarang, aku nggak ada akses karena di-backlist oleh si keparat tua bangka itu.”

Hanna kembali mengusapi bahu suaminya itu. “Kamu pasti akan bisa mendapatkan akses untuk mendesign dan menjual hasil karya kamu lagi, Sagara. Untuk saat ini, kita hanya cukup sabar.”

Sampai akhirnya mereka tiba di rumah. Keluar dari mobil kemudian Sagara menatap mobilnya dan menghela napasnya dengan pelan.

“Jangan dijual, Sagara. Mobilku tidak terlalu mencolok dari mobil kamu. Kalau ada yang nanya kenapa kamu punya mobil tapi kerja sebagai OB, bilang aja kalau kamu juga kerja sampingan sebagai sopir taksi.” Hanna memberi ide agar Sagara tidak bingung lagi jika harus menjawab pertanyaan aneh yang akan ditanyakan semua karyawan.

Sagara terkekeh mendengarnya. Sembari berjalan dan menggenggam tangan Hanna, ia memikirkan ucapan istrinya tadi.

‘Kalau aku kerja sampingan jadi sopir taksi, kayaknya lumayan juga. Pulang kerja, langsung cari penumpang. Sabtu dan Minggu bisa seharian jadi sopir taksi. Bagus juga idenya Hanna.’

Sagara menatap Hanna yang tengah membuka ikatan rambutnya setelah akhirnya mereka tiba di dalam kamar.

“Hanna?” panggil Sagara kemudian.

Hanna menoleh pada sang suami. Melihat raut wajah Sagara yang menurutnya aneh lantas membuatn ya berpikir ke arah yang lebih jauh. Namun, ia segera menghilangkan khayalan itu. Sagara tidak akan mau menyentuhnya walau hanya sedikit.

‘Perempuan murahan sepertiku selalu memiliki pikiran kotor seperti itu,’ ucapnya dalam hati.

“Hanna?” panggil Sagara kembali.

“Heung? Kenapa, Sagara?” tanyanya sembari menyembunyikan ekspresi kekecewaan terhadap dirinya sendiri.

Pria itu menghela napasnya dengan pelan. “Aku mau cari kerja sampingan. Jadi sopir taksi, biar punya penghasilan lebih dan bisa dapat penghasilan setiap hari.”

Hanna menatap datar suaminya itu. “Nggak perlu, Sagara,” ucapnya lebih datar dari raut wajahnya.

“Tapi lumayan, Hanna. Aku bisa punya penghasilan lebih dan—“

“Kata aku nggak usah yaa nggak usah, Sagara! Kenapa sih, seneng banget merendahkan derajat kamu dengan ingin menjadi pekerja rendah seperti itu? Sengaja … karena punya istri rendahan kayak aku?”

Hanna yang terlalu sensitif itu terbawa emosi. Permintaan Sagara menjadi sopir taksi benar-benar membuatnya murka. Hanna yang mudah terbawa perasaan itu merasa kalau Sagara menganggap dirinya rendah sebab memiliki istri murahan seperti dirinya.

Sagara terdiam dengan mata menatap Hanna. “Bu—bukan itu maksud aku, Hanna. Karena aku nggak mau terlihat rendah, makanya aku mencari pekerjaan sampingan yang bisa menghidupi kamu,” ucapnya dengan sangat hati-hati. Sebab tak ingin membuat Hanna salah paham lagi atas ucapannya.

Perempuan itu menghela napasnya. “Tidak perlu, Sagara. Cukup jadi suami aku saja sebenarnya aku udah berterima kasih. Kalau kamu ingin keluar dari kantor Papa pun nggak masalah. Aku hanya butuh sosok suami yang bisa menjaga aku, bukan mencari suami yang bisa menafkahi aku dengan berbagai macam cara.”

Hanna menatap mata Sagara dengan mata berembun. “Kamu yang bilang sendiri, pernikahan ini hanya sebagai simbiolis mutualisme. Kenapa harus jungkir balik banting tulang demi menghidupi aku? Nggak perlu, Sagara. Aku yang akan menghidupi kamu,” ucapnya lirih.

Sagara menelan salivanya dengan pelan sembari menatap dengan dalam raut wajah Hanna yang memerah sebab air mata kembali turun di pipi perempuan itu.

“Ka—karena aku nggak mau sampai satu tahun masih hidup melarat, dan papa kamu mengambil kamu dari aku, Hanna.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status