Sagara kembali masuk ke dalam kamarnya. Menghampiri Hanna yang sudah menutup matanya. Namun, kehadiran Sagara membuatnya membuka matanya.“Sagara! Udah selesai, ngobrolnya?” tanyanya sembari bangun dari tidurnya.Sagara menggeleng pelan. “Aku mau minta izin sama kamu, Hanna. Aku mau ke kantor Papa malam ini juga.”“Heeuhhh? Kenapa malam sekali, Sagara.”“Karena kami mau menyelendup masuk ke dalam, Hanna. Makanya malam hari geraknya.” Sagara menjelaskan.Hanna mengucek matanya. “Aku ikut!”“Hanna! Sudah malam. Lagi pula, aku nggak akan kenapa-kenapa. Mereka pasti masih kenal sama aku. Aku janji, akan pulang dengan selamat.” Sagara meyakinkan Hanna dengan memegang kedua sisian wajah istrinya itu.Hanna kembali menatapnya. Ia bingung harus menjawab apa karena mengkhawatirkan Sagara. Tapi, kantor itu adalah milik suaminya. Mana mungkin sesuatu terjadi padanya.“I’m promise, Hanna. Hanya dua jam. Kalau urusan aku udah selesai, aku akan langsung pulang. Kamu jangan khawatir, Hanna.”Perempu
Andra yang mendengarnya lantas menatap Sagara kembali. Namun, sesuatu di belakang Sagara membuatnya teralih pada benda tersebut.Andra menyingkirkan tubuh Sagara dengan mata menatap ke arah benda yang baru saja ia lihat. Sagara lantas menghampiri Andra dan menyingkirkan beberapa ordner yang menghalangi benda yang Andra lihat di lemari yang sudah tidak pernah dijamah oleh para staff di sana.“Kotak mungil, Sagara!” kata Andra kemudian mengambilnya.“Kayak kotak cincin. Yang belum nikah di sini, kayaknya nggak ada. Kalaupun ada yang baru, mana mungkin nyimpen kotak itu di lemari tua ini.”Andra mengendikan bahunya. “Kita buka aja dulu. Kalau cincinnya keliatan mahal, elo jual aja. Buat tambahan biaya hidup elo sama si Hanna.”Pria itu lantas memutar bola matanya dengan malas. “Sialan, lo!”“Just kidding, Bro. Jangan dibawa emosi.” Andra menerbitkan cengiran kepada sahabatnya itu. Kemudian membuka kotak tersebut.Baik Andra maupun Sagara mengerutkan keningnya. Bukan cincin yang mereka te
Hanna menghentikan acara mengoles selai ke dalam rotinya kemudian menatap Andra yang masih berdiri di sampingnya sembari memikirkan ucapannya tadi.“Seusuatu apa, Andra?” tanya Hana kembali.Andra menolehkan kepalanya kepada Hana. ‘Kayaknya Sagara belum ngasih tau tentang hal itu ke Hana. Atau mungkin orangnya bukan dia. Kalau bukan, bisa menciptakan keretakan rumah tangga, gue,’ ucapnya dalam hati.Sebab, tak mungkin ia ceritakan tentang sesuatu tersebut jika Sagara sendiri belum memberi tahu kepada Hana. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari meneguk air minum kembali.“Lupa. Kejadiannya di lima belas tahun yang lalu. Nggak terlalu ingat dan samar-samar,” ucapnya kemudian.“Tentang apa?” tanya Hana lagi.Andra menghela napas pelan. “Kita pernah punya teman perempuan waktu itu. Tapi, orangnya udah nggak ada. Nggak tau ke mana, dia nggak kasih tau.”“Terus … hubungannya dengan aku, apa?” Hana semakin menyudutkan Andra agar mau bercerita.“Hanya mirip.” Andra menerbitkan
Sehingga membuat Sagara menolehkan kepalanya kepada Andra. Lampu lalu lintas berwarna merah. Sagara menghentikan mobilnya.“Kenapa lo bisa berpikir ke arah sana, Ndra?” tanyanya kemudian.Andra mengendikan bahunya. “Hanya menebak-nebak. Jalan, Sagara. Udah hijau.”Mobil itu kembali melaju. Tingkat penasarannya semakin tinggi tentang apa yang akan disampaikan oleh Suster Indah kepadanya. Ia ingin segera tiba. Ingin segera tahu, apa saja yang terjadi selama dua minggu itu.Tiba di rumah sakit jiwa.Sagara menggenggam tangan Hana dengan erat kemudian melangkahkan kakinya menuju ruang rawat sang mama. Diikuti oleh Andra di belakang mereka."It's okay, Sagara. Semuanya akan baik-baik saja. Mama kamu pasti baik-baik saja." Hana mencoba menguatkan sang suami.Sagara lantas menerbitkan senyumnya kepada Hana kemudian menganggukkan kepalanya dan kembali melangkahkan kakinya menuju ruang rawat mamanya."Pagi, Sus!" Sagara menyapa Suster Indah setelah tiba di ruang rawat Mayang."Pagi, Mas Sagara
Andra menjelaskan dengan panjang mengenai kasus pembunuhan yang terjadi pada Satya. Ia yang sudah curiga kepada Mayang, semakin yakin jika Mayang yang sudah membunuh Satya.Sementara Sagara menghela napasnya dengan panjang. Menatap sang mama dengan sangat lekat kemudian memegang kedua tangan perempuan itu."Bisa jadi Mama disuruh Damar, Ndra." Sagara masih mengira jika yang menaburkan racun ke dalam kue Satya adalah Damar."Sama aja, Sagara. Mau lo nuduh si Damar ataupun nyokap lo, sama aja. Mereka yang udah bunuh bokap lo. Mereka berdua. Nyokap lo pengen nikah sama di Damar. Dan si Damar ingin segera menguasai perusahaan lo. Otomatis orang dua itu yang udah bunuh bokap lo. Dah! Urusan yang racun bokap lo udah selesai. Tinggal cari tau di mana dokumen asli itu disembunyikan Om Satya."Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kemudian melepaskan tangannya yang tadi menggenggam tangan sang mama. Ia mengambil bunga mawar yang dibeli di jalan. Kemudian mengambil batu yang cukup besar yang a
Sehingga membuat Hanna geleng-geleng kepala sembari mengulas senyumnya. “Mau ke makam papa kamu, Sagara?” tanyanya kemudian.Sagara menatap jam yang melingkar di tangannya. “Baru jam dua belas. Ya udah. Kita ke makam Papa dulu. Habis itu kita cari tau tentang dokumen yang sudah aku dan Andra ambil.”Hanna menganggukkan kepalanya.Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah tempat pemakaman umum. Di mana Satya dimakamkan di sana.“Assalamualaikum, Pa. Aku kembali. Bawa istri aku, Hanna. Dan Andra juga. Dia baru ketemu lagi setelah sekian lama nggak ketemu.” Sagara berbicara sembari menabur bunga di atas pusara sang papa.“Terakhir ke sini waktu mau menikah dengan kamu, Hanna. Meminta restu dan mendoakan Papa agar mendapat kebahagiaan di sana,” ucapnya kemudianHanna menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Iya, Sagara.Terima kasih, sudah mengenalkan aku pada orang tua kamu.”Sagara mengusapi punggung istrinya itu. Sementara Andra menatap batu nisan yang
“Aku ingin ikut, Sagara. Aku akan mendampingi kamu sampai urusan ini selesai. Aku baik-baik aja kok. Kayaknya anak aku paham dengan situasi dan kondisi kita. Makanya aku nggak merasa lelah ataupun kacepek’an.” Hanna menerbitkan senyumnya, agar suaminya tahu jika dia baik-baik saja.“Beneran? Kalau capek, bilang, yaa. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa, Hanna. Karena taruhannya, kamu bisa diambil oleh papa kamu karena aku nggak bisa jaga kamu dengan baik.” Sagara menatap Hanna dengan lekat.Perempuan itu lantas mengulas senyumnya sembari menggenggam tangan sang suami. “Don’t worry. I will be fine. Lagi pula, kamu udah stok berbagai macam makanan di sini. Karena tau, aku suka makan.”Pria itu lantas terkekeh pelan. “Ya sudah kalau begitu. Maaf, yaa. Harus ikut andil dalam pencarian semua yang Papa rahasiakan dari aku. Aku nggak akan pernah melupakan kejadian ini, Hanna. Akan selalu mengingatnya. Bahkan, jika semuan
Hari Senin.Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Hanna dan Sagara tengah sarapan sebelum kembali pada aktivitas masing-masing. Hanna kembali ke boutique dan Sagara bekerja sebagai office boy di Lestari Coorporation.Namun, sebelum pergi ke kantor milik Krisna, Sagara akan menghampiri Damar di Anumerta Coorporation. Karena ingin memberi tahu pada semua para staff di sana jika dia masih hidup."Kamu belum memberi tahu aku, apa yang akan kamu lakukan di kantor kamu itu, Sagara," kata Hanna sembari membereskan gelas dan piring."Hanya ingin memberi tahu pada semua orang, kalau aku masih hidup. Akan memberi pelajaran juga ke si Damar kalau aku tidak bisa dibunuh dengan mudahnya.""Tapi, Sagara. Kalau Damar kembali incar kamu, bagaimana? Sedangkan dia ingin sekali kamu meninggal."Sagara menerbitkan senyumnya. "Kamu tenang saja, Hanna. Seperti janjiku seperti yang dulu. Akan baik-baik saja,” ucapnya kemudian mengusap pucuk rambut istrinya itu.Perempuan itu kemudian menghela napasnya deng