Share

6. Sebuah Petunjuk

"Kafizah ...!" pekik Bu Marni sambil berlari ke arah suara barang yang terjatuh.

Raka juga berdiri hendak menyusul, tetapi Pak Rahman langsung mencegah hingga pria tersebut kembali duduk di tempat semula.

"Kamu tunggu dulu di sini, Nak. Saya lihat putri saya dulu." Pak Rahman segera beranjak dari duduknya dan melihat sang istri kewalahan memapah Kafizah.

Pria paruh baya itu segera membantu sang anak untuk sampai di tempat tidur. Raka diam-diam berdiri di balik sekat pemisah antara ruang tamu dengan ruang tengah.

"Nak Raka kemari untuk melamarmu, Nak," ungkap sang bapak membuat gadis bermata bulat tersebut memalingkan wajah.

"Tolak saja, Pak!" sela Kafizah.

"Apa kamu tidak mau memikirkannya lagi, Nak? Minimal dua tiga hari atau bahkan seminggu untuk kamu mempertimbangkan kembali," usul sang bapak membuat Kafizah mendongak dan memejamkan mata.

Gadis itu masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi pria bermata elang itu saat pertama kali melihatnya, lalu menolaknya, kemudian menghinanya.

Kenapa mendadak dia datang dan melamar bahkan seorang diri tanpa ditemani keluarga minimal ayah atau ibunya?

Masih terngiang-ngiang dengan jelas ucapan serta makian pria tersebut setiap kali bertemu dengannya. Bahkan tadi sore dengan pongahnya pria itu mengusir dan memarahi dengan kesalahan yang bukan diperbuat olehnya.

Sungguh miris jika harus menerima pria yang setiap ucapannya bagaikan sembilu yang menusuk sampai ke jantung.

"Untuk apa berpikir lagi, Pak. Sudah jelas waktu itu dia menolak dan menghinaku mentah-mentah. Apa Bapak sudah melupakannya?" Kafizah melayangkan pertanyaan pada bapaknya yang langsung menarik napas berat.

"Bapak masih mengingat dengan jelas, Nak. Akan tetapi, Niat baik tidak boleh disia-siakan," terang Pak Rahman tetap bersikap bijaksana.

"Bapakmu memiliki hati yang tulus, Nak. Makanya dia dengan mudah melupakan dan memaafkan. Karena tidak ada gunanya memendam amarah karena ucapan kasar seseorang," timpal sang ibu yang juga duduk di sisi Kafizah.

"Kafizah tau, Bu. Tapi aku tidak bisa menerima pria yang telah menghinaku. Untuk apa aku menerima jika terpaksa dan berakhir dengan kesia-siaan," balas gadis tersebut membuat Pak Rahman mengangguk paham.

"Baiklah, Nak. Jika itu keputusanmu Bapak tidak bisa memaksa, karena yang akan menjalaninya kan kalian berdua bukan kami." Pak Rahman mengecup pucuk kepala sang anak yang tertutup jilbab.

"Kamu benar. Tidak baik menerima hubungan karena terpaksa. Ternyata putri Bapak sudah sangat dewasa. Semoga kamu juga menemukan seorang pria yang matang dan dewasa, bisa jadi imam yang baik untuk keluarga kecilmu kelak," ujar Pak Rahman dan diaminkan oleh anak dan istrinya.

"Bapak akan menemui Nak Raka terlebih dahulu," ujar Pak Rahman.

Raka yang menguping pembicaraan Kafizah dan keluarganya langsung memejamkan mata dengan sedikit penyesalan.

Dia mengaku salah dan keterlaluan dalam berkata selama ini. Ucapan gadis yang selalu ia hina cacat itu benar-benar memberi tamparan telak untuknya.

Terpaksa? Kata itu memang wajib dipertanyakan padanya dan dasar hatinya.

Apa yang membuatnya nekat datang malam-malam ke rumah gadis yang sempat ia tolak habis-habisan bukan karena ketulusan dan keinginan hati ingin mempersunting.

Melainkan dia tidak punya pilihan lain untuk menebus kesalahannya tadi sore sehingga sang ibu terus mendesaknya untuk mencari dan menemui gadis itu.

Pikirannya sangat dangkal sehingga ia tidak bisa mencerna apa yang terjadi. Seolah ia lupa akan hati yang terluka karena ditorehkan olehnya sendiri.

Usianya sudah matang, tetapi pikirannya belum sematang usianya. Sehingga dipikirannya, setelah meminta maaf, terus melamar maka akan kelar permasalahannya dengan gadis tersebut.

Tanpa berpikir panjang akan dampak yang akan dihasilkan oleh hubungan atas dasar rasa bersalah dan terpaksa.

Hingga ucapan Kafizah membuatnya tersadar dari kesombongannya selama ini. Ia ingin menangis, tetapi seorang pria kadang pantang untuk menangis bukan?

Maka ia hanya mampu memejamkan mata, mengatur napas saat mengingat kilasan peristiwa saat ia menjadikan gadis itu sebagai objek cibirannya.

Ia kembali duduk saat mendengar Pak Rahman hendak keluar kamar putrinya.

"Mohon maaf, Nak Raka. Bapak belum bisa memberi keputusan saat ini mengingat Nak Raka pernah menolak putri Bapak jadi seolah kayak gimana ya," ucap Pak Rahman sulit untuk menolak secara terang-terangan karena takut melukai hati pria tersebut.

Raka mengangguk dan tersenyum. "Saya mengerti, Pak."

Pak Rahman balas mengangguk.

"Pak Rahman benar-benar baik, pantas Ayah ngotot karena sahabatnya memang memiliki sikap yang bijaksana," pujinya dalam hati karena Pak Rahman tidak langsung mengatakan penolakan yang bisa melukai perasaannya seperti apa yang ia lakukan.

"Saya paham dan sadar betul kalau ini kesalahan saya sepenuhnya." Raka menunduk malu.

"Tidak juga, Nak. Kita sama-sama salah karena tidak pernah mempertemukan kalian lebih dulu."

"Apakah aku bisa menunggu sampai Kafizah mau menerima lamaranku?" tanya Raka membuat Pak Rahman mengerutkan kening.

"Maksudnya, Nak Raka memberi kami waktu untuk memberi keputusan?"

"Iya."

"Tapi saya tidak bisa memberi harapan pada Nak Raka untuk hal serius seperti ini," balas Pak Rahman menatap Raka dengan serius.

"Saya siap menunggu sampai ada jawaban yang pasti dari putri anda, Pak."

"Baiklah, Nak. Saya akan meminta putri saya untuk salat istikharah terlebih dahulu," tuturnya.

"Saya sering mendengar istilah salat istikharah saat kita dihadapkan pada dua pilihan. Namun, belum pernah aku amalkan sama sekali. Mungkin saya juga harus melakukannya," kata Raka mengangguk yakin.

Setelah itu, Raka pamit dan berjanji akan datang jika sudah ada keputusan yang jelas dari Kafizah. 

Pak Rahman kembali ke kamar Kafizah dah menyampaikan keinginannya pada sang anak untuk salat istikharah terlebih dahulu.

Walau bagaimanapun, Raka adalah anak dari sahabatnya dan tidak etis jika langsung ditolak begitu saja.

Raka yang sudah sampai di rumah mewahnya langsung disambut dengan berbagai pertanyaan oleh ayahnya.

"Dari mana saja kamu?"

"Dari rumah teman Ayah." Raka langsung mendaratkan bokongnya di sofa dengan malas.

"Siapa? Pak Rahman?"

Raka mengangguk pelan.

"Ngapain ke sana malam-malam?"

"Mewujudkan niat baik Ayah," jawabnya.

"Loh, maksudnya?"

"Maksudnya, aku melamar gadis itu sesuai keinginan Ayah." 

"Kok, bisa? Bukannya kamu menolak? Aneh ...," selidik sang ayah.

"Ayah tuh, yang aneh. Anak sudah nurut malah kebingungan. Raka ke kamar dulu, mau istirahat." Raka beranjak ke kamarnya.

"Mencurigakan," gumam pak Jupri menatap punggung Raka.

Di dalam kamar, Raka membuka ponsel dan mencari tahu tentang tata cara salat istikharah karena dia gak tau sama sekali.

Jangankan salat istikharah, salat wajib pun ia tidak terlalu tahu karena jarang salat. 

Setelah menemukan apa yang ia cari, pria itu langsung mempraktekkannya.

Berharap ada petunjuk dari sang Maha Kuasa.

Ia sendiri tidak yakin dengan perasaannya.

Hingga ia terlelap bayangan gadis yang belakangan ini hadir dalam kehidupannya pun terus menari-nari.

Gadis bermata bulat yang cuek dalam menanggapi hinaannya, gadis yang menangis saat ia tuduh telah melukai ibunya pun muncul di alam mimpinya.

Menjelma sebagai seorang gadis dari kayangan, nan cantik jelita dengan binar mata yang indah hingga tatapannya seolah menyentuh kalbu.

Akan tetapi, anehnya. Gadis yang parasnya sama persis dengan Kafizah berdiri dengan anggunnya, lalu berlari-lari mengibarkan selendang sutra miliknya tanpa bantuan tongkatnya sama sekali.

Senyumnya mengembang dengan indah, membuat sesosok pria yang mematung menatapnya langsung jatuh hati. Tanpa sadar selendang gadis itu terbang, lalu terjatuh menutupi wajah sang pria yang langsung memejamkan mata.

Saat Raka membuka matanya ternyata ....

Akankah itu sebuah petunjuk atau hanya sebuah bayangan karena ia selalu dihantui oleh rasa bersalahnya?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status