Share

7. Direndahkan oleh Sepupu

Author: Mhyaa Selle
last update Last Updated: 2024-01-13 09:23:10

"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi.

"Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya.

"Terus?" tanya sang ibu penasaran.

"Maksudnya?" Raka malah bertanya balik.

"Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?"

"Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat."

"Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak."

"Iyya, nanti Raka beli, Ma."

"Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu.

"Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul batang hidungnya.

Sekarang Raka mengambil alih kerjaan ayahnya di perusahaan otomotif, sedangkan Pak Jufri mengelola usaha lain sehingga kekayaannya tidak akan habis sampai tujuh turunan delapan tanjakan.

***

Siang harinya, Raka keluar dari kantor dan langsung memesan dua kotak nasi untuk dia berikan ke Kafizah sebagai permintaan maafnya.

Tak lupa juga, pria itu membeli tongkat baru untuk mengganti tongkat gadis itu yang telah patah. Tentu saja ia membeli langsung di tempat yang harganya lumayan.

Setelah sampai di toko bunga milik Nurul Kafizah, pria itu gegas turun dan membawa barangnya masuk ke dalam toko.

Sayangnya, gadis yang ia cari tidak ada di sana. Hanya Salsa yang sedang sibuk menata bunga dan merapikan susunan bunga.

"Selamat datang di toko bunga yang menyediakan aneka macam bunga. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Salsa ramah pada setiap pengunjung.

"Saya mau ketemu sama bosmu," balasnya dengan sedikit angkuh.

"Bos? Kak Nurul?"

"Iya, siapa lagi. Memangnya berapa bos di toko ini?" tanyanya sambil menatap ke semua penjuru ruangan, tetapi perempuan yang ia cari tak juga tampak bulu mata lentiknya.

"Hehehe." Salsa cengengesan. "Sayangnya, Kak Nurul hari ini gak datang ke toko."

"Kenapa?"

"Maaf ya, Pak. Itu privasinya Kak Nurul dan gak boleh sembarangan ngasih info sama orang tidak dikenal," balas Salsa mengatupkan tangan di depan dada.

"Saya kenal sama dia," balas Raka tidak mau kalah.

Salsa menatap pria yang ada di hadapannya dengan penuh selidik. "Semua orang yang pernah pesan bunga di sini pasti kenal dia, Pak. Setahu saya anda pernah pesan bunga di sini dan sempat berdebat sama Kak Nurul kan?"

Raka menjadi salah tingkah dengan ucapan Salsa barusan.

"Tapi saya harus tahu kenapa dia gak ke toko.'

"Situ siapanya Kak Nurul, kok, maksa banget?"

"Saya calon suaminya," ucap Raka cepat membuat Salsa melebarkan mata dan menutup mulutnya yang menganga lebar.

"Anda jangan bercanda, Pak! Gak lucu," cetus Salsa mendelik.

"Saya serius calon suaminya," balas Raka sambil menyerahkan tongkat ke hadapan Salsa. "Kalau kamu gak percaya, silakan tanya bosmu langsung, sekalian aku titip tongkat dan makanan ini untuknya."

"Oke, Terima kasih," ujar Salsa yang langsung menerima tongkat itu karena Kafizah memang membutuhkannya.

"Sampaikan juga permintaan maafku padanya!"

Raka segera berlalu dari tempat itu, meski sempat menoleh ke arah toko karena perasaannya seperti ada yang menarik agar ia terus menoleh.

Berdiri sejenak menatap toko, gadis yang ia harapkan muncul pun tidak juga muncul. Hingga ia pun meninggalkan tempat itu menggunakan kendaraan roda empatnya.

Entah kenapa, belakangan ini pikirannya terpatri pada gadis cacat itu.

Setelah kepergian Raka. Salsa langsung menemui Kafizah yang bersembunyi di ruangannya.

"Kak Nui! Pria itu ke sini mau bawa ini." Salsa memperlihatkan tongkat dan kantong plastik yang berisikan nasi kotak.

"Kembalikan saja lagi pada orangnya!" titahnya.

"Pria itu sudah pergi, Kak," ujar Salsa membuat Kafizah mengembuskan napas kasar.

Gadis itu merasa bingung antara menolak atau menerima pemberian Raka. Jika ia menerimanya, maka pria itu akan besar kepala dan makin menganggapnya gampangan.

Jika ia menolak, maka barang itu akan tidak berguna dan menjadi sia-sia karena sudah terlanjur dibeli.

Padahal dia butuh tongkat itu untuk menopang bobot tubuhnya karena tidak ingin terus merepotkan Salsa, ibu dan bapaknya yang terus memapah tubuhnya saat ingin ke mana-mana.

"Tongkatmu ke mana, Nak?" tanya ibunya semalam.

Kafizah terpaksa jujur soal tongkat itu patah karena memukul pencopet yang hendak merampas barang ibu-ibu.

Sang ibu hanya bisa menghela napas panjang saat itu.

Kafizah pun memutuskan menerima tongkat itu demi kebaikan dirinya juga. Gadis itu gak mau egois.

***

Malam harinya, Bu Liana mendatangi kamar putranya untuk menanyakan lagi pertanyaan yang sama pada Raka. Namun, ia mendapati Raka sedang salat hingga menatap putranya dengan terheran-heran.

"Salat apa barusan?" tanya Bu Liana saat Raka selesai berdoa.

"Salat istikharah," jawabnya sambil melipat sajadah.

"Apa Mama gak salah denger eh ... lihat?"

"Emang kenapa, Ma? Ada yang salah?"

"Aneh aja. Soalnya Mama gak pernah liat kamu solat, sekali solat eh ... salat istikharah. Emangnya sudah ada calonnya?" tanya ibunya dengan penuh selidik.

"Ada."

"Siapa?" tanya ibunya penasaran.

"Tanya saja sama Ayah?"

"Oh ... gadis yang pernah ayahmu ceritakan ke Mama dan kamu menolaknya?"

"Itu tahu."

"Ya udah, deh. Semoga segera dapat jawaban yang tepat. Saran Mama sih, jangan terlalu tinggi standarmu sama perempuan."

"Satu lagi! Jangan hanya solat istikharah saja. Salat wajib lima waktu juga jangan kamu tinggalkan!"

***

"Makin rame aja ya pengunjung ke toko ini," celetuk Azura--sepupu Kafizah. Gadis yang mengenakan dress dia atas lutut itu menatap satu persatu pelanggan yang sedang memesan buket bunga.

"Alhamdulillah lumayan, Ra," balas Kafizah yang duduk di kursi kasir.

"Kamu beruntung, sih, kalau soal berbisnis. Tapi sayangnya kamu kurang beruntung soal nasib." Azura menatap sinis kakak sepupunya.

"Maksud kamu apa, Ra?"

"Pura-pura polos lagi. Kamu gak sadar kalau kamu itu gak laku-laku karena kondisi kamu yang cacat itu," ejeknya sembari tangan dilipat di dada.

"Belum saatnya aku bertemu dengan pria yang tepat yang mau menerima aku apa adanya," jawab Kafizah berusaha optimis.

"Sampai kapan? Sampai tahun monyet sekalipun, kamu gak akan ketemu sama pria yang seperti itu. Sekarang jaman udah berubah, semua orang hanya melihat dari fisik doang." Azura memutar bola mata malas.

"Kamu ada perlu apa ke sini?" tanya Kafizah mengalihkan bahasan.

"Aku mau pesan bunga buat acara pernikahanku nanti dan aku juga mau kamu siapkan beberapa bunga mawar untuk di hias di kamarku," kata Azura menjelaskan.

"Satu lagi! Kamu gak usah hadir ke acara pernikahanku ya! Soalnya aku gak mau keluarga calon suamiku melihat kalau ada keluargaku yang cacat sepertimu." Azura menunjuk Kafizah dengan jijik.

"Apa salahnya kalau aku datang untuk mengucap selamat dan memberikan doa kepada kalian," balas Kafizah dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia tahan demi terlihat kuat di hadapan sepupunya.

"Aku gak perlu selamat dan doa darimu. Kalaupun kamu mau, silakan doakan lewat jarak jauh saja!"

"Kenapa kamu bicara seperti itu, Ra? Aku ini sepupumu."

"Aku tau kamu sepupuku dan aku malu punya sepupu cacat sepertimu. Jangankan aku, keluarga yang lain juga malu mengakui kamu."

"Kita beda Kafizah! Aku cantik dan beruntung, sedangkan kamu cacat dan kurang beruntung karena selalu ditolak oleh lelaki. Sementara aku ... semua lelaki berlomba untuk mendapatkan cintaku," ucap Azura dengan bangganya.

"Bunga yang aku pesan tadi gratisin aja, ya! Anggap saja sebagai hadiah di hari pernikahan sepupumu ini." Azura melambaikan tangan hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria menyindirnya.

"Kalau kamu masih butuh bantuan orang lain, setidaknya jangan gunakan mulutmu untuk merendahkan orang lain," ucap Raka membuat wajah Azura langsung merah padam.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    44. Pelukan

    Semenjak kejadian malam itu, Raka tidak pernah lagi meninggalkan Kafizah terlalu lama. Paling lama lima belas menit dan itu hanya saat dia mandi atau hanya buang hajat, salat ia kerjakan di ruang rawat istrinya.Untuk urusan pakaian, semua diantar oleh Bu Liana, ibunya. Sementara makan siang diantar oleh Bu Marni, mertuanya yang setiap hari memasak untuk putrinya. Kadang juga Bu Marni di larang masak oleh besannya karena sudah memesan makanan jadi di restoran.Sementara untun sarapan dan makan malam, Raka hanya memesan lewat online. Begitu terus hingga waktu semakin bergulir dari hari ke hari, Minggu ketemu Minggu dan akhirnya terhitung sudah empat Minggu Kafizah di rumah sakit sebagai seorang istri.Masalah kerjaan, dia hanya memantau lewat CCTV yang tersambung ke laptopnya. Urusan meeting, ia meminta Emil untuk terus mewakili hingga waktu yang belum ditentukan."Maafkan aku, karena selalu merepotkanmu!" kata Kafizah pada suaminya usai salat Isya berjamaah."Kenapa harus minta maaf!

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    43. Ancaman

    Setelah serangkaian acara pernikahan sederhana Raka dan Kafizah usai. Satu persatu orang-orang pulang termasuk Denis yang harus mengantar penghulu dan rekannya.Emil juga pulang karena harus menghadiri meeting untuk menggantikan Raka di kantor. Pak Jupri dan Bu Liana juga pamit karena tidak ingin mengganggu putra dan menantu barunya.Orang tua Kafizah juga diminta untuk pulang oleh Bu Liana agar kedua pengantin baru tersebut bisa menikmati waktu berduaan. Meski belum bisa melakukan adegan romansa, setidaknya mereka punya waktu untuk lebih mengenal satu sama lain.Sebenarnya ada rasa khawatir jika harus meninggalkan Kafizah, tetapi Bu Liana meyakinkan besannya kalau menantunya akan baik-baik saja karena ada Raka yang akan menemani."Titip, putriku, Nak!" ujar Bu Marni sebelum pulang pada menantunya itu."Iya, Bu. Kafizah aman sama Raka," balas Raka sembari mencium punggung tangan Ibu dan Bapak mertuanya yang menepuk pundaknya pelan.Setelah memberi beberapa nasihat pada kedua pasangan

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    42. Hendak Merampas

    Ratih yang melihat seorang pria bersimpuh di lantai langsung menyikut pelan Salsa sambil berbisik. "Kak Sa! Bukankah dia pria yang sama dengan pria yang pernah membawakan bunga untuk Kak Fizah?""He,em ... dialah orangnya," jawab Salsa mengangguk pelan, sembari membagikan nasi kotak pada orang-orang yang sedang duduk di ruang tunggu.Suster turut membantu dan bertugas membagikan makanan itu pada setiap kamar rawat pasien, pada dokter yang bertugas dan pada siapa saja yang ada di sana.Pak Jupri memang sengaja memesan ribuan nasi kotak sebagai rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melancarkan niat baiknya tersebut.Anggap saja sebagai sedekah karena amal satu ini tidak akan bikin miskin sama sekali. Justru setiap barang atau makanan yang disedekahkan akan diganti dengan berlipat ganda"Dia ngapain begitu segala?" tanya Ratih lagi."Patah hati kali," bisik Salsa singkat sambil tersenyum dan mengangguk pada orang-orang yang berterima kasih dan mendoakan kebahagiaan untuk pengan

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    41. Layu Sebelum Mekar

    "Tentang Masa laluku yang akan mempengaruhi masa depan kita," balas Raka membuang napas perlahan.Kafizah menatap wajah pria yang duduk tak jauh dari ranjangnya sambil menunduk, Raka terlihat meremas jemarinya salah tingkah. "Jika itu aib, lebih baik jangan pernah katakan padaku, sebaiknya tutup aibmu! Kalau bisa hanya dirimu dan Allah yang tau supaya hubungan kita tetap terjaga."Pria tampan berwajah tegas itu langsung mengangkat wajah menatap mata bulat Kafizah yang menampakkan aura bijak."Ta-tapi--""Itu rahasiamu, wajib kamu tutup rapat dan jangan beri tahu siapa pun termasuk aku. Andai kemudian aibmu terbuka maka itu ujian buat kita ... ya kita. Coba kamu gali dalil dan hadits tentang keharusan seseorang menutupi aib sendiri!"Raka langsung membuka ponsel dan mencari di laman pencarian tentang dalil dan hadits yang Kafizah maksud.Pria tampan itu membaca dengan seksama apa yang tertera di layar ponselnya.Ada dalil dan hadits sahih yang meminta seseorang menutupi aibnya, kemudia

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    40. Jangan Memulai Hubungan dengan Kebohongan

    "A-aku ...," ucap Kafizah dan Raka bersamaan dengan rasa gugup."Kamu duluan!" Lagi mereka berucap bersamaan sambil memalingkan wajah karena bersemu merah."Ladies first," ujar Raka mempersilakan gadis bermata teduh itu untuk berbicara duluan.Kafizah mengangguk pelan. "Apa kamu tidak mau berpikir-pikir lagi? Maksudnya, kalau kamu hanya terpaksa karena iba padaku, sebaiknya jangan diteruskan! Aku tidak perlu dikasihani."Raka menatap wajah teduh itu beberapa detik lalu menjawab. "Aku serius dengan ucapanku.""Tapi, aku tidak bisa apa-apa. Hanya akan menyusahkanmu saja," balas Kafizah sembari mengulas senyum tipis dan mengingatkan pada Raka bahwa ia pernah berkata demikian, "sekarang aku buntung, semakin memalukan nantinya."Raka memejamkan mata mengingat semua umpatan yang ia lontarkan pada gadis cantik yang bernasib malang tersebut."Percuma cantik tapi cacat, buat apa? Gak ada gunanya.""Dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sek

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    39. Gelisah

    Kafizah menatap Raka sangat dalam, seolah ingin menembus pikiran pria tersebut. Adakah dia hanya bercanda, atau hanya sedang bersandiwara untuk menyelamatkan dirinya dari hinaan tantenya.Akan tetapi, sekian menit gadis cantik itu menatap, tidak ada gelagat aneh dari Raka. Wajahnya malah menampakkan keseriusan dan ketegasan."Nak Raka! Maaf, pernikahan itu bukan untuk main-main, sebelum itu terjadi kita harus mengurus berkasnya di KUA dan membahas mahar meski kami tidak mungkin meminta berlebihan, tetapi mahar harus ada, Nak. Meski sedikit," sahut Pak Rahman menengahi, supaya Raka tidak mempermainkan pernikahan."Dasar, anak muda jaman sekarang, suka banget mengkhayal sesuatu yang tidak akan terjadi," ejek Bu Reni dengan menyunggingkan bibirnya seperti orang yang terkena penyakit stroke"Kalau yang Anda maksud adalah saya, maaf ... Anda salah sasaran. Saya tidak sedang mengkhayal," balas Raka."Saya juga minta maaf, Bapak Mertua, karena sudah lancang membuat keputusan ini. Tapi alangk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status