Share

7. Direndahkan oleh Sepupu

"Bagaimana? Sudah kamu temui gadis itu dan melakukan apa yang Mama suruh?" tanya bu Liana pada putranya saat sarapan pagi.

"Sudah, Ma," sahutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ayahnya. Jangan sampai sang ayah mendengar omelan sang istri pagi-pagi karena kesalahan dirinya.

"Terus?" tanya sang ibu penasaran.

"Maksudnya?" Raka malah bertanya balik.

"Kamu dimaafkan gak? Tongkatnya sudah kamu ganti?"

"Sayangnya enggak," jawabnya cengengesan. "Belum, Mama. Belum sempat."

"Kok, belum, sih. Usahain dong buat ganti. Uang buat beli tongkat kan gak seberapa buatmu, Nak."

"Iyya, nanti Raka beli, Ma."

"Satu lagi ... wajar kalau dia gak mau maafin kamu, karena kamu itu egois, ngegas sama dia yang udah baik mau nolongin Mama. Jadi kamu harus minta maaf lagi sama dia sampai dia maafkan!" titah sang Ibu.

"Iyya, Ma. Nanti Raka temui dia lagi," balas Raka segera menghabiskan roti bakar selai coklat miliknya lalu pamit pada ibunya tanpa pamit pada sang ayah yang belum muncul batang hidungnya.

Sekarang Raka mengambil alih kerjaan ayahnya di perusahaan otomotif, sedangkan Pak Jufri mengelola usaha lain sehingga kekayaannya tidak akan habis sampai tujuh turunan delapan tanjakan.

***

Siang harinya, Raka keluar dari kantor dan langsung memesan dua kotak nasi untuk dia berikan ke Kafizah sebagai permintaan maafnya.

Tak lupa juga, pria itu membeli tongkat baru untuk mengganti tongkat gadis itu yang telah patah. Tentu saja ia membeli langsung di tempat yang harganya lumayan.

Setelah sampai di toko bunga milik Nurul Kafizah, pria itu gegas turun dan membawa barangnya masuk ke dalam toko.

Sayangnya, gadis yang ia cari tidak ada di sana. Hanya Salsa yang sedang sibuk menata bunga dan merapikan susunan bunga.

"Selamat datang di toko bunga yang menyediakan aneka macam bunga. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Salsa ramah pada setiap pengunjung.

"Saya mau ketemu sama bosmu," balasnya dengan sedikit angkuh.

"Bos? Kak Nurul?"

"Iya, siapa lagi. Memangnya berapa bos di toko ini?" tanyanya sambil menatap ke semua penjuru ruangan, tetapi perempuan yang ia cari tak juga tampak bulu mata lentiknya.

"Hehehe." Salsa cengengesan. "Sayangnya, Kak Nurul hari ini gak datang ke toko."

"Kenapa?"

"Maaf ya, Pak. Itu privasinya Kak Nurul dan gak boleh sembarangan ngasih info sama orang tidak dikenal," balas Salsa mengatupkan tangan di depan dada.

"Saya kenal sama dia," balas Raka tidak mau kalah.

Salsa menatap pria yang ada di hadapannya dengan penuh selidik. "Semua orang yang pernah pesan bunga di sini pasti kenal dia, Pak. Setahu saya anda pernah pesan bunga di sini dan sempat berdebat sama Kak Nurul kan?"

Raka menjadi salah tingkah dengan ucapan Salsa barusan.

"Tapi saya harus tahu kenapa dia gak ke toko.'

"Situ siapanya Kak Nurul, kok, maksa banget?"

"Saya calon suaminya," ucap Raka cepat membuat Salsa melebarkan mata dan menutup mulutnya yang menganga lebar.

"Anda jangan bercanda, Pak! Gak lucu," cetus Salsa mendelik.

"Saya serius calon suaminya," balas Raka sambil menyerahkan tongkat ke hadapan Salsa. "Kalau kamu gak percaya, silakan tanya bosmu langsung, sekalian aku titip tongkat dan makanan ini untuknya."

"Oke, Terima kasih," ujar Salsa yang langsung menerima tongkat itu karena Kafizah memang membutuhkannya.

"Sampaikan juga permintaan maafku padanya!"

Raka segera berlalu dari tempat itu, meski sempat menoleh ke arah toko karena perasaannya seperti ada yang menarik agar ia terus menoleh.

Berdiri sejenak menatap toko, gadis yang ia harapkan muncul pun tidak juga muncul. Hingga ia pun meninggalkan tempat itu menggunakan kendaraan roda empatnya.

Entah kenapa, belakangan ini pikirannya terpatri pada gadis cacat itu.

Setelah kepergian Raka. Salsa langsung menemui Kafizah yang bersembunyi di ruangannya.

"Kak Nui! Pria itu ke sini mau bawa ini." Salsa memperlihatkan tongkat dan kantong plastik yang berisikan nasi kotak.

"Kembalikan saja lagi pada orangnya!" titahnya.

"Pria itu sudah pergi, Kak," ujar Salsa membuat Kafizah mengembuskan napas kasar.

Gadis itu merasa bingung antara menolak atau menerima pemberian Raka. Jika ia menerimanya, maka pria itu akan besar kepala dan makin menganggapnya gampangan.

Jika ia menolak, maka barang itu akan tidak berguna dan menjadi sia-sia karena sudah terlanjur dibeli.

Padahal dia butuh tongkat itu untuk menopang bobot tubuhnya karena tidak ingin terus merepotkan Salsa, ibu dan bapaknya yang terus memapah tubuhnya saat ingin ke mana-mana.

"Tongkatmu ke mana, Nak?" tanya ibunya semalam.

Kafizah terpaksa jujur soal tongkat itu patah karena memukul pencopet yang hendak merampas barang ibu-ibu.

Sang ibu hanya bisa menghela napas panjang saat itu.

Kafizah pun memutuskan menerima tongkat itu demi kebaikan dirinya juga. Gadis itu gak mau egois.

***

Malam harinya, Bu Liana mendatangi kamar putranya untuk menanyakan lagi pertanyaan yang sama pada Raka. Namun, ia mendapati Raka sedang salat hingga menatap putranya dengan terheran-heran.

"Salat apa barusan?" tanya Bu Liana saat Raka selesai berdoa.

"Salat istikharah," jawabnya sambil melipat sajadah.

"Apa Mama gak salah denger eh ... lihat?"

"Emang kenapa, Ma? Ada yang salah?"

"Aneh aja. Soalnya Mama gak pernah liat kamu solat, sekali solat eh ... salat istikharah. Emangnya sudah ada calonnya?" tanya ibunya dengan penuh selidik.

"Ada."

"Siapa?" tanya ibunya penasaran.

"Tanya saja sama Ayah?"

"Oh ... gadis yang pernah ayahmu ceritakan ke Mama dan kamu menolaknya?"

"Itu tahu."

"Ya udah, deh. Semoga segera dapat jawaban yang tepat. Saran Mama sih, jangan terlalu tinggi standarmu sama perempuan."

"Satu lagi! Jangan hanya solat istikharah saja. Salat wajib lima waktu juga jangan kamu tinggalkan!"

***

"Makin rame aja ya pengunjung ke toko ini," celetuk Azura--sepupu Kafizah. Gadis yang mengenakan dress dia atas lutut itu menatap satu persatu pelanggan yang sedang memesan buket bunga.

"Alhamdulillah lumayan, Ra," balas Kafizah yang duduk di kursi kasir.

"Kamu beruntung, sih, kalau soal berbisnis. Tapi sayangnya kamu kurang beruntung soal nasib." Azura menatap sinis kakak sepupunya.

"Maksud kamu apa, Ra?"

"Pura-pura polos lagi. Kamu gak sadar kalau kamu itu gak laku-laku karena kondisi kamu yang cacat itu," ejeknya sembari tangan dilipat di dada.

"Belum saatnya aku bertemu dengan pria yang tepat yang mau menerima aku apa adanya," jawab Kafizah berusaha optimis.

"Sampai kapan? Sampai tahun monyet sekalipun, kamu gak akan ketemu sama pria yang seperti itu. Sekarang jaman udah berubah, semua orang hanya melihat dari fisik doang." Azura memutar bola mata malas.

"Kamu ada perlu apa ke sini?" tanya Kafizah mengalihkan bahasan.

"Aku mau pesan bunga buat acara pernikahanku nanti dan aku juga mau kamu siapkan beberapa bunga mawar untuk di hias di kamarku," kata Azura menjelaskan.

"Satu lagi! Kamu gak usah hadir ke acara pernikahanku ya! Soalnya aku gak mau keluarga calon suamiku melihat kalau ada keluargaku yang cacat sepertimu." Azura menunjuk Kafizah dengan jijik.

"Apa salahnya kalau aku datang untuk mengucap selamat dan memberikan doa kepada kalian," balas Kafizah dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia tahan demi terlihat kuat di hadapan sepupunya.

"Aku gak perlu selamat dan doa darimu. Kalaupun kamu mau, silakan doakan lewat jarak jauh saja!"

"Kenapa kamu bicara seperti itu, Ra? Aku ini sepupumu."

"Aku tau kamu sepupuku dan aku malu punya sepupu cacat sepertimu. Jangankan aku, keluarga yang lain juga malu mengakui kamu."

"Kita beda Kafizah! Aku cantik dan beruntung, sedangkan kamu cacat dan kurang beruntung karena selalu ditolak oleh lelaki. Sementara aku ... semua lelaki berlomba untuk mendapatkan cintaku," ucap Azura dengan bangganya.

"Bunga yang aku pesan tadi gratisin aja, ya! Anggap saja sebagai hadiah di hari pernikahan sepupumu ini." Azura melambaikan tangan hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria menyindirnya.

"Kalau kamu masih butuh bantuan orang lain, setidaknya jangan gunakan mulutmu untuk merendahkan orang lain," ucap Raka membuat wajah Azura langsung merah padam.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status