Share

5. Lamaran

Author: Mhyaa Selle
last update Last Updated: 2023-12-21 17:20:58

"Asal kamu tahu, ya Raka. Mama itu habis dicopet---"

"Apa? Mama dicopet sama gadis itu," pekiknya langsung menuduh Kafizah.

"Enggaklah. Kamu salah paham," jawab ibunya menahan kesal.

"Gadis itu malah menolong Mama dari pencopet yang sudah merampas tas Mama. Saat orang itu merampas gelang Mama, pisau yang orang itu pakai buat mengancam kena ke tangan Mama," ucap Bu Liana menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya.

"Jadi mama kecopetan?" tanya Raka terkejut 

"Iya."

"Dan gadis itu menolong Mama?" tanyanya lagi dan langsung membekap mulutnya.

"Iya," jawab Bu Liana dengan kesal dan meraih kain baju milik Kafizah untuk dibungkuskan ke lukanya agar darah berhenti mengalir.

"Asal kamu tahu, gadis itu sangat berani menolong Mama padahal dia sendiri susah berjalan bahkan dia menggunakan tongkatnya untuk memukul pencop*t itu." Bu Liana menunjuk tongkat Kafizah yang berserakan di tanah.

Raka menatap nanar tongkat milik gadis yang ia usir dan maki-maki sekarang sudah patah dan tak berbentuk.

Pantas dia berjalan tidak memakai tongkat, bisik Raka dalam hati.

"Bahkan gadis itu juga merobek baju gamisnya demi menutup luka di lengan Mama."

Raka langsung menatap lengan ibunya yang terbungkus dengan kain yang warna dan coraknya sama dengan baju yang dikenakan Kafizah.

"Kenapa Mama tidak jelaskan dari tadi, sih," omelnya sambil menyugar rambutnya dengan kasar.

"Mama sudah mau jelaskan, tapi kamu selalu memotong penjelasan Mama. Bahkan kamu ngotot pula saat gadis itu mau menjelaskan," balas ibunya tidak mau kalah.

"Mama gak mau tahu ya, sekarang kamu cari gadis itu dan minta maaf sama dia. Kamu harus ganti tongkat miliknya karena itu pasti sangat berguna untuknya."

Bu Liana berusaha berdiri dengan dibantu Raka.

"Mama akan menemui ayahmu dan tugasmu sekarang cari gadis itu sampai dapat!" titah Ibu negara tidak boleh diganggu gugat.

"Oke, Raka akan cari gadis itu. Tapi Mama harus janji satu hal sama aku!" ucap Raka membuat kesepakatan dengan ibunya.

"Janji? Apa itu?"

"Jangan bilang masalah ini sama Ayah!"

Bu Liana menautkan ke dua alisnya karena bingung 

"Kenapa? Kalau ayahmu bertanya kenapa Mama terluka, ya ... terpaksa Mama jelaskan semuanya dengan sejelas-jelasnya sampai kelakuanmu yang sok sekali itu," balas ibunya malah menantang membuat Raka memijat pelipisnya karena pusing, sekaligus takut jika ayahnya tahu kalau gadis yang ibunya maksud adalah Nurul Kafizah gadis cacat yang dijodohkan dengannya.

"Raka mohon, Ma. Jangan bilang ke Ayah ya, please!" mohonnya sekali lagi membuat Bu Liana membuang napas berat.

"Kali ini saja, Ma. Raka janji akan mencari gadis itu dan meminta maaf!" ucapan Raka kembali membuang Bu Liana menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan-lahan.

"Oke, tapi cepat kejar gadis itu sebelum kamu terlambat!" pintanya.

Raka mengangguk lalu berlari menuju arah Kafizah berjalan tadi. Akan tetapi ia kebingungan saat ada dua jalan antara ke kanan dan ke kiri.

Ia ke kiri tapi tak menemukan Kafizah. Pria itu kembali dan mengambil jalur kanan dan terus berputar sambil mencari Kafizah yang saat itu sudah jauh.

Saat Raka sampai di tempat Kafizah dan Salsa menggelar karpet, di sana sudah kosong.

Raka langsung bertanya pada orang yang lewat dan yang ada disekitar situ.

"Maaf, numpang tanya. Apa kalian melihat di sekitaran sini ada seorang gadis yang berjalan sambil memakai tongkat atau jalannya pincang saat tidak memakai tongkat?" tanya Raka membuat orang menganga dan kebingungan.

"Pakai tongkat atau enggak sih, Bang?" tanya orang itu.

"Awalnya pakai tongkat, tapi baru saja dia tidak memakai tongkat. Mana tahu kalian melihatnya?"

"Oh ... iya, aku lihat. Tadi orangnya gelar karpet di situ," celetuk seseorang sambil menunjuk tempat Kafizah bersantai tadi.

"Di sini." Raka melangkah ke tempat yang ditunjuk.

"Iya. Tapi orangnya sudah pergi baru saja," balas orang itu lagi membuat Raka terdiam beberapa saat.

"Oke, terima kasih." Pria itu mengatupkan tangan lalu menatap rumput yang memang seperti bekas ditindis karpet.

Raka mengamati dengan cermat dan ia menyentuh rerumputan yang terdapat darah segar melekat di sana.

"Darah," ucapnya sambil menatap darah itu.

"Apa kakinya berdarah?" tanyanya pada diri sendiri yang langsung diselimuti rasa penyesalan yang tiada terkira.

"Astaga! Sepertinya kakinya terluka," Raka menyugar rambutnya frustrasi.

"Aku sudah salah dan keliru padanya. Kata-kataku juga terlalu kejam. Mungkin dia sangat terluka hati dan perasaannya karena ulahku." Raka mondar-mandir di tempat itu.

Pria itu bingung harus melakukan apa. Sementara Kafizah sudah pergi dari tempat itu.

Jika Raka meminta maaf, kira-kira dia akan semudah itu dimaafkan oleh gadis yang ia sebut-sebut cacat?

Raka kembali menemui orang tuannya yang sudah mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang.

"Apa kamu sudah menemuinya?" tanya sang ibu menatap penuh selidik.

"Belum, Ma," bisiknya sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya sambil memberi kode dengan melirik sang ayah yang sedang sibuk.

"Kok, belum? Kamu 'kan sudah janji sama Mama," ucap Bu Liana dengan suara melengking membuat sang suami langsung menoleh.

"Kenapa, Ma? Raka janji apa sama Mama?" tanya Pak Jufri yang penasaran dengan topik pembahasan antara sang istri dan putranya.

"Eh ... enggak janji apa-apa, kok, Yah. Ini Mama lagi minta dibeliin kue di ujung sana, tapi pas Raka ke sana sudah gak ada," kilahnya sambil menunjuk ke ujung jalan.

"Benar begitu, Ma?" tanya pak Jufri yang kurang percaya dengan ucapan sang anak.

Raka berusaha memberi isyarat pada sang ibu agar mau mendukung kebohongannya kali ini, tetapi bu Liana malah menatap putranya dengan mata memicing

***

"Gimana jalan-jalannya tadi?" tanya Bu Marni pada putrinya yang sejak pulang memilih diam di kamar dan membungkus dirinya dengan selimut.

"Lumayan seru, Bu. Sayangnya Ibu gak ikutan," jawab Kafizah mencoba menyembunyikan kakinya yang berdenyut nyeri.

"Pemandangannya indah dan tempatnya juga rame banget, Bu. Perasaanku juga agak lebih baik dari sebelumnya," jawabnya lagi

"Syukurlah kalau kamu udah lebih tenang dari kemarin-kemarin." Bu Marni membuang napas berat.

Kafizah juga berusaha menahan diri agar tidak meringis karena kakinya tiba-tiba seperti ditusuk dari dalam.

Dia sempat memeriksa kakinya di klinik tadi dan akibat pergerakan yang dipaksakan, tulang kakinya mendadak bereaksi tidak wajar dan tiba-tiba darah menetes sejak tadi.

Darahnya sudah berhenti karena diobati di klinik dan sudah diperban. Akan tetapi obat itu tidak bisa bertahan lama.

Dokter menyarankan agar kakinya segera diamputasi karena sudah terinfeksi kuman berbahaya. Semua itu demi keselamatan jiwanya dari penyakit mematikan.

Kafizah memejamkan mata mengingat ucapan dokter padanya. Gadis itu belum punya cukup keberanian untuk mengatakan hal sebenar pada kedua orangtuanya.

Takut kabar itu membuat bapak dan ibunya semakin sedih, cemas dan semakin terbebani.

Terbebani karena biaya operasi sudah pasti tidak main-main nominalnya.

"Ibu ke sini mau sampaikan sesuatu sama kamu, Nak," ucap Bu Marni akhirnya.

"Apa itu, Bu? Ayo katakan." Kafizah meraih tangan sang Ibu dan menatap netra yang tampak kelelahan itu.

"Di luar ada Nak Raka yang sedang mengobrol dengan bapakmu," ucap ibunya.

Kafizah menautkan kedua alisnya. "Untuk apa dia ke sini, Bu?"

"Katanya Nak Raka mau bertemu denganmu."

"Suruh saja dia pulang, Bu. Kafizah tidak mau bertemu dengannya!" Kafizah merebahkan dirinya di tempat tidur.

"Temuilah sebentar saja! Kasihan, dia datang sendiri malam-malam begini!"

Kafizah tidak menghiraukan ucapan sang ibu. Dia memilih membelakangi ibunya.

Bu Marni menghela napas berat lalu berdiri dan menemui Raka yang sedang duduk dengan sangat cemas di ruang tamu bersama Pak Rahman.

Kafizah diam-diam keluar kamar dan menguping pembicaraan Raka dan bapaknya.

"Saya ke sini sebenarnya mau meminta maaf atas sikapku yang waktu itu dan harusnya aku juga meminta maaf secara langsung sama putri Pak Rahman karena dia pasti yang paling terluka," ucap Raka menatap Pak Rahman yang mengangguk membenarkan.

"Saya juga ke sini bermaksud untuk melanjutkan perjodohan ini. Maksudnya saya melamar putri pak Rahman untuk menjadi pendamping hidup saya," ucapnya membuat kedua orang tua Kafizah terkejut dan saling adu pandang.

Sementara Kafizah tidak sengaja menyenggol sesuatu karena terkejut.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    44. Pelukan

    Semenjak kejadian malam itu, Raka tidak pernah lagi meninggalkan Kafizah terlalu lama. Paling lama lima belas menit dan itu hanya saat dia mandi atau hanya buang hajat, salat ia kerjakan di ruang rawat istrinya.Untuk urusan pakaian, semua diantar oleh Bu Liana, ibunya. Sementara makan siang diantar oleh Bu Marni, mertuanya yang setiap hari memasak untuk putrinya. Kadang juga Bu Marni di larang masak oleh besannya karena sudah memesan makanan jadi di restoran.Sementara untun sarapan dan makan malam, Raka hanya memesan lewat online. Begitu terus hingga waktu semakin bergulir dari hari ke hari, Minggu ketemu Minggu dan akhirnya terhitung sudah empat Minggu Kafizah di rumah sakit sebagai seorang istri.Masalah kerjaan, dia hanya memantau lewat CCTV yang tersambung ke laptopnya. Urusan meeting, ia meminta Emil untuk terus mewakili hingga waktu yang belum ditentukan."Maafkan aku, karena selalu merepotkanmu!" kata Kafizah pada suaminya usai salat Isya berjamaah."Kenapa harus minta maaf!

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    43. Ancaman

    Setelah serangkaian acara pernikahan sederhana Raka dan Kafizah usai. Satu persatu orang-orang pulang termasuk Denis yang harus mengantar penghulu dan rekannya.Emil juga pulang karena harus menghadiri meeting untuk menggantikan Raka di kantor. Pak Jupri dan Bu Liana juga pamit karena tidak ingin mengganggu putra dan menantu barunya.Orang tua Kafizah juga diminta untuk pulang oleh Bu Liana agar kedua pengantin baru tersebut bisa menikmati waktu berduaan. Meski belum bisa melakukan adegan romansa, setidaknya mereka punya waktu untuk lebih mengenal satu sama lain.Sebenarnya ada rasa khawatir jika harus meninggalkan Kafizah, tetapi Bu Liana meyakinkan besannya kalau menantunya akan baik-baik saja karena ada Raka yang akan menemani."Titip, putriku, Nak!" ujar Bu Marni sebelum pulang pada menantunya itu."Iya, Bu. Kafizah aman sama Raka," balas Raka sembari mencium punggung tangan Ibu dan Bapak mertuanya yang menepuk pundaknya pelan.Setelah memberi beberapa nasihat pada kedua pasangan

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    42. Hendak Merampas

    Ratih yang melihat seorang pria bersimpuh di lantai langsung menyikut pelan Salsa sambil berbisik. "Kak Sa! Bukankah dia pria yang sama dengan pria yang pernah membawakan bunga untuk Kak Fizah?""He,em ... dialah orangnya," jawab Salsa mengangguk pelan, sembari membagikan nasi kotak pada orang-orang yang sedang duduk di ruang tunggu.Suster turut membantu dan bertugas membagikan makanan itu pada setiap kamar rawat pasien, pada dokter yang bertugas dan pada siapa saja yang ada di sana.Pak Jupri memang sengaja memesan ribuan nasi kotak sebagai rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melancarkan niat baiknya tersebut.Anggap saja sebagai sedekah karena amal satu ini tidak akan bikin miskin sama sekali. Justru setiap barang atau makanan yang disedekahkan akan diganti dengan berlipat ganda"Dia ngapain begitu segala?" tanya Ratih lagi."Patah hati kali," bisik Salsa singkat sambil tersenyum dan mengangguk pada orang-orang yang berterima kasih dan mendoakan kebahagiaan untuk pengan

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    41. Layu Sebelum Mekar

    "Tentang Masa laluku yang akan mempengaruhi masa depan kita," balas Raka membuang napas perlahan.Kafizah menatap wajah pria yang duduk tak jauh dari ranjangnya sambil menunduk, Raka terlihat meremas jemarinya salah tingkah. "Jika itu aib, lebih baik jangan pernah katakan padaku, sebaiknya tutup aibmu! Kalau bisa hanya dirimu dan Allah yang tau supaya hubungan kita tetap terjaga."Pria tampan berwajah tegas itu langsung mengangkat wajah menatap mata bulat Kafizah yang menampakkan aura bijak."Ta-tapi--""Itu rahasiamu, wajib kamu tutup rapat dan jangan beri tahu siapa pun termasuk aku. Andai kemudian aibmu terbuka maka itu ujian buat kita ... ya kita. Coba kamu gali dalil dan hadits tentang keharusan seseorang menutupi aib sendiri!"Raka langsung membuka ponsel dan mencari di laman pencarian tentang dalil dan hadits yang Kafizah maksud.Pria tampan itu membaca dengan seksama apa yang tertera di layar ponselnya.Ada dalil dan hadits sahih yang meminta seseorang menutupi aibnya, kemudia

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    40. Jangan Memulai Hubungan dengan Kebohongan

    "A-aku ...," ucap Kafizah dan Raka bersamaan dengan rasa gugup."Kamu duluan!" Lagi mereka berucap bersamaan sambil memalingkan wajah karena bersemu merah."Ladies first," ujar Raka mempersilakan gadis bermata teduh itu untuk berbicara duluan.Kafizah mengangguk pelan. "Apa kamu tidak mau berpikir-pikir lagi? Maksudnya, kalau kamu hanya terpaksa karena iba padaku, sebaiknya jangan diteruskan! Aku tidak perlu dikasihani."Raka menatap wajah teduh itu beberapa detik lalu menjawab. "Aku serius dengan ucapanku.""Tapi, aku tidak bisa apa-apa. Hanya akan menyusahkanmu saja," balas Kafizah sembari mengulas senyum tipis dan mengingatkan pada Raka bahwa ia pernah berkata demikian, "sekarang aku buntung, semakin memalukan nantinya."Raka memejamkan mata mengingat semua umpatan yang ia lontarkan pada gadis cantik yang bernasib malang tersebut."Percuma cantik tapi cacat, buat apa? Gak ada gunanya.""Dia tidak bisa apa-apa dan akan menyusahkan. Hidupnya akan selalu bergantung, itu merepotkan sek

  • Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat    39. Gelisah

    Kafizah menatap Raka sangat dalam, seolah ingin menembus pikiran pria tersebut. Adakah dia hanya bercanda, atau hanya sedang bersandiwara untuk menyelamatkan dirinya dari hinaan tantenya.Akan tetapi, sekian menit gadis cantik itu menatap, tidak ada gelagat aneh dari Raka. Wajahnya malah menampakkan keseriusan dan ketegasan."Nak Raka! Maaf, pernikahan itu bukan untuk main-main, sebelum itu terjadi kita harus mengurus berkasnya di KUA dan membahas mahar meski kami tidak mungkin meminta berlebihan, tetapi mahar harus ada, Nak. Meski sedikit," sahut Pak Rahman menengahi, supaya Raka tidak mempermainkan pernikahan."Dasar, anak muda jaman sekarang, suka banget mengkhayal sesuatu yang tidak akan terjadi," ejek Bu Reni dengan menyunggingkan bibirnya seperti orang yang terkena penyakit stroke"Kalau yang Anda maksud adalah saya, maaf ... Anda salah sasaran. Saya tidak sedang mengkhayal," balas Raka."Saya juga minta maaf, Bapak Mertua, karena sudah lancang membuat keputusan ini. Tapi alangk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status