"Sudah kuduga, suamimu memang tidak benar!"
Sebuah kepalan tangan terlihat mengerat seiring dengan semakin jelasnya rekaman video yang baru saja Adelia tampilkan. Rahang pria beralis tebal itu mengeras, napasnya memburu menahan amarah, hingga akhirnya Adelia langsung bergerak mematikan layar ponselnya. Bisma Vidjaya Mahendra, itulah nama lengkap pria yang ada di hadapannya. Pria itu yang membawanya ke mansion mewah di pusat kota ini dan juga yang telah memberikannya secangkir teh dan mantel tebal untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Tak ada lagi kacamata yang menempel di wajahnya. Tubuh kurus nan tinggi kini sudah lebih berisi dengan beberapa otot yang menyembul di balik kemejanya. Ah, sebenarnya apa yang Adelia pikirkan? Terakhir kali Adelia bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu, hidupnya saja sudah banyak berubah hingga kini menjadi hancur. "Kenapa kau kembali?" Adelia bertanya setelah sempat lama bergeming. "Sebaiknya kau beristirahat saja dulu, Adelia. Kita lanjutkan percakapan ini esok agar—" "Kau belum menjawab pertanyaanku, Bisma. Kenapa kau tiba-tiba kembali?" potongnya kukuh yang lantas membuat pria di hadapannya mengeluarkan kartu nama dari sakunya. "CEO NinatyLux?" "Ya, seperti yang kau lihat. CEO lama mengundurkan diri karena tidak sanggup mengatasi masalah yang semakin parah, hingga akhirnya aku ditunjuk dan kembali ke negara ini karena kau—" "Tidak perlu menjelaskannya, aku sudah mengerti." Adelia memotong pembicaraan dan langsung mengembalikan kartu nama tersebut. Bisma yang melihatnya pun menggeleng sebelum akhirnya bersimpuh dan meraih tangan wanita itu. "Jangan bilang kau masih tidak ingin kembali setelah semua ini terjadi, Adelia?" "Bukannya aku tidak ingin kembali, Bisma. Aku hanya ...." "Hanya apa? Apa lagi yang ingin kau pertahankan, Adelia?" Bisma kembali bersuara membuat netra lentik Adelia kembali berkaca-kaca. "Aku turut berdukacita atas kematian anakmu, Adelia. Namun sekarang, suamimu sudah mengkhianatimu! Apa kau akan terus seperti ini?" "Bisma ...." "Aku tidak bisa membiarkanmu hancur, Adelia! Ini saatnya kau bangkit dan menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya!" tegas Bisma seraya meraih dagu wanita di hadapannya. Jujur, ada gemuruh emosi yang kuat di dalam hati Adelia saat ini. Ingin rasanya ia menyembunyikan perasaan hancurnya dari sosok yang selalu bersamanya sedari kecil hingga remaja itu, tetapi Bisma terlalu pintar dalam memahami perasaannya. "Lalu apa yang harus aku lakukan, Bisma? Aku tidak mungkin kembali dalam keadaan seperti ini. Aku sudah memutuskan pergi dari mereka lebih dulu hingga semuanya terlanjur rumit!" lirih Adelia mengalihkan tatapan. "Jadi kau ingin menyerah?" "Bukan seperti itu, Bisma. Aku sudah coba menghubungi mereka, tetapi tidak ada tanggapan berarti. Mereka sepertinya sudah kecewa padaku, apalagi aku sempat menolak bantuan mereka untuk Bintang demi menjaga perasaan Mas Ardi." Adelia menunduk membuat Bisma kembali mengangkat dagunya perlahan. "Mereka tidak akan seperti itu padamu, Adelia. Percayalah padaku, mereka sebenarnya sangat menginginkanmu kembali. Mereka merindukanmu seperti aku merindukanmu!" "Itu tidak mungkin, Bisma!" Tangis Adelia akhirnya pecah kala pria di hadapannya semakin menggenggam erat tangannya. Adelia tak lagi sanggup mengatakan apa pun, terlebih setelahnya Bisma mendekat dan mendekapnya dengan hangat. "Tidak semuanya seburuk yang kau pikirkan, Adelia. Percayalah, masih banyak orang yang mencintaimu dengan tulus!" "Bisma ...." "Tenangkanlah dirimu, Adelia. Aku akan berusaha membuat mereka menerimamu kembali. Dan lusa esok, kita mulai beri pelajaran pertama untuk pria tidak tahu diri itu!" Dahi Adelia mengerenyit kala Bisma menekankan kata-kata terakhirnya. Mulutnya terbuka hendak bertanya, tetapi setelahnya ia malah dikejutkan dengan sebuah kecupan lembut yang tiba-tiba menyapa dahinya. "Percayakan semuanya padaku, Adelia. Maaf, aku baru kembali di saat-saat yang seperti ini!" ucap Bisma beranjak menjauh membuat Adelia menahan langkahnya. "Terima kasih karena mau kembali menolongku, Bisma!" "Ini sudah menjadi kewajibanku, Adelia!" Pria itu mengusap ujung kepala Adelia sekilas sebelum benar-benar melangkah pergi. Dengan segera ia menutup pintu, sebelum akhirnya berjalan mengendap-endap menghubungi seseorang. "Saya sudah bertemu dengannya! Namun sebelum itu, ada beberapa syarat yang harus kalian penuhi!" *** Seperti yang telah direncanakan Bisma sebelumnya, kini Adelia terpaku menatap bayangannya sendiri di antara gedung-gedung bertingkat tinggi. Entah bagaimana cara pria itu mempersiapkan semuanya dengan cepat. Namun yang jelas, kini tak ada lagi pakaian sederhana yang menempel di tubuhnya hingga memori lamanya kembali terbuka. "Bagaimana, Mas? Apa kau sudah mengetahui keberadaan Adelia?" Suara sayup-sayup terdengar dari membuat Adelia langsung bergerak bersembunyi. "Aku tidak tahu, Sayang. Aku pikir dia sudah mati, tetapi nyatanya tidak!" Ardi merangkul pundak Citra dengan mesra tanpa rasa bersalah. "Aku takut dia akan mempermalukan kita dengan video itu, Mas." "Buat apa kau takut? Kalau dia memang berani melakukannya, kupastikan dia yang malu!" "Tapi, Mas—" "Ayolah, Citra. Semua orang yang datang di pemakaman Bintang sudah mengetahui keributanku dengan wanita bodoh itu. Mereka tahu kalau dia istri yang tidak becus, sehingga mereka pasti akan memahami hubungan kita!" Adelia berusaha menahan geram kala Ardi semakin berbicara asal. Hampir saja ia kelepasan menampakkan diri, andai tak ada Bisma yang datang mengejutkannya dari belakang. "Selamat datang kembali di NinatyLux, Adelia! Mulai hari ini kau resmi menjadi sekretarisku!" ucap pria itu yang seketika membuat netra Adelia melebar. "Kau tidak salah, Bisma? Sekretarismu?" "Ya, aku telah mengatur semuanya. Jangan khawatir, tidak ada satu pun keluargamu yang mempersalahkannya. Sehingga ini bisa menjadi awal yang baik untukmu!" Bisma menjelaskan dengan semangat tetapi membuat bahu Adelia melemas. "Bagaimana kalau nanti orang lain mencurigaiku, Bisma? Mereka semua pasti berpikir—" "Ssttt! Pikirkan dirimu sendiri, Adelia. Aku tidak mungkin asal menempatkanmu. Bagaimana kalau nanti kau kembali jatuh cinta dengan pria sejenis calon mantan suamimu?" "Bisma ...." "Sudahlah, ini memang pilihan terbaik untukmu. Lebih baik sekarang kita masuk dan—" "Nah, rupanya kau di sini!" Ucapan Bisma terpaksa berhenti kala Adelia tiba-tiba ditarik dari belakang. Netranya menyipit tajam kala mengetahui siapa sosok yang telah melakukannya, tetapi Adelia malah mencegah langkahnya hingga membuat alisnya menyatu. "Mas Ardi! Kau—" "Kenapa? Terkejut? Harusnya aku yang terkejut melihat keberadaanmu di sini, Adelia! Susah-susah aku mencarimu, tapi nyatanya kau sedang tebar pesona dengan pria lain!" Adelia hampir terjatuh kala Ardi semakin menariknya. Bisma kembali hendak menolongnya, tetapi urung karena setelahnya terdengar suara tamparan keras yang mampu membuat sudut bibirnya terangkat. "Jaga ucapanmu, Mas!" "Dasar kurang ajar!" Satu tangan Ardi terangkat hendak membalas tamparan di pipinya. Namun ia kembali kalah cepat, hingga Adelia langsung menahan dan menghempaskanya dengan tatapan mata yang semakin menantang ke arahnya. "Kurang ajar seperti apa maksudmu, Mas? Aku hanya menampar orang yang pantas aku tampar!""Harapannya kecil, Ayah. Kata dokter, untuk saat ini kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk kebaikan Adelia dan anaknya."Sosok wanita bertubuh tinggi di belakang Oma Nora yang akhirnya menjawab pertanyaan Tuan Brata alias mertuanya sendiri. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang terdengar hingga tiba-tiba Oma Nora tak sadarkan diri di atas kursi roda yang ditempatinya."Biar aku yang membawanya ke ruang perawatan, Bella. Kamu dan yang lainnya di sini saja untuk memantau keadaan Adelia," tutur Bunda Alice berusaha tenang di tengah kegentingan suasana ini."Terima kasih, Kak. Tolong kabari aku jika ada sesuatu yang penting."Mengangguk, ibu kandungnya Bisma tersebut segera berjalan ke ruangan lain. Keadaan sekarang benar-benar terasa mendebarkan. Tak ada satu orang pun yang bisa bernapas lega, terlebih saat ini Adelia sedang berada di tengah ambang hidup dan mati.Seperti yang dikatakan oleh Bella tadi, sekarang semuanya hanya bisa terus berdoa dan berharap tentang keselama
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Di sisi lain, ada seorang pria yang sedang sangat cemas menunggu kabar baik dari wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Napasnya masih tak beraturan setelah tadi sempat berlari sekencang mungkin ke tempat ini, begitu pula dengan tangannya yang masih terasa dingin karena rasa panik yang sempat menyerangnya.Bagaimana bisa Agler tak merasakan semua sensasi menegangkan ini? Adelia yang tiba-tiba tak sadarkan diri dengan sesuatu yang mengalir deras di kedua kakinya membuatnya tak bisa banyak berpikir. Tujuannya saat itu hanya satu, yaitu membawa wanita tersebut ke rumah sakit agar bisa segera ditangani oleh dokter."Maaf, Pak. Apa Anda suaminya?" Sang dokter malah balik bertanya hingga membuat cucunya Tuan Brata itu sedikit mengembuskan napasnya dengan berat."Saya ... Kebetulan saya hanya temannya saja, Dok. Dia dan suaminya sudah lama berpisah," ucapnya sedikit terbata-bata mengingat dirinya yang sebenarnya tak tahu apa-apa tent
"Sial! Kenapa jadi semakin rumit seperti ini?!"Tak bisa melakukan apa pun, Bella hanya bisa sesekali berteriak memaki dari dalam kamarnya. Salah satu tangannya kini mencengkram kuat ponselnya. Beberapa saat lalu jari-jemari yang ada di tangan itu sudah mengetikkan cukup banyak kata untuk mencoba menghubungi pria yang baru saja menjadi suaminya selama beberapa Minggu ini, tetapi sayang semua upayanya tersebut sama sekali tak membuahkan hasil."Ken ... Jika kali ini kau benar-benar bermain dengan Adelia, aku tentu tidak akan membiarkanmu pergi ke ujung dunia sekalipun!"Sekali lagi Bella mendengkus seraya menatap sekilas isi kamarnya. Ia mencoba mencari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan oleh suaminya, hingga kedua netranya memicing saat tak sengaja menemukan sesuatu yang memantulkan cahaya dari atas meja riasnya."Flashdisk? Hmm, baiklah. Mari kita lihat apa yang sudah kau simpan di dalam benda kecil ini, Ken. Kau sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sudah melanggar ke
Kedua netra Agler membulat saat menyadari tubuh Adelia yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah. Dengan segera ia berusaha menjuhkan Citra dari wanita yang sebenarnya tadi sudah berada di sampingnya itu dan tak ragu lagi untuk mendorongnya dengan kencang, sampai beberapa saat kemudian kedua netranya membulat saat menyadari sesuatu yang kini tengah mengarah kepadanya."Ck! Wanita ini benar-benar gila!" gumamnya mendengkus kesal sebelum akhirnya kembali membantu Adelia untuk berdiri tegak di sampingnya."Dia tidak akan pernah berhenti selagi masih melihatku sadar, Agler. Aku mohon, tolong aku! Aku sebenarnya tak peduli dia menghabisiku saat ini, tetapi aku ingin anak ini selamat!" Adelia berucap dengan terengah dan tubuh yang kembali bergetar saat lagi-lagi Citra menggunakan sebuah benda yang sangat ditakuti olehnya."Kau mau berjalan sendiri ke arahku atau aku yang akan menarikmu, Adelia? Cepatlah pilih karena aku tidak mau membuang-buang waktu lagi!"Citra nampak tak main-main dengan
Suara teriakan dari kejauhan lantas membuat seorang pria yang baru saja mengeluh tersebut mempertajam indra pendengarannya. Dengan perlahan langkahnya kembali maju menelusuri jalan setapak yang entah akan membawa dirinya ke mana. Hingga beberapa menit kemudian, kedua netra kembali membulat saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di lahan kosong dengan bayangan dua orang perempuan yang sedikit terlihat di sampingnya."Tidak mungkin! Apa salah satu dari wanita di sana adalah Citra? Kalau memang benar Citra, itu berarti wanita yang sedang disiksa olehnya adalah ....""Sial! Tidak mungkin! Apa iya dia berani segila itu pada Adelia?!"Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil perlahan kembali bergerak mendekat. Rencananya yang ingin menemui Citra secara langsung akhirnya ia urungkan, karena kini dirinya berpikir akan jauh lebih aman jika wanita itu tak mengetahui keberadaannya lebih dulu.Keputusannya ini sebenarnya bukan untuk mengamankan dirinya. Pria yang sudah semakin jauh
"Bisma! Bisma! Tunggu! Ke mana saja kau ini! Aku sampai pusing mencarimu karena ibuku terus bertanya tentang keberadaanmu dan Adelia!"Tanpa diduga-duga Tante Bella kini berjalan mendekat ke arah Bisma yang baru saja keluar dari area belakang villa. Wajahnya seketika menegang melihat tantenya Adelia tersebut, apalagi wanita itu memasang ekspresi tak ramah yang mana juga terlihat dengan jelas aura kemarahan di sana."Maaf, Tante. Tadi aku—""Tadi aku sudah mencarimu di kamar Adelia! Ternyata sampai lelah tanganku mengetuk pintu, tidak ada satu orang pun yang menyahut dari dalam sana. Katamu tadi Adelia ingin beristirahat di kamarnya bukan? Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?" Tante Bella yang belum selesai dengan emosinya kembali berbicara mencecar, hingga tak sadar memotong pembicaraan pria di hadapannya.Dengan berpikir keras, Bisma berusaha mencari cara yang tepat untuk membicarakan keadaan Adelia saat ini. Ia tahu walau sikap sehari-hari Tante Bella pada Adelia terkesan cuek, wa