Tingg!
[Maaf, untuk saat ini Nyonya Besar sedang tidak dapat diganggu!] Dengan tangan yang bergetar, air mata Adelia kembali tumpah. Harapannya pupus. Rasa sakit yang semakin menusuk membuatnya lupa cara bernapas hingga tak menyadari suara langkah yang mendekat ke arahnya. "Sedang apa kau di sini?" "Bu ... Aku—" "Kau sedang mengintip kebersamaan suamimu dengan Citra?" potong Nyonya Sri yang sontak membuat kedua netra coklat Adelia melebar. "Dengarkan aku, Adelia. Biarkan saja mereka di dalam karena sekarang aku membutuhkanmu untuk membereskan ruang tamu!" "Tapi, Bu. Aku tidak mungkin bisa membiarkan mereka berdua di dalam begitu saja. Mereka—" "Akhh! Kau ini memang menantu menyebalkan, Adelia! Tidak bisakah kau langsung menuruti kata-kataku saja? Sudah beruntung kau masih ditampung di rumah ini dengan gratis!" Air mata Adelia kembali membendung tak tahan mendengarnya. Ia semakin kesulitan berbicara, terlebih setelahnya terdengar tawa Ardi dan Citra dari dalam sana yang sama sekali tak dipermasalahkan oleh sang ibu mertua. Apakah kehadirannya di rumah ini sudah sama sekali tak dianggap? Bibir Adelia semakin bergetar memikirkannya. Sepertinya hari ini mulutnya sudah terlalu banyak menelan pil pahit, hingga kini tenggorokannya terasa tercekik. "Mungkin aku belum bisa terlihat sempurna di mata Ibu. Maafkan aku, Bu. Namun sebagai istri Mas Ardi, aku tentu tidak akan bisa membiarkannya bersama wanita lain di dalam sana begitu saja. Aku harus—" "Harus apa? Kau harus marah-marah tidak jelas pada anakku?!" "Bu ... Tetapi ini tetap tidak benar, Mas Ardi dan Citra di dalam sana sedang ...." "Ada apa ini?" Bertepatan dengan Adelia yang berbicara, Ardi tiba-tiba muncul dengan kemeja yang masih belum sepenuhnya dikancingkan. Rasa pilu kembali menyerang Adelia, terlebih setelahnya Citra ikut keluar dengan memasang wajah tanpa rasa bersalah. "Kau lihat kelakuan istrimu, Ardi. Dia tidak mau membantuku membereskan ruang tamu, padahal teman-temanku ingin datang untuk menyampaikan belasungkawa atas atas kematian Bintang!" adu Nyonya Sri yang lantas mengundang lirikan tajam Ardi. "Benar seperti itu, Adelia?" "Aku tidak bermaksud seperti itu, Mas. Aku hanya—" "Biar aku saja yang membantu ibumu, Mas. Mungkin Adelia masih sangat terpuruk dan sedih," sambar Citra yang sontak menarik seluruh perhatian. "Ah, benarkah? Kau memang wanita yang sangat baik, Citra. Walau kau sangat sibuk menjadi sekertaris Ardi, tetapi kau masih mau berbaik hati memikirkan perasaan wanita malas ini dan ingin membantuku!" Netra Adelia kembali bergetar kala melihat ibu mertuanya tersenyum merangkul hangat pundak Citra. Hatinya seperti tengah diiris-iris, mengingat dirinya tak pernah diperlakukan secara baik-baik seperti itu dari awal pernikahannya. "Ya sudah, kalau begitu aku dan Citra akan turun. Dan untukmu Ardi, seharusnya kau didik istrimu lebih baik lagi! Jangan sampai dia semakin membangkang dan hanya seenaknya saja tinggal di rumah ini!" Nyonya Sri langsung melangkahkan kakinya bersamaan dengan Citra yang ada di sampingnya. Adelia yang melihat pemandangan itu pun hanya bisa menggeleng sesaat, sebelum akhirnya dikejutkan dengan sebuah tarikan yang begitu kencang hingga membuat kepalanya hampir terantuk ujung besi kasur. "Apa yang telah kau bicarakan tadi pada ibu, Adelia?! Jangan bilang kau mengatakan yang macam-macam padanya!" geram Ardi tertahan seraya langsung menutup pintu. "Memangnya apa yang sudah kau lakukan dengan Citra sampai kau mendadak panik dan ketakutan, Mas? Kau berselingkuh dengannya? Tepat di hari kematian anakmu sendiri?" "Sialan! Tutup mulutmu, Bodoh! Jangan berkata yang tidak-tidak!" Ardi kembali bersuara meraih wajah Adelia. Dengan netranya yang basah, Adelia mencoba memberanikan diri menatap tatapan menyalang suaminya. Keadaan kamar yang sangat berantakan membuat hatinya kembali terasa perih, terlebih saat ingatannya memutar suara desah dan tawa sempat didengarnya tadi. "Aku sudah mengetahui semuanya, Mas! Aku sudah melihat perselingkuhanmu dengan Citra dan juga sudah mendengar semua yang kau bicarakan padanya di sini!" lirih Adelia pelan yang lantas menarik salah satu sudut bibir Ardi ke atas. "Jadi kau sudah mengetahui semuanya?" "Ya! Aku sudah mengetahui semuanya dan aku—" "Baguslah, kalau begitu aku tidak perlu repot mencari alasan jika ingin bertemu dengan Citra! Mulai malam ini kau bisa tidur di lantai agar Citra bisa tidur dia atas kasur bersamaku!" "Dasar pria gila! Aku ini masih istrimu, Mas!" Rahang tegas Ardi kembali mengeras mendengar ucapan Adelia. Dengan segera ia menarik tubuh lemas itu dan mendorongnya tanpa belas kasih. "Kau memang istriku, Adelia! Tetapi Citra, dia sudah mempunyai tempat tersendiri di hatiku! Dia tentu jauh lebih menarik daripada kau yang bertubuh kurus ini!" Napas Adelia semakin sesak mendengarnya. "Aku sudah merekam aktivitas menjijikkanmu dengan Citra, Mas! Jangan harap aku hanya diam setelah ini!" "Oh, jadi sekarang kau sudah berani mengancam ku?" "Ya! Mulai detik ini aku tidak akan pernah takut pada pria sepertimu, Mas!" "Kau ...." Tanpa aba-aba Adelia langsung membenturkan kepalanya ke wajah Ardi. Pria itu terdengar meringis sesaat. Hidungnya memerah, hingga Adelia segera menggunakan kesempatan ini untuk menjauh. "Serahkan ponselmu padaku atau kau akan kubuat menderita selamanya, Adelia!" berang Ardi dengan tatapannya yang semakin menggelap. "Sampai kapanpun aku tidak akan menyerahkannya padamu, Mas! Aku akan menjadikan video itu sebagai bukti agar kita bisa segera bercerai!" Adelia menekankan setiap kata-katanya sebelum melangkah pergi. Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, sebisa mungkin ia menghindari kejaran Ardi. Adelia tak peduli dengan alas kakinya yang tertinggal, hingga kini pandangannya tertuju pada sebuah jalan besar yang ada di seberangnya. "Berhenti atau kau akan mati, Adelia! Sampai kapanpun kau tidak akan pernah kuceraikan!" teriak Ardi yang nampak terengah di pinggir jalanan. "Kau memang pria egois! Lebih baik aku mati menyusul Bintang daripada hidup bersamamu!" "Adelia! Aku bilang berhenti!" Dengan mengabaikan hiruk-pikuk jalanan, Adelia tetap berlari. Adelia tak peduli dengan keselamatannya. Adelia tak mau lagi berada di dalam kekangan pria yang ternyata selama ini tak pernah mencintainya, hingga tak menyadari sebuah mobil yang melintas cepat seolah hendak mengabulkan ucapannya. "Dasar wanita bodoh!" Dengan segera Ardi memutuskan pergi, meninggalkan Adelia yang nampak sangat pasrah dengan ajalnya. "Tolong jemput bunda, Bintang. Bunda ingin bersamamu!" Adelia membatin seraya memejamkan matanya erat-erat. Sebuah tarikan yang cukup kencang membuat Adelia terkejut. Matanya yang terlampau basah dan memburam tak mampu membuatnya langsung mengenali pria yang sedang menariknya, hingga tiba-tiba saja dirinya tersentak kala menyadari pria itu membopongnya dan langsung memasukkannya ke dalam sebuah mobil. "Kau ...." "Kau terlalu bodoh jika bersedia mati untuk pria itu, Adelia! Ikutlah bersamaku! Aku akan membantumu, asalkan kau kembali seperti dulu dan benar-benar meninggalkan pria itu!""Harapannya kecil, Ayah. Kata dokter, untuk saat ini kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk kebaikan Adelia dan anaknya."Sosok wanita bertubuh tinggi di belakang Oma Nora yang akhirnya menjawab pertanyaan Tuan Brata alias mertuanya sendiri. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang terdengar hingga tiba-tiba Oma Nora tak sadarkan diri di atas kursi roda yang ditempatinya."Biar aku yang membawanya ke ruang perawatan, Bella. Kamu dan yang lainnya di sini saja untuk memantau keadaan Adelia," tutur Bunda Alice berusaha tenang di tengah kegentingan suasana ini."Terima kasih, Kak. Tolong kabari aku jika ada sesuatu yang penting."Mengangguk, ibu kandungnya Bisma tersebut segera berjalan ke ruangan lain. Keadaan sekarang benar-benar terasa mendebarkan. Tak ada satu orang pun yang bisa bernapas lega, terlebih saat ini Adelia sedang berada di tengah ambang hidup dan mati.Seperti yang dikatakan oleh Bella tadi, sekarang semuanya hanya bisa terus berdoa dan berharap tentang keselama
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Di sisi lain, ada seorang pria yang sedang sangat cemas menunggu kabar baik dari wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Napasnya masih tak beraturan setelah tadi sempat berlari sekencang mungkin ke tempat ini, begitu pula dengan tangannya yang masih terasa dingin karena rasa panik yang sempat menyerangnya.Bagaimana bisa Agler tak merasakan semua sensasi menegangkan ini? Adelia yang tiba-tiba tak sadarkan diri dengan sesuatu yang mengalir deras di kedua kakinya membuatnya tak bisa banyak berpikir. Tujuannya saat itu hanya satu, yaitu membawa wanita tersebut ke rumah sakit agar bisa segera ditangani oleh dokter."Maaf, Pak. Apa Anda suaminya?" Sang dokter malah balik bertanya hingga membuat cucunya Tuan Brata itu sedikit mengembuskan napasnya dengan berat."Saya ... Kebetulan saya hanya temannya saja, Dok. Dia dan suaminya sudah lama berpisah," ucapnya sedikit terbata-bata mengingat dirinya yang sebenarnya tak tahu apa-apa tent
"Sial! Kenapa jadi semakin rumit seperti ini?!"Tak bisa melakukan apa pun, Bella hanya bisa sesekali berteriak memaki dari dalam kamarnya. Salah satu tangannya kini mencengkram kuat ponselnya. Beberapa saat lalu jari-jemari yang ada di tangan itu sudah mengetikkan cukup banyak kata untuk mencoba menghubungi pria yang baru saja menjadi suaminya selama beberapa Minggu ini, tetapi sayang semua upayanya tersebut sama sekali tak membuahkan hasil."Ken ... Jika kali ini kau benar-benar bermain dengan Adelia, aku tentu tidak akan membiarkanmu pergi ke ujung dunia sekalipun!"Sekali lagi Bella mendengkus seraya menatap sekilas isi kamarnya. Ia mencoba mencari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan oleh suaminya, hingga kedua netranya memicing saat tak sengaja menemukan sesuatu yang memantulkan cahaya dari atas meja riasnya."Flashdisk? Hmm, baiklah. Mari kita lihat apa yang sudah kau simpan di dalam benda kecil ini, Ken. Kau sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sudah melanggar ke
Kedua netra Agler membulat saat menyadari tubuh Adelia yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah. Dengan segera ia berusaha menjuhkan Citra dari wanita yang sebenarnya tadi sudah berada di sampingnya itu dan tak ragu lagi untuk mendorongnya dengan kencang, sampai beberapa saat kemudian kedua netranya membulat saat menyadari sesuatu yang kini tengah mengarah kepadanya."Ck! Wanita ini benar-benar gila!" gumamnya mendengkus kesal sebelum akhirnya kembali membantu Adelia untuk berdiri tegak di sampingnya."Dia tidak akan pernah berhenti selagi masih melihatku sadar, Agler. Aku mohon, tolong aku! Aku sebenarnya tak peduli dia menghabisiku saat ini, tetapi aku ingin anak ini selamat!" Adelia berucap dengan terengah dan tubuh yang kembali bergetar saat lagi-lagi Citra menggunakan sebuah benda yang sangat ditakuti olehnya."Kau mau berjalan sendiri ke arahku atau aku yang akan menarikmu, Adelia? Cepatlah pilih karena aku tidak mau membuang-buang waktu lagi!"Citra nampak tak main-main dengan
Suara teriakan dari kejauhan lantas membuat seorang pria yang baru saja mengeluh tersebut mempertajam indra pendengarannya. Dengan perlahan langkahnya kembali maju menelusuri jalan setapak yang entah akan membawa dirinya ke mana. Hingga beberapa menit kemudian, kedua netra kembali membulat saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di lahan kosong dengan bayangan dua orang perempuan yang sedikit terlihat di sampingnya."Tidak mungkin! Apa salah satu dari wanita di sana adalah Citra? Kalau memang benar Citra, itu berarti wanita yang sedang disiksa olehnya adalah ....""Sial! Tidak mungkin! Apa iya dia berani segila itu pada Adelia?!"Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil perlahan kembali bergerak mendekat. Rencananya yang ingin menemui Citra secara langsung akhirnya ia urungkan, karena kini dirinya berpikir akan jauh lebih aman jika wanita itu tak mengetahui keberadaannya lebih dulu.Keputusannya ini sebenarnya bukan untuk mengamankan dirinya. Pria yang sudah semakin jauh
"Bisma! Bisma! Tunggu! Ke mana saja kau ini! Aku sampai pusing mencarimu karena ibuku terus bertanya tentang keberadaanmu dan Adelia!"Tanpa diduga-duga Tante Bella kini berjalan mendekat ke arah Bisma yang baru saja keluar dari area belakang villa. Wajahnya seketika menegang melihat tantenya Adelia tersebut, apalagi wanita itu memasang ekspresi tak ramah yang mana juga terlihat dengan jelas aura kemarahan di sana."Maaf, Tante. Tadi aku—""Tadi aku sudah mencarimu di kamar Adelia! Ternyata sampai lelah tanganku mengetuk pintu, tidak ada satu orang pun yang menyahut dari dalam sana. Katamu tadi Adelia ingin beristirahat di kamarnya bukan? Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?" Tante Bella yang belum selesai dengan emosinya kembali berbicara mencecar, hingga tak sadar memotong pembicaraan pria di hadapannya.Dengan berpikir keras, Bisma berusaha mencari cara yang tepat untuk membicarakan keadaan Adelia saat ini. Ia tahu walau sikap sehari-hari Tante Bella pada Adelia terkesan cuek, wa