"Sialan! Kau ...."
Satu tangan Ardi kembali terangkat hendak melayangkan tamparan di pipi Adelia. Namun kali ini dengan cepat Bisma menahan hingga Adelia terpaku menatapnya. "Singkirkan tanganmu!" ucap pria itu penuh penekanan. "Aku tidak mempunyai urusan denganmu! Cepatlah menyingkir! Kau mengganggu urusanku dengan istriku!" Ardi bersuara dengan rahangnya yang semakin mengeras. Tanpa ekspresi, Bisma lantas maju dan menjauhkan Adelia. Ia tatap pria di hadapannya dengan aura yang tak kalah kuat hingga netra hitam itu sedikit membulat. "Maaf, sepertinya Anda yang mengganggu urusan saya di sini. Jika ingin menyelesaikan masalah keluarga, selesaikanlah di rumah!" "Sialan! Kau benar-benar menganggu!" Ardi bergerak maju ingin menyerang pria di hadapannya, tetapi setelahnya beberapa petugas keamanan langsung berdatangan dan menghalangi semua pergerakannya. "Kalian semua sialan! Aku hanya ingin berbicara dengan istriku!" Ardi menggeram membuat Bisma beralih menatap Adelia. "Apa benar dia suamimu?" "Aku ini memang suaminya, Bodoh! Harusnya kau yang ditahan karena telah mencoba mendekati istriku! Kau—" "Maaf, Pak. Pria ini memang suami saya, tetapi sekarang saya sedang mengurus perceraian di pengadilan karena dia berselingkuh dengan wanita lain!" potong Adelia cepat yang sontak mengundang lirikan banyak orang. "Apa yang kau katakan, Adelia? Beraninya kau menggugat ceraiku?! Sampai kapan pun kau tidak akan bisa berpisah dariku!" "Maaf, Mas. Bagiku perselingkuhan adalah kesalahan yang sangat fatal. Keputusanku untuk bercerai darimu sudah sangat bulat!" Bisma menahan senyumnya kala melihat keberanian Adelia semakin terlihat. Ia lantas menaikkan satu tangannya dengan melirik ke arah petugas keamanan dan memberikan kode kibasan yang langsung membuat mereka mengangguk patuh. "Maaf, Pak Ardi. Kami harus membawa Anda ke kantor keamanan!" "Beraninya kalian padaku?! Aku ini manajer!" "Sangat disayangkan sekali perusahaan sebesar NinatyLux mempunyai manajer yang tidak mempunyai etika seperti Anda, Pak Ardi!" "Brengsek! Tutup mulutmu!" Ardi menggerakkan giginya kala pria yang telah memantik emosinya masuk ke dalam kantor bersama Adelia. Tangannya terkepal erat seolah ingin menghajar langsung wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu langsung, terlebih setelahnya terdengar suara desas-desus rekan kantor yang tengah membicarakannya dengan tatapan sinis. "Lepaskan aku!" teriaknya memberontak. "Maaf, Pak Ardi. Kami hanya menjalankan prosedur keamanan!" Citra lantas menarik Ardi menjauh dari keramaian. Sekali lagi ia menoleh ke belakang memperhatikan Adelia dan memicing kala menyadari beberapa item bermerek yang tengah wanita itu kenakan. "Siapa pria itu?! Bisa-bisanya dia membantu Adelia dan semua orang patuh padanya!" gerutu Ardi sambil merapikan kemejanya. "Aku tidak tahu, Mas. Menurut firasatku, dia bukan orang biasa. Kau lihat jam tangannya? Itu adalah jam tangan mahal limited edition!" Hati Ardi semakin memanas mendengarnya, apalagi tadi matanya melihat sendiri perubahan drastis Adelia. Tak ada lagi wajah pucat yang tak sedap dipandangnya, baju kusam nan lusuh kini juga sudah berganti dengan pakaian yang lebih layak dan menarik. "Akhh! Persetan dengan status pria itu, Citra! Kalau memang benar Adelia dekat dengannya, berarti dia sudah menjadi seorang jalang sekarang!" "Aku tidak menyangka perempuan polos seperti Adelia melakukan itu, Mas." "Entahlah, semuanya bisa saja dilakukannya agar bisa bertahan hidup tanpaku. Namun yang aku bingung, kenapa berani sekali dia memunculkan wajahnya di kantor ini? Apa dia benar-benar ingin menantangku?!" "Aku akan berusaha mencari tahu semuanya, Mas. Namun jika Adelia memang benar dekat dengan pria itu, Adelia pasti akan memanfaatkannya untuk membuat kita menderita!" sahut Citra yang semakin membuat tangan Ardi terkepal erat. "Sampai kapanpun dia tidak akan bisa membuat kita menderita, Citra! Akan kubuat dia tidak berdaya lebih dulu sebelum dia merasa terbang di atas angin!" Dengan emosi yang menggebu Ardi lantas masuk ke dalam kantor bersama wanita selingkuhannya. Pria itu berpikir keras untuk membuat Adelia kembali tunduk padanya. Sedangkan di lantai atas, Adelia nampak tertegun menatap sebuah ruangan besar yang dulu cukup sering dikunjunginya. Brukk! "Astaga! Maaf, Bisma. Aku—" "Tidak apa-apa, Adelia. Mau duduk di sana?" Bisma langsung menahan pinggang ramping Adelia kala wanita itu hampir terjatuh setelah menabraknya. Hampir tak ada jarak di antara wajah Bisma dan Adelia saat ini. Kedua insan itu sempat saling bertemu tatap sesaat, sebelum akhirnya Adelia lebih dulu bergerak menjauh kala jantungnya semakin berdebar dengan kencang. "Adelia?" "Ah ... Apa yang kau katakan, Bisma? Di sana tentu kursimu. Aku ... Aku duduk di sini saja!" Adelia lantas meraih sebuah kursi yang ada di sampingnya. Ia segera mempersilakan Bisma duduk, membuat pria tersebut tersenyum sekilas kala menyadari kegugupannya. "Kapan pun kau mau duduk di kursi ini, duduklah saja. Seharusnya kau yang berhak ada di sini, Adelia!" "Aku ... Aku masih harus banyak belajar, Bisma. Sudah lama aku tidak di kantor ini, apalagi aku harus memperbaiki hubunganku dengan keluargaku lebih dahulu." Adelia menunduk, menyesali semua keputusan yang pernah dibuatnya sebelum ini. Dirinya sangat paham tidak bisa kembali ke keluarganya begitu saja. Bahkan andai tak ada Bisma, ia pasti tak akan bisa kembali ke perusahaan ini dengan mudah. "Apa kau tahu sudah hampir seminggu ini suamimu tidak berada di kantor, Adelia?" tanya Bisma beralih topik. "Aku tidak tahu, Bisma. Yang aku tahu selama ini Mas Ardi selalu masuk kerja dan pulang malam dengan alasan sibuk. Dia bahkan baru menemuiku saat mendapati kabar Bintang telah tiada." Bisma menghela napasnya pelan dan merasa bersalah kala Adelia kembali menundukkan wajahnya. "Maafkan aku, Adelia. Bukan maksudku ingin mengingatkanmu pada Bintang. Aku hanya—" "Tidak apa-apa, Bisma. Pertanyaanmu itu sangat wajar, apalagi sekarang kau telah menjabat sebagai CEO di perusahaan ini," potong Adelia cepat seraya berusaha tersenyum menatap pria di hadapannya. "Seharusnya aku yang minta maaf padamu, Bisma. Andai saja waktu itu aku tidak gegabah memaksa semua orang untuk menyetujui kenaikan jabatan Mas Ardi, pasti perusahaan ini tidak akan semakin kacau. Aku benar-benar telah mengambil keputusan yang sangat bodoh!" "Hey, tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Ini semua bukan salahmu, Adelia. Ada hal lain yang juga menyebabkan semuanya semakin parah. Sehingga sekarang, tugas kita adalah memperbaiki itu semua sampai perusahaan ini semakin maju ke depannya nanti!" Adelia terdiam kala Bisma meraih lembut kedua tangannya. Lagi-lagi ia merasakan sebuah dorongan kekuatan, terlebih kala pria itu semakin menatapnya dengan dalam. "Bisma, aku ...." Belum sempat Adelia selesai berbicara, tiba-tiba saja terdengar suara dering telepon. Ingin Adelia mengabaikannya, tetapi benda itu terus berbunyi hingga Bisma mempersilakannya menjawab panggilan tersebut lebih dulu. ["Aku tunggu kau di belakang gedung siang ini! Segera temui aku atau semua foto-fotomu kusebar!"]"Harapannya kecil, Ayah. Kata dokter, untuk saat ini kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk kebaikan Adelia dan anaknya."Sosok wanita bertubuh tinggi di belakang Oma Nora yang akhirnya menjawab pertanyaan Tuan Brata alias mertuanya sendiri. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang terdengar hingga tiba-tiba Oma Nora tak sadarkan diri di atas kursi roda yang ditempatinya."Biar aku yang membawanya ke ruang perawatan, Bella. Kamu dan yang lainnya di sini saja untuk memantau keadaan Adelia," tutur Bunda Alice berusaha tenang di tengah kegentingan suasana ini."Terima kasih, Kak. Tolong kabari aku jika ada sesuatu yang penting."Mengangguk, ibu kandungnya Bisma tersebut segera berjalan ke ruangan lain. Keadaan sekarang benar-benar terasa mendebarkan. Tak ada satu orang pun yang bisa bernapas lega, terlebih saat ini Adelia sedang berada di tengah ambang hidup dan mati.Seperti yang dikatakan oleh Bella tadi, sekarang semuanya hanya bisa terus berdoa dan berharap tentang keselama
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Di sisi lain, ada seorang pria yang sedang sangat cemas menunggu kabar baik dari wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Napasnya masih tak beraturan setelah tadi sempat berlari sekencang mungkin ke tempat ini, begitu pula dengan tangannya yang masih terasa dingin karena rasa panik yang sempat menyerangnya.Bagaimana bisa Agler tak merasakan semua sensasi menegangkan ini? Adelia yang tiba-tiba tak sadarkan diri dengan sesuatu yang mengalir deras di kedua kakinya membuatnya tak bisa banyak berpikir. Tujuannya saat itu hanya satu, yaitu membawa wanita tersebut ke rumah sakit agar bisa segera ditangani oleh dokter."Maaf, Pak. Apa Anda suaminya?" Sang dokter malah balik bertanya hingga membuat cucunya Tuan Brata itu sedikit mengembuskan napasnya dengan berat."Saya ... Kebetulan saya hanya temannya saja, Dok. Dia dan suaminya sudah lama berpisah," ucapnya sedikit terbata-bata mengingat dirinya yang sebenarnya tak tahu apa-apa tent
"Sial! Kenapa jadi semakin rumit seperti ini?!"Tak bisa melakukan apa pun, Bella hanya bisa sesekali berteriak memaki dari dalam kamarnya. Salah satu tangannya kini mencengkram kuat ponselnya. Beberapa saat lalu jari-jemari yang ada di tangan itu sudah mengetikkan cukup banyak kata untuk mencoba menghubungi pria yang baru saja menjadi suaminya selama beberapa Minggu ini, tetapi sayang semua upayanya tersebut sama sekali tak membuahkan hasil."Ken ... Jika kali ini kau benar-benar bermain dengan Adelia, aku tentu tidak akan membiarkanmu pergi ke ujung dunia sekalipun!"Sekali lagi Bella mendengkus seraya menatap sekilas isi kamarnya. Ia mencoba mencari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan oleh suaminya, hingga kedua netranya memicing saat tak sengaja menemukan sesuatu yang memantulkan cahaya dari atas meja riasnya."Flashdisk? Hmm, baiklah. Mari kita lihat apa yang sudah kau simpan di dalam benda kecil ini, Ken. Kau sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sudah melanggar ke
Kedua netra Agler membulat saat menyadari tubuh Adelia yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah. Dengan segera ia berusaha menjuhkan Citra dari wanita yang sebenarnya tadi sudah berada di sampingnya itu dan tak ragu lagi untuk mendorongnya dengan kencang, sampai beberapa saat kemudian kedua netranya membulat saat menyadari sesuatu yang kini tengah mengarah kepadanya."Ck! Wanita ini benar-benar gila!" gumamnya mendengkus kesal sebelum akhirnya kembali membantu Adelia untuk berdiri tegak di sampingnya."Dia tidak akan pernah berhenti selagi masih melihatku sadar, Agler. Aku mohon, tolong aku! Aku sebenarnya tak peduli dia menghabisiku saat ini, tetapi aku ingin anak ini selamat!" Adelia berucap dengan terengah dan tubuh yang kembali bergetar saat lagi-lagi Citra menggunakan sebuah benda yang sangat ditakuti olehnya."Kau mau berjalan sendiri ke arahku atau aku yang akan menarikmu, Adelia? Cepatlah pilih karena aku tidak mau membuang-buang waktu lagi!"Citra nampak tak main-main dengan
Suara teriakan dari kejauhan lantas membuat seorang pria yang baru saja mengeluh tersebut mempertajam indra pendengarannya. Dengan perlahan langkahnya kembali maju menelusuri jalan setapak yang entah akan membawa dirinya ke mana. Hingga beberapa menit kemudian, kedua netra kembali membulat saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di lahan kosong dengan bayangan dua orang perempuan yang sedikit terlihat di sampingnya."Tidak mungkin! Apa salah satu dari wanita di sana adalah Citra? Kalau memang benar Citra, itu berarti wanita yang sedang disiksa olehnya adalah ....""Sial! Tidak mungkin! Apa iya dia berani segila itu pada Adelia?!"Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil perlahan kembali bergerak mendekat. Rencananya yang ingin menemui Citra secara langsung akhirnya ia urungkan, karena kini dirinya berpikir akan jauh lebih aman jika wanita itu tak mengetahui keberadaannya lebih dulu.Keputusannya ini sebenarnya bukan untuk mengamankan dirinya. Pria yang sudah semakin jauh
"Bisma! Bisma! Tunggu! Ke mana saja kau ini! Aku sampai pusing mencarimu karena ibuku terus bertanya tentang keberadaanmu dan Adelia!"Tanpa diduga-duga Tante Bella kini berjalan mendekat ke arah Bisma yang baru saja keluar dari area belakang villa. Wajahnya seketika menegang melihat tantenya Adelia tersebut, apalagi wanita itu memasang ekspresi tak ramah yang mana juga terlihat dengan jelas aura kemarahan di sana."Maaf, Tante. Tadi aku—""Tadi aku sudah mencarimu di kamar Adelia! Ternyata sampai lelah tanganku mengetuk pintu, tidak ada satu orang pun yang menyahut dari dalam sana. Katamu tadi Adelia ingin beristirahat di kamarnya bukan? Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?" Tante Bella yang belum selesai dengan emosinya kembali berbicara mencecar, hingga tak sadar memotong pembicaraan pria di hadapannya.Dengan berpikir keras, Bisma berusaha mencari cara yang tepat untuk membicarakan keadaan Adelia saat ini. Ia tahu walau sikap sehari-hari Tante Bella pada Adelia terkesan cuek, wa