"Iya, Pak, siap. Aku dan juga keluarga akan mengikuti arahan dari bapak. Kami akan melaksanakan apapun, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan tadi siang." Aku menyetujui permintaan Pak Junaedi tersebut."Bagus, Bu. Kami juga sedang mengintai rumah Ibu kok," ujar Pak Junaedi.Aku pun merasa tenang, setelah Pak Junaedi berkata seperti itu. Sebab aku tidak takut lagi, jika ada yang akan berbuat onar kepada keluargaku."Terima kasih, Pak," ucapku.Setelah itu panggilan telepon pun terputus, aku dan Mas Arsya bersiap-siap. Sedangkan kedua anakku telah tertidur pulas. Pada jam sepuluh malam, seperti biasanya bel dirumahku berbunyi. Sepertinya si peneror sedang melancarkan aksinya. Aku dan Mas Arsya pun melihat semua kegiatan yang ada di luar sana, dari handphone yang sudah tersambung dengan CCTV. Didepan rumahku sudah terdapat seseorang, yang memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala serba hitam juga.Tidak berapa lama, dari arah belakang orang tersebut, sudah terdapat para pol
Aku pun merasa kaget, saat mendengar curhatan Susi. Rupanya dari masa lalunya yang buruk itulah, hingga membuat hati Susi memiliki sifat iri dengki kepadaku. Karena ia merasa tidak seberuntung aku, makanya ia merasa iri terhadap kehidupanku yang menurutnya sempurna.Tetapi apa yang dilakukannya ini sudah sangat keterlaluan. Ia begitu tega membuat aku dan keluargaku merasa khawatir dan juga was-was. Bahkan hampir membuat asisten rumah tanggaku celaka. Lebih parah lagi, ia hampir saja membuat aku kehilangan nyawa, kalau saja Allah tidak menyelamatkan aku waktu itu.Hanya saja waktu itu tidak ada saksi, sehingga aku tidak bisa menuntutnya kejalur hukum. Tetapi saat ini, aku tidak akan pernah lagi membiarkannya lepas begitu saja. Aku tidak mau ia sampai terlepas dari jeratan hukum, yang memang sepantasnya ia terima."Susi, kok kamu tega betul sih? Padahal aku kan selalu berbuat baik kepadamu? Tapi mengapa ini balasan yang kamu berikan kepadaku?" tanyaku merasa tidak percaya dengan apa yan
Namun apa yang dilakukan Susi tidaklah ada artinya, para polisi tetap membawa Susi pergi dari hadapan kami dengan menggunakan mobil pribadi. Mereka melakukan semua itu, supaya tidak terlalu mencolok saat pengintaian tadi.Setelah para polisi pergi, sambil membawa Susi untuk diadili. Warga yang menonton pun ikut membubarkan diri, mereka pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga aku dan Mas Arsya, aku dan suamiku pun segera masuk ke dalam rumah karena waktu telah larut.Saat ini telah menunjukan waktu setengah dua belas malam. Aku pun tidak lupa mengunci pintu gerbang dan juga pintu rumah, kemudian kami segera masuk kamar dan tidur. Aku dan Mas Arsya tidak lagi membahas Susi atau siapapun, tetapi kami langsung tertidur pulas saking ngantuknya.***"Bu Mira, semalam itu siapa yang ditangkap?" tanya Bu Titi, dia sengaja datang ke rumahku saking penasarannya."Itu, Bu, teman masa kecil aku sewaktu di Kampung," jawabku."Kok dia bisa mempunyai rasa dendam yang begitu besar sih sama, Bu Mir
"Boleh kok, Bu. Supaya Ibu juga waspada, serta dapat memberitahu kami, jika melihat dia dimanapun." Pak Junaedi memperbolehkan aku mengetahui siapa orang tersebut."Terus siapa orangnya ya, Pak?" tanyaku lagi.Aku terus saja mendesak, tentang siapa pelaku lain yang meneror keluargaku. Karena aku benar-benar merasa penasaran dengan semuanya ini. Aku juga tidak mau kecolongan lagi, biar aku terus waspada menghadapi kemungkinan apapun. Aku akan tetap siaga menghadapi semuanya, walaupun itu adalah kemungkinan terburuk didalam kehidupanku."Bu Mira ... orang yang bersekutu dengan Bu Susi itu adalah Bu Marni. Ia juga seorang pemilik rumah makan, sama seperti Bu Mira. Menurut Susi, Bu Marni adalah orang yang mendukung dan mem-fasilitas-i dirinya, selama melakukan peneroran terhadap Ibu dan juga keluarga. Bahkan Bu Marni juga, yang membayar sewa rumah Pak Suryo untuk tempat tinggal Bu Susi." Pak Junaedi membeberkan semua yang didengarnya, dari pengakuan Susi tersebut."Astagfirullah ... jadi
"Asyik ada Nenek dan juga Kakek, kapan Nenek dan Kakek sampai rumah Azka?" tanya Azka, sambil menghambur kepelukan Ibu dan juga Bapak.Azka juga menanyakan hal yang sama, kepada Ibu dan Bapak. Ia begitu senang, saat melihat Ibu dan Bapak sudah berada dirumahku."Barusan, Nak. Bagaimana kalian sehat?" tanya Ibu balik."Alhamdulillah, Bu, kami dalam keadaan sehat. Bu, kenapa Ibu tidak mengabari dulu, kalau Ibu mau datang? Kan bisa aku jemput, kalau Ibu mengabari dulu?" tanyaku lagi.Aku merasa kaget, saat Ibu dan Bapakku sudah berada di rumah saat ini. Padahal mereka sama sekali belum memberi kabar kepadaku, kalau mereka mau datang saat ini. "Nak, semenjak kalian balik dari kampung. Ibu merasa tidak tenang, Ibu bahkan selalu bermimpi buruk tentang kalian. Makanya Ibu dan Bapak sekarang menyusul kesini," terang Ibu."Iya, Nak, apa yang dibilang oleh ibumu itu benar. Ibumu tidak bisa tidur tenang semenjak kalian balik ke kota," timpal Bapak.Benar-benar begitu kuat, ikatan batin antara
"Eh ... Ibu-ibu lihat, ternyata ada orang kota tuh datang ke sini!," ujar Bu Mega memberitahu Ibu-ibu yang lain, kemudian Ibu-ibu pun langsung melirik ke arahku. "Mira, kamu kapan datang dari kota?" tanya Bu Mega, saat aku baru sampai ke warungnya Mbak Nina. Bu Mega si wanita paling kepo di kampungku, selalu ingin tahu tentang kehidupan orang."Kemarin sore, Bu," sahutku pendek."Kamu dari kota ke sini naik apa, Mira? Apa naik mobil umum lagi?" tanya Mbak Nina, Kakak sepupuku yang merupakan pemilik warung. Seperti biasa, setiap kali aku pulang ke kampung halamanku, hal pertama yang dipertanyakan adalah, aku pulang kampung naik apa? Semua itu seakan menjadi topik utama untuk diketahui. Walaupun saudara, tetapi Mbak Nina sudah seperti tetangga kepo, yang selalu menilai kehidupanku dengan apa yang aku miliki."Iya, Mbak, aku naik mobil umum. Memangnya kenapa, Mbak?" Aku balik tanya."Mira ... Mira, kapan sih kamu punya mobil sendiri, kok naik umum terus? Apa enaknya coba naik mobil umum
"Blagu banget kamu, Mira! Tapi lumayan juga sih, sering-sering saja kaya begini," ucap Bu Mega tidak tahu malu."Iya, Mira, sering-sering aja traktir kami," timpal Bu Mala."Bisa saja sih, Ibu-ibu, tapi apa untungnya buat aku?" tanyaku lalu pergi.Aku pun tidak lagi merespon ucapan mereka, yang berisik setelah aku berkata seperti itu. Aku langsung pergi menuju rumah Ibu, yang hanya terhalang sepuluh rumah, dari rumah Mbak Nina tersebut.*****"Mira, kapan kamu pulang? Mana nih oleh-oleh Jakartaannya?" tanya Susi teman sekolahku, saat bertemu di jalan sewaktu aku pulang dari warung Mbak Nina."Aku nggak bawa oleh-oleh banyak, Sus. Soalnya aku datangnya saja naik angkutan umum, kalau kamu mau datang saja ke rumahku ya!" Aku menjawab pertanyaan Susi."Ya ampun, Mira, ternyata kamu ini masih kere saja ya! Pulang masih naik angkutan umum, percuma dong tinggal di kota, kalau kehidupan kamu lebih susah dari orang kampung." Susi mencela ucapanku.Susi yang merupakan temanku sewaktu kecil juga
"Susi, sudah diam kamu! Jangan terus membuat masalah," ucap Mas Hamdan yang masih sempat aku dengar.Aku pun geleng-geleng kepala, saat melihat tingkah laku teman masa kecilku, yang kini sudah banyak berubah. Setelah itu aku pun kembali berjalan meninggalkan tempat pertemuanku dengan Susi dan Mas Hamdan menuju rumah ibuku.Sesampainya di sana, ternyata Bapak sudah menungguku di kursi yang ada di teras. Aku pun segera memberikan kopi tersebut kepada Bapak, yang memang sedang menungguku."Pak, maaf ya lama, tadi Mbak Nina ngajak ngobrol dulu,""Iya, Nak, tidak apa-apa. Ya sudah Bapak pamit dulu ya, assalamualaikum," "Waalaalaikumsalam," sahutku.Bapak pun pergi meninggalkanku dan pekarangan rumah untuk pergi ke sawahnya yang lumayan jauh. Bapak berangkat menggunakan motor bututnya, tetapi mesinnya masih bagus sebab Bapak rawat. Motor tersebut katanya dibeli ketika Bapak masih berpacaran dengan Ibu.Setelah Bapak tidak lagi terlihat, aku pun segera masuk ke dalam rumah, sambil membawa