"Asyik ada Nenek dan juga Kakek, kapan Nenek dan Kakek sampai rumah Azka?" tanya Azka, sambil menghambur kepelukan Ibu dan juga Bapak.Azka juga menanyakan hal yang sama, kepada Ibu dan Bapak. Ia begitu senang, saat melihat Ibu dan Bapak sudah berada dirumahku."Barusan, Nak. Bagaimana kalian sehat?" tanya Ibu balik."Alhamdulillah, Bu, kami dalam keadaan sehat. Bu, kenapa Ibu tidak mengabari dulu, kalau Ibu mau datang? Kan bisa aku jemput, kalau Ibu mengabari dulu?" tanyaku lagi.Aku merasa kaget, saat Ibu dan Bapakku sudah berada di rumah saat ini. Padahal mereka sama sekali belum memberi kabar kepadaku, kalau mereka mau datang saat ini. "Nak, semenjak kalian balik dari kampung. Ibu merasa tidak tenang, Ibu bahkan selalu bermimpi buruk tentang kalian. Makanya Ibu dan Bapak sekarang menyusul kesini," terang Ibu."Iya, Nak, apa yang dibilang oleh ibumu itu benar. Ibumu tidak bisa tidur tenang semenjak kalian balik ke kota," timpal Bapak.Benar-benar begitu kuat, ikatan batin antara
"Eh ... Ibu-ibu lihat, ternyata ada orang kota tuh datang ke sini!," ujar Bu Mega memberitahu Ibu-ibu yang lain, kemudian Ibu-ibu pun langsung melirik ke arahku. "Mira, kamu kapan datang dari kota?" tanya Bu Mega, saat aku baru sampai ke warungnya Mbak Nina. Bu Mega si wanita paling kepo di kampungku, selalu ingin tahu tentang kehidupan orang."Kemarin sore, Bu," sahutku pendek."Kamu dari kota ke sini naik apa, Mira? Apa naik mobil umum lagi?" tanya Mbak Nina, Kakak sepupuku yang merupakan pemilik warung. Seperti biasa, setiap kali aku pulang ke kampung halamanku, hal pertama yang dipertanyakan adalah, aku pulang kampung naik apa? Semua itu seakan menjadi topik utama untuk diketahui. Walaupun saudara, tetapi Mbak Nina sudah seperti tetangga kepo, yang selalu menilai kehidupanku dengan apa yang aku miliki."Iya, Mbak, aku naik mobil umum. Memangnya kenapa, Mbak?" Aku balik tanya."Mira ... Mira, kapan sih kamu punya mobil sendiri, kok naik umum terus? Apa enaknya coba naik mobil umum
"Blagu banget kamu, Mira! Tapi lumayan juga sih, sering-sering saja kaya begini," ucap Bu Mega tidak tahu malu."Iya, Mira, sering-sering aja traktir kami," timpal Bu Mala."Bisa saja sih, Ibu-ibu, tapi apa untungnya buat aku?" tanyaku lalu pergi.Aku pun tidak lagi merespon ucapan mereka, yang berisik setelah aku berkata seperti itu. Aku langsung pergi menuju rumah Ibu, yang hanya terhalang sepuluh rumah, dari rumah Mbak Nina tersebut.*****"Mira, kapan kamu pulang? Mana nih oleh-oleh Jakartaannya?" tanya Susi teman sekolahku, saat bertemu di jalan sewaktu aku pulang dari warung Mbak Nina."Aku nggak bawa oleh-oleh banyak, Sus. Soalnya aku datangnya saja naik angkutan umum, kalau kamu mau datang saja ke rumahku ya!" Aku menjawab pertanyaan Susi."Ya ampun, Mira, ternyata kamu ini masih kere saja ya! Pulang masih naik angkutan umum, percuma dong tinggal di kota, kalau kehidupan kamu lebih susah dari orang kampung." Susi mencela ucapanku.Susi yang merupakan temanku sewaktu kecil juga
"Susi, sudah diam kamu! Jangan terus membuat masalah," ucap Mas Hamdan yang masih sempat aku dengar.Aku pun geleng-geleng kepala, saat melihat tingkah laku teman masa kecilku, yang kini sudah banyak berubah. Setelah itu aku pun kembali berjalan meninggalkan tempat pertemuanku dengan Susi dan Mas Hamdan menuju rumah ibuku.Sesampainya di sana, ternyata Bapak sudah menungguku di kursi yang ada di teras. Aku pun segera memberikan kopi tersebut kepada Bapak, yang memang sedang menungguku."Pak, maaf ya lama, tadi Mbak Nina ngajak ngobrol dulu,""Iya, Nak, tidak apa-apa. Ya sudah Bapak pamit dulu ya, assalamualaikum," "Waalaalaikumsalam," sahutku.Bapak pun pergi meninggalkanku dan pekarangan rumah untuk pergi ke sawahnya yang lumayan jauh. Bapak berangkat menggunakan motor bututnya, tetapi mesinnya masih bagus sebab Bapak rawat. Motor tersebut katanya dibeli ketika Bapak masih berpacaran dengan Ibu.Setelah Bapak tidak lagi terlihat, aku pun segera masuk ke dalam rumah, sambil membawa
"Iya, Bu, bahkan mereka mengataiku sebagai perempuan jalang segala." Aku berterus terang kepada Ibu, sebab dia adalah orang yang selalu setia mendengarkan curhatanku."Ya sudah, kamu jangan ambil pusing perkataan mereka. Biarkanlah mereka berkata apa, toh semua perkataan baik dan buruknya juga akan berbalik ke diri mereka masing-masing." Ibu memberi pepatah kepadaku, supaya aku tidak membalas perbuatan jelek semua orang yang selalu menghinaku.Aku pun mengiyakan, apa yang ibuku pesankan kepadaku. Karena apa yang diucapkan Ibu itu memang benar, serta merupakan jalan terbaik untukku."Bunda, Arka mau membantu Kakek lagi ya," pinta anak sulungku, yang baru berusia sepuluh tahun dan kini mau masuk ke kelas lima Sekolah Dasar."Iya, Bun, Azka juga mau membantu Kakek lagi." Anak bungsuku meminta izin untuk membantu kakeknya.Azka kini baru berusia lima tahun dan mau masuk Sekolah Taman Kanak-Kanak."Boleh, tapi kalian tetap harus berhati-hati ya. Jangan sambil bercanda membantu kakeknya," p
"Sakit kamu bilang, apalagi yang dirasa anak Mira, yang sampai mengeluarkan darah. Sedangkan tamparan ku ini tidak sampai mengeluarkan darah, tapi kamu bilang sakit, Susi. Tidak seperti yang anak Mira alami. Kamu itu pantas mendapatkan semua ini, kamu itu sudah keterlaluan, kamu telah kurang ajar, Susi! Tidak puaskah kamu terus mengganggu, Mira? Bahkan kamu selalu membuat ulah, serta kamu selalu membuat aku malu, hah!" Mas Hamdan memarahi Susi di depan orang banyak.Sedangkan anakku diobati oleh para tetangga, yang selalu baik padaku. Karena tidak semua orang bersifat seenaknya, ada juga yang masih menghargai satu sama lain."Mas, kenapa kamu selalu membela Mira? Aku melakukan semua ini juga karena ulah dia, yang telah lancang menceritakan semua yang aku katakan sama kamu. Aku tidak suka kamu terus berdekatan dengan dia, Mas. Bukankah kamu tau itu?" tanya Susi kepada Mas Hamdan, sambil berderai air mata."Susi, sadar kamu! Karena rasa cemburu buta yang kamu rasa, kamu telah begitu ja
Mas Hamdan sudah bener-bener membenci istrinya, sampai-sampai ia tidak membantu istrinya tersebut. Bagitu terserah saja, Mas Hamdan mau membantu Susi ataupun tidak. Karena yang terpenting bagiku, Susi harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya."Sekarang aku minta, supaya kamu segera membawa anakku berobat. Sebab aku tidak mau, jika anakku sampai terjadi apa-apa dikemudian hari." Aku meminta, supaya Susi segera membawa anakku berobat."Iya, Mira, tunggu aku akan mencari uangnya dulu!" Susi berkata sambil berdiri dan hendak pergi."Ok, aku tunggu seperempat jam, jika sampai seperempat jam kamu belum datang juga. Aku akan laporkan semua ini ke pihak yang berwajib," ancamku.Aku sengaja mengancamnya, supaya dia mempunyai efek jera. Karena semua perbuatan akan ada konsekuensinya."Iya, Mira, tapi aku minta waktu setengah jam ya! Karena mencari uangnya pun tidak gampang," pinta Susi."Bukannya kamu itu orang kaya ya, Sus? Kok harus mencari uangnya dulu," tanyaku meledek."Yang Kaya i
Aku pun langsung mengusap dada lalu beristigfar, supaya aku bisa menahan emosiku yang kini mulai tidak stabil."Terserah apa katamu, Mbak, yang penting aku tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Toh ada saksi-saksi juga kok, termasuk Mas Hamdan suaminya Susi sendiri. Jika Mbak merasa tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan, silakan Mbak tanya langsung suaminya Susi. Apa aku meminta bayaran atas kecelakaan yang anakku alami atau tidak? Karena aku tidak merasa meminta bayaran atas apa yang terjadi terhadap anakku. Aku hanya meminta, supaya Susi mau mengobati anakku sampai sembuh, tetapi tidak meminta uang sama sekali darinya." Aku menuturkan sedetail mungkin, tentang apa yang sebenarnya terjadi kemarin, pada saat aku meminta pertanggung jawaban Susi untuk mengobati anakku."Ya ... Mana ada maling mau ngaku, sebab kalau semua maling ngaku, maka penjara akan penuh." Mbak Nina malah menyahut ucapanku dengan pribahasa, yang artinya tidak mempercayaiku.Aku pun tidak lagi meladeni Kakak s