Aku tak menyangka istri yang selama ini kuhina dan kurendahkan karena kukira hanya seorang pengangguran ternyata konten kreator terkenal berpenghasilan besar. Penyesalan memang selalu datang belakangan...
View More"Ini buat belanja bulan ini! Dihemat hemat! Nyari uang susah!" ujarku pada Rina, istriku.
Kuberikan tujuh lembar uang bermata merah yang diterimanya dengan wajah terlihat gundah. Tapi aku tak peduli. Meski gajiku lumayan banyak, delapan juta rupiah setiap bulan, tapi aku masih punya Ibu dan adik-adik yang harus aku biayai kebutuhan hidupnya setiap bulan. Sementara Rina baru punya anak satu. Itu pun Aldi baru usia dua tahun. Belum punya banyak kebutuhan. Tak seperti Vita dan Dewi, kedua adikku yang sudah kuliah semester satu dan semester tiga di sebuah perguruan tinggi swasta. SPP dan biaya kuliah mereka sangat besar. Tak mungkin aku abaikan. Pun Ibu yang seorang janda yang hanya mengandalkan gajiku semata untuk kebutuhan bulanan mereka, jadilah istriku hanya kebagian tujuh ratus ribu untuk biaya hidup kami satu bulan, sementara Ibu dan adikku kuberi lima juta, sisanya buat BBM aku ke kantor, makan siang dan ngopi di luar sesekali. Selama ini istriku itu sudah sering protes, katanya kebutuhan ekonomi semuanya naik, tapi aku tak peduli. Kalau naik dan tidak cukup ya harus kreatif lah. Tanam cabai sendiri kek, tanam kangkung sendiri kek, nggak semuanya harus dibeli. Tapi Rina selalu beralasan tak ada pekarangan yang bisa ditanami. Padahal polibag banyak. Dasar dia saja yang manja dan tak kreatif. Bisanya cuma menadahkan tangan pada suami. Kalau bukan karena sudah punya anak, ingin rasanya aku kembalikan dia ke kampung halamannya, ke pangkuan orang tuanya, supaya aku bisa ganti istri yang ridho dengan besar nafkah yang aku berikan. "Mas, nggak bisa ditambah lagi? Beras sudah lima belas ribu satu kilogram, Mas. Minyak dan yang lainnya juga naik. Uang segini nggak cukup lagi buat makan satu bulan, Mas. Mana token dan air juga mas suruh aku yang bayar." Air mata tampak menggenang di sudut pelupuk mata Rina, membuatku gerah. Sudah aku duga, dia bakalan protes. Perempuan itu memang tak pernah bersyukur punya suami sebaik aku yang masih mau memberi nafkah anak istri. Di luar sana berapa banyak suami yang sudah tak memberi nafkah, eh masih selingkuh dan K D R T pula? Dasar istri tak tahu terima kasih! Rutukku kesal dalam hati. "Sudahlah, Rin! Cukup nggak cukup, mas hanya bisa ngasih segini! Kalau nggak cukup ya kamu kerja buat bantu suami! Jangan nadah terus bisanya! Atau kalau enggak, kamu puasa! Biar nggak boros belanja!" bentakku kasar sembari mengibaskan tangan di depannya. Mendengar perkataanku, Rina terdiam. Dan masih diam hingga aku membalikkan badan meninggalkan perempuan tak tahu terima kasih itu. Di luar sana banyak istri tak dinafkahi suami, eh dia sudah dinafkahi masih saja kurang! Dasar istri tak bisa bersyukur! * "Ham, kamu nggak keluar? Cari makan yuk, lapar nih," ajakku pada Ilham, teman satu divisi di perusahaan tempat aku bekerja. Ilham menoleh lalu menggelengkan kepalanya. "Aku nggak makan di luar. Dibawain bekal sama istriku," jawab Ilham sambil memperlihatkan kotak bekal di tangannya. Terlihat semur daging yang kelihatannya enak, ayam goreng yang kelihatannya juga gurih, tumis sayur, perkedel, kerupuk dan yang lainnya. Kelihatannya istri Ilham sangat pandai masak, tak seperti Rina yang cuma bisa dadar telor dan goreng tempe saja. Muak sudah aku dengan menu yang dimasak nya setiap hari. Wajar jatah bulanannya hanya kuberi tujuh ratus ribu rupiah saja. Aku tak mau rugi. Buat apa ngasih banyak banyak jika hanya makan dengan dadar telur saja setiap hari? "Istri kamu pandai masak ya, Ham. Beruntung banget kamu punya istri seperti Naya," ucapku jujur memuji istri Ilham. Selain cantik dan modis, Naya juga pintar masak. Ah, harusnya dia yang jadi istriku, bukan Rina. Benar benar sudah salah pilih istri aku ini. "Bukan hanya pinter masak, tapi juga pinter dandan dan pinter di ran ... jang, Ram, ha ... ha ... ha ... beruntung banget aku dapat Naya. Pintar mengatur keuangan. Semua urusan beres di tangannya," jawab Ilham sambil tersenyum ceria. Melihat ekspresi nya itu aku jadi tergelitik ingin tahu, berapa uang bulanan yang diberikan Ilham pada istrinya, karena setahuku selain masih menanggung hidup orang tua dan adiknya, penampilan Ilham juga tak seperti orang susah. Dia sangat ceria dan menikmati hari harinya tak seperti aku yang bingung dan kekurangan melulu. "Ham, boleh aku tahu, berapa sih nafkah bulanan yang kamu kasih ke istri kamu? Kok bisa masak enak terus tiap hari?" tanyaku penasaran. Ilham tersenyum lalu menyahut. "Uang gajiku kukasih istri semua, Ram. Biar dia yang ngatur. Dia juga yang ngasih ke Ibu dan adikku. Juga ngasih untuk BBM dan uang sakuku ke kantor. Uang itu nggak pernah sisa buat kebutuhan kami semua, tapi Alhamdulillah karena istriku merasa dihargai, jadi dia berusaha bantu aku dengan usaha online." "Ibu dan adikku juga diajak usaha sama-sama, jadi gak sepenuhnya bergantung dari penghasilanku." "Kebutuhan hidup sekarang 'kan luar biasa mahalnya, Ram. Gaji delapan juta saja masih gak cukup buat semuanya, makanya istriku sambil usaha online juga. Alhamdulillah penghasilannya malah lebih besar dari penghasilanku, dan uang itu ditabung istriku untuk beli rumah, kendaraan dan aset lainnya buat anak-anak." "Makanya aku bisa beli rumah, mobil dan lain lainnya, Ram, karena istriku juga semangat kerjanya. Kami saling support, saling dukung, makanya walau pun gaji segitu sementara kebutuhan banyak, kami alhamdulilah nggak pernah kekurangan," jawab Ilham diplomatis membuatku merasa sedikit tak nyaman mendengarnya, seolah seolah seperti hendak menyindirku yang memberikan uang gaji hanya pas pasan pada Rina. Ya, walau pun sama sama masih harus menafkahi orang tua dan adik, tapi Ilham kelihatan lebih teratur dan terencana berbagi penghasilan, tak sepertiku yang hampir seratus persen kuberikan pada Ibu dan adik-adikku sementara Rina hanya kuberikan sepuluh persennya saja. Tapi penjelasan Ilham itu tak sedikit pun mengubah prinsip ku. Bagiku ibu dan adik adikku berada di atas Rina dan anaknya, maksudku anak kami, karena Aldi baru berusia dua tahun, belum banyak kebutuhan, sementara adik-adikku semuanya mahasiswi, punya kebutuhan uang yang lebih besar. Jadi sudah sewajarnya Rina mengalah demi adik-adik dan ibu, karena mereka lah yang membuat aku sukses seperti sekarang. Doa ibu yang membuatku bisa seperti sekarang, bukan Rina yang hanya bisa menuntut nafkah besar tapi tak bisa memberikan apa yang suami inginkan. "Oh ya udah kalau gitu, aku keluar sendirian aja. Mau cari ampera dekat sini. Maklum istriku gak pernah bisa masak enak, makanya aku gak pernah bawa bekal," jawabku apa adanya karena Rina memang tak pernah membawakan aku bekal makan siang. Dulu sering sih dia menawari aku bekal, tapi karena lauknya cuma tumis kangkung dan tempe goreng, dari pada aku malu, lebih baik aku tak bawa bekal. Punya istri Rina memang tak ada manfaatnya. Tapi mau bagaimana lagi, tak mungkin aku ceraikan karena kami sudah punya Aldi."Bu, ini aku bawain beras, gula sama minyak makan. Kebetulan aku baru dapat TPP, jadi sekalian aku beliin buat Ibu,” ucap Mbak Laila, menantu dari anak kedua Ibu yang baru saja tiba sambil menenteng dua buah kantong besar berisi sembako ke ruang tengah.Melihat itu, Ibu mertua langsung tersenyum lebar.“Wah, repot-repot kamu, Laila. Tapi makasih banget ya. Kamu memang menantu Ibu yang paling jempolan. Nggak pernah lupa sama mertua kalau dapat rezeki.""Sudah cantik, PNS, perhatian banget lagi sama mertua. Benar-benar beruntung Doni dapat istri seperti kamu. Nggak semua orang lho diberi anugerah punya istri sempurna kayak kamu, contohnya si Farid," ucap Bu Marni sambil lagi-lagi melirik sinis ke arah Nadira yang tengah menyapu ruang tengah.Mendengar sindiran itu, lagi-lagi Nadira pun hanya diam, tapi di dalam hatinya, wanita itu yakin tak lama lagi kebanggaan itu pasti akan segera berubah menjadi penyesalan...“Ah, Ibu, ini nggak seberapa. Nanti kalau Laila dapat rezeki lagi, pasti La
Sore harinya, suara mobil berhenti tepat di depan rumah Bu Marni. Nadira yang tengah menjemur pakaian di halaman rumah, menoleh sekilas. Dari kejauhan, ia melihat Niken, kakak iparnya, turun dari mobil sambil membawa kantong plastik hitam.“Assalamualaikum, Bu!” sapa Niken ceria.“Waalaikumsalam! Nah, ini dia yang Ibu tunggu-tunggu,” sambut Bu Marni sambil tergopoh keluar, wajahnya langsung berbinar.Niken menyerahkan kantong di tangannya dengan senyum ramah.“Ini, Bu… uang yang Ibu pinjam, totalnya dua belas juta. Sama KTP Ibu, sekalian Niken balikin.”Bu Marni menerima kantong itu dengan wajah berbinar ceria dan lega.“Alhamdulillah… kamu memang menantu idaman, Nik. Ibu jadi nggak pusing lagi mikirin kuliahnya Dina sama Rara, juga utang ke Bu Dewi.”Bu Marni kemudian menatap Niken lalu menambahkan, “Tapi bayarnya bulan depan ya. Tunggu Farid gajian dulu.”Niken tertawa kecil. “Aduh, Bu… nggak usah dipikirin sekarang. Kapan ada uang, bayar. Yang penting urusan kuliah adik-adik lancar
"Kamu mau pinjam KTP Ibu? Tapi buat apa, Nik?" tanya Bu Marni tak mengerti.Niken tersenyum tipis, berusaha menjawab dengan tenang.“Buat urusan administrasi aja, Bu. Sebentar aja kok. Nanti sore juga udah Niken balikin."Mendengar jawaban tenang dari menantu kesayangannya itu, Bu Marni pun akhirnya yakin dan mengambil KTP dari dalam tasnya lalu memberikannya pada menantunya itu.Sebelum Niken pergi, Bu Marni menggamit bahu Niken lalu mengajaknya bicara agak jauh dari tempat itu."Niken, Ibu butuh uang buat bayar uang kuliah adik-adik kamu dan untuk bayar hutang ke Bu Dewi. Jumlahnya dua belas juta rupiah. Apa kamu bisa minjamin Ibu uang. Tolong Niken. Kamu menantu yang paling bisa Ibu andalkan. Gajimu besar. Pasti kamu punya tabungan kan? Pinjamin dulu Ibu uang ya. Bulan depan kalau Farid gajian, pasti Ibu bayar," ucap Bu Marni dengan suara pelan, takut terdengar oleh Nadira.Menantu yang selalu dicap-nya miskin. Tapi siapa sangka hari ini malah dia yang kelihatan miskin karena tiba-
Suasana rumah masih terasa panas setelah perdebatan di meja makan tadi. Nadira di dapur sibuk mencuci piring, sementara di ruang tengah Bu Marni duduk dengan wajah kusut, Dina dan Rara di sampingnya masih mengeluh soal uang kuliah.Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.Tok… tok… tok…“Assalamualaikum…!” suara nyaring seorang wanita terdengar jelas dari luar.Bu Marni bangkit, melangkah ke pintu lalu berseru, “Waalaikumsalam… eh, Bu Dewi! Masuk, Bu, masuk!”Dari balik pintu, muncul sosok perempuan paruh baya dengan dandanan mencolok, lipstik merah terang, bedak tebal, dan pergelangan tangan penuh gelang emas yang berkilau.Senyumnya lebar, tapi matanya menyapu ruangan seperti sedang mencari sesuatu.“Waduh, lagi sibuk ya, Bu Marni? Saya sebentar aja. Ini… saya mau ingetin soal perhiasan yang Ibu ambil bulan lalu. Ingat kan, gelang sama kalung itu? Sisa pembayarannya masih lima juta, Bu. Jatuh tempo-nya kemarin,” kata Bu Dewi dengan nada ramah tapi jelas terselip ketegasan.Wajah Bu
Nadira menyalakan kompor, menuang minyak ke wajan, lalu memecahkan beberapa butir telur di atasnya. Tangannya bergerak cepat meski pikirannya masih dipenuhi hinaan Bu Marni, Dina, dan Rara tadi.Dia bertekad, suatu saat nanti, akan membalas semua hinaan itu dengan kesuksesannya menjadi seorang affiliator e-commerce. Pekerjaan tanpa modal yang sekarang ia geluti.Bau bawang goreng mulai memenuhi udara saat tiba-tiba ....Drrt… Drrt ....Getaran HP di saku bajunya membuatnya kaget. Nadira buru-buru mengecilkan api kompor, lalu melangkah ke sudut dapur yang agak tersembunyi di balik lemari piring.Ia mengeluarkan ponselnya, menatap layar dan menemukan notifikasi dari bank tempat dia mendaftarkan rekening. Ia bisa membaca dengan jelas di sana:Dana masuk: Rp2.150.000,-Jantungnya berdebar kencang. Jemarinya gemetar oleh seribu perasaan yang merasuki hatinya saat ini. Gembira, bangga, lega dan seribu perasaan lain yang campur aduk menjadi satu.Bagi orang lain nominal sebanyak itu mungkin
Tok! Tok! Tok!“Nadira! Bangun! Cepat keluar! Dasar menantu pemalas! Sudah pagi masih juga ngorok!" suara Bu Marni terdengar membentak dari luar pintu.Nadira terbangun kaget dari tidurnya. Kelopak matanya terasa berat dan kepalanya pusing seperti habis dipukul palu godam, tapi ia tetap berusaha bangkit. Semalam ia baru tidur menjelang dini hari setelah menyelesaikan semua chat pembeli. Dan sekarang dia merasa tubuhnya lemas seolah tak bertulang.Ia melirik jam dinding, ternyata masih pukul lima pagi.“Bu … sebentar, ya. Nadira shalat dulu,” jawabnya lemah sambil bangkit dari tempat tidur. Ia belum melaksanakan solat Subuh dan merasa bersyukur juga dibangunkan jam segini karena betapa pun lemah raganya, kewajiban menunaikan ibadah pada sang Pencipta tetaplah tak boleh ditinggal.Tapi tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kasar dan Bu Marni berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang seolah mau menelannya hidup-hidup.“Sebentar? Dasar perempuan malas! Jam segini masih tidur! Kamu ngga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments