Harlan masuk rumah dengan wajah kusut. Makin bertambah saat mendapati istri memasang bibir cemberut, lalu mengejar langkahnya ke kamar.“Mana uangnya?” Safea menadah tangan begitu mereka di kamar.“Apa, sih? Orang baru pulang juga.” Harlan melepas kemeja, dan melemparnya sembarang ke atas kursi rias.Hanya mengenakan kaus dalam, dan boxer lelaki itu menjatuhkan badan ke atas kasur. Dua tangan dipakai menyangga kepala.“Mas ketemu mereka, kan? Dikasih berapa?” Safea duduk di sebelah tubuh suami.“Enggak ada! Katanya, sisanya itu dikasih nunggu habis kamu lahiran,” ujar Harlan tanpa senyum. Bibir lebarnya mengatup, memandang langit-langit dengan sorot menerawang.“Yah … masih lama. Masa kita nunggu tiga bulan lagi? Dapat uang dari mana cona buat bertahan, Mas?”Harlan termenung. Diam tanpa semangat.“Mas Har nggak punya tabungan lagi?”“Nggak ada.”“Ck!!” Safea menatap lelaki itu kesal. “Pokoknya Mas Har coba ketemu lagi sama mereka. Ambil sisanya semua. Nanti setelah lahiran tinggal me
“Mami tetap setuju kamu sama Nadine, Jay! Coba perhatikan baik-baik, dia kurang apa sebagai perempuan? Pendidikannya. Keluarganya. Nadine juga sudah cocok dengan Mami.”“Ini masalahnya kecenderungan hati Jay jelas pada Rahma, Mi.“Buka mata kamulebih lebar, Jay! Lihat mana lebih baik untuk masa depanmu. Mami yakin kamu lebih bahagia dengan Nadine dibanding perempuan itu.”“Mami seyakin itu?”“Tentu. Doa mami akan ngalir buat kalian berdua. Doa restu seorang ibu. Sementara kalau kamu tetap memilih perempuan itu, yang ada malah sebaliknya. Mami tidak ikhlas.”“Dari awal Mami tau Jay nggak bisa mencintai Nadine.”“Cinta akan datang kalau kalian sudah tinggal bersama. Makanya mami ingin kamu dan Nadine langsung menikah.”“Apa?”“Sudah jelas, Jay. Mami tetap akan menikahkanmu dengan Nadine. Selama Mami masih hidup, tolong jangan tolak keinginan ini.”“Aaaaaaaa!” pekik lepas Dimas sambil merentangkan tangan mengepal keras. Pembicaraan memanas dengan sang mami semalam membuatnya harus melepa
Hari-hari Safea dirasa bergerak merayap. Lelah fisik dan mental membuat wajahnya tak lagi bersinar. Keributan menjadi makanan hari-hari antara ia dan suami.Hari ini Safea murka, uang yang diharap tersisa untuk masa depannya usai melahirkan malah diambil Harlan. Hanya dua juta lelaki itu berikan padanya tadi.“Mending kita cerai daripada aku diperas gini, Mas! Uang itu hasilku! Uang lelah dan susah payahnya aku hamil!” pekiknya geram.“Maaf, Sayang. Mas ini nggak tega nolak keinginan adek-adek mas.”“Ya udah sana! Pikirin aja mereka! Sekarang Mas Har nggak boleh temui aku lagi!” Perempuan muda ini memaksa diri duduk sambil memegang pinggang yang terasa kian berat.Hari perkiraan melahirkan sudah dekat, harapan akan menata kembali hidupnya yang hancur punah sudah. Semua barang di kamar berterbangan jadi sasaran kemarahannya mengusir Harlan.“Hasna sama Hesti lagi butuh, Sayang. Mengertilah.”“Bisa-bisanya kamu bilang gitu, Mas?! Itu uangku! Bukan hasil kerjamu! Gara-gara Mas Har semua
Sepanjang malam tadi Rahma meminta dalam doa, agar hidup bisa lepas dari gangguan lelaki yang pernah menginjak harga dirinya. Ia dihantui takut dan resah atas komentar Harlan yang seperti sengaja mau menjatuhkan pekerjaannya.“Sudah, nggak usah dipedulikan, Ra. Toh yang liat malah ikut ngejek dia, kan?”“Iya, Mbak Din. Cuma aku nggak enak aja akun kita jadi gitu.” Saat Dini ke ruko hari ini, Rahma ceritakan tentang komentar itu.Meski sudah dihapus dan diblokir tetap muncul lagi akun baru dengan komentar serupa. Rahma mengikuti saran Dini tetap tenang tanpa merasa terganggu, tetap memposting artikel pendek juga promosi seperti biasa.Tindakan Rahma didukung followers, sebagian mereka balas komentar menyerang Harlan.Seminggu berlalu tak ada lagi terror itu. Harlan mungkin kapok, tapi Rahma tetap siaga, ia takut Harlan melakukan hal lain mengganggunya. *“Jangan diburu menikah, Mi. Prosesnya aja belum sukses. Biarkan Jay pelan-pelan menjalani.”Dimas kecewa rencana pernikahan tetap di
Nadine membanting ponselnya sembarang, mengenai punggung ranjang, terpental ke lantai. Ia terbawa emosi sejak pagi menghubungi Dimas belum juga mendapat respon. Sampai mala mini pun menunggu tetap belum aktif ponselnya.Ia tidak bisa bersabar lagi menunggu bagai orang dungu. Seorang Nadine ingin apa yang dikehendaki direspons segera. Dimas benar-benar suka menguras emosinya.Perempuan yang mengenakan tanktop bertali kecil ini menyambar kunci mobil, menarik jaket jeans dari gantungan, dan mengenakannya sambil melangkah panjang ke luar.“Ke mana, Nadine?” Wanita berpakaian tidur itu mendekat, khawatir melihat wajah cemberut putrinya yang akan keluar rumah.“Ke rumah Jay, Ma,” jawab Nadine sambil lalu.“Ada apa? Ini sudah larut. Apa Jay sudah di rumah?” Ria mengejarnya sampai pintu depan.“Justru itu, Ma. Dia itu maunya apa, sih nggak respons panggilan aku?!”“Jangan bawa mobil dalam keadaan emosi, biar mama yang ngantar.”Nadine pun pasrah mamanya mengambil alih kunci mobil.“Awas dia k
Harlan datang ke rumah Bu Tami dengan gaya khasnya, seolah lelaki tertampan sedunia.Kehadirannya disambut raut masam dua perempuan yang duduk di ruang tamu.“Woi! Kenapa lihat aku begitu? Mana Azka?” tanyanya sambil celingukan.Safea buang muka lantas gegas ke kamar. Ia sudah lama muak lihat wajah Harlan. Tidak mau lagi berurusan dengan lelaki yang menolak menceraikannya itu.“Azka lagi tidur. Kenapa? Tumbenan ingat rumah ini?” Bu Tami bersedekap.“Lah, lah? Apa maksud Ibu? Oh, pasti Ibu mau halangi aku temui Azka, hum?”Alis lelaki itu naik sebelah. “Aku rindu anakku sekarang. bukan rindu istri cantikku yang hobi manyun itu.”“Kenapa baru sekarang anggap Azka anak? Mana tanggung jawabmu setelah berapa lama hilang?”Seminggu sejak keributan parahnya dengan Safea, Harlan memang tak pernah muncul batang hidungnya, lalu sekarang datang seolah tak bersalah.“Itu urusan pribadi, Bu. Nggak perlu juga kali aku jelaskan.” Ia melewati begitu saja Bu Tami yang melarangnya ke kamar Azka.“Mau ap
Pentungan besi satpam tepat mengenai jari Nadine, berhasil membuat pisaunya terlempar jauh. Gadis itu mengerang dan meloncat-loncat menahan nyeri.“Tolong mbaknya!” Beberapa orang masuk langsung membantu Rahma bangun, dan diobati lukanya.“Mam-mi …??” Seketika tubuh Nadine membeku melihat ada Bu Hakim di depan pintu, tengah menatapnya kecewa. “Se-sejak kapan Mami di sini?”“Kamu angkat tangan!” Satu dari tiga orang laki-laki membawa borgol meneriakinya. “Bawa dia ke kantor polisi!”“Saya nggak salah, Pak! Dia itu janda gatal! Dia sembunyikan calon suami saya!”“Nanti Mbak jelaskan di kantor saja,” tegas mereka tetap memborgol dan menggiringnya keluar.“Mi, tolong Nadine, Mi! Aku ini calon istri Jay, Mi!”Sayangnya Bu Hakim tak sedikit pun mau melihat wajahnya. “Mi! Ini semua juga gara-gara Mami! Gara-gara Jay!! Kalian semuaa!” pekik gadis itu terus histeris sampai di lantai bawah.Beberapa orang kembali turun usai Rahma mengatakan dirinya baik-baik saja, dan menolak ke rumah sakit. T
“Maksudnya apa ini, Mas Harlan?!”[Hei, rindunya aku dengar kata ‘Mas Harlan’ dari bibirmu, Rahma … tapi nggak usah semarah gitu juga. Aku mantan suami sekaligus masih adik iparmu lho. Aku sengaja bawa Azka keluar. Jalan-jalan biar bisa main kayak anak-anak lain, tapi kami kehabisan duit.]“Azka dibawa main ke mana?”[Hm, belum bisa main ini kami masih nepi di jalan …][Kamu kirim uang dulu buat Azka]“Aku akan kirim 200 ribu, tapi habis itu Mas cepat bawa Azka pulang. Mainnya biar diantar Ibu aja.”Terdengar cengengesan tawa Harlan di sana. [Mana cukup segitu, Maniis … aku minta kamu kirim lima juta, Rahma. Kami tunggu!]“Gila! Kamu mau memerasku?!”[Hehehe. Biasa aja, Manis. Kalau kamu nggak kirim, aku sama Azka akan tahan makan sampai kelaparan di jalan. Kamu mau kami ma-] “Awas kau, Harlan! Kalau Azka kenapa-kenapa, aku nggak pikir panjang membalasmu!”[Uww, takut. Hahaa. Cepat kirim uangnya Rahma! Aku serius ini!]Panggilan terputus. Detik kemudian pesan masuk berisi nomor reken