Aku yang tak kuasa menahan tangisan dan gejolak kesedihan langsung bersimpuh di depan ibu mertua. Memohon di kakinya agar tidak diperlakukan serendah itu."Ibu tidak pantas ibu merendahkan saya seperti ini, saya adalah menantu Ibu," ucapku menangis."Hahah, apa kau merasa takut dan lemah hati?""Tolong maafkan saya," ucapku "Harusnya pikirkan dulu sikapmu sebelum bertindak, kau membuat keluargaku malu, kau menjadikan masyarakat punya topik pembicaraan atas kami semua. Aku ini orang terhormat, bukan rendahan sepertimu," ucapnya sambil mendorong kepalaku. Saking kerasnya dorongan tangan ibu menyodok kepala, gelungan rambut yang kuikat sampai terlepas dan membuat anak rambutku terurai menutupi wajah."Tolong jangan suruh saya buka baju ..." Sungguh miris hati ini sampai memohon seperti itu, aku seperti berada di jaman penjajahan, terhina dan tidak punya pilihan."Baik, kalo tidak mau buka baju," ujarnya sambil melirik suami, dan kedua putranya, berikut juga cucu cucunya yang terdiam.
Mungkin karena melihat kami yang sudah rapi dan berkemas kemas, ibu mertua menjadi risih dan rasa ingin tahunya segera memaksa wanita itu untuk mendatangi pelataran rumah kami. "Heh, mau kemana kalian," ujarnya ketika melihat Kak Aidil menumpuk kardus pakaian dan perlengkapan rumah tangga.Aku yang sibuk mengganti popok Rima hanya acuh tak acuh saja, kuputuskan untuk fokus pada anakku dan membiarkan wanita itu bicara dengan putranya. Kubuka dompet, di mana aku menyisihkan uang belanja untuk keperluan mendadak, ada beberapa lembar dan kurasa akan cukup jika kugunakan uang itu sebagai ongkos dan modal bertahan hidup dua sampai tiga hari."Ibu tanya kamu mau ke mana?!" teriak wanita itu sekali lagi, aku tersentak, tapi tidak bersuara banyak."Mau ke rumah neneknya Zahra, untuk sementara kami akan tinggal di sana sampai istriku sembuh dan bisa mengerjakan tugasnya sendiri," jawab Kak Aidil sambil mengikat kardus."Oh, tidak bisa! Tidak boleh ada seorang pun dari anakku yang bisa meningga
Semua orang terkejut, mereka terbelalak, tidak menyangka, sebagian terperangah, menutup mulut dengan kedua tangan, dan sebagian lain seakan menggeleng tidak percaya. "Serius kamu, jangan mengada-ada ya," ucap Pak RT dengan suara lantang."Demi Allah, Pak, saya tidak bohong," jawabku berani menatap mata pria itu. Bola mata tajam yang penuh wibawa itu memicing, mungkin memindai kejujuranku. Aku berani membalas dan menunjukkan bahwa pupil ini tidak mengkerut menunjukkan kebohongan."Jangan bikin fitnah kamu! Kami keluarga terhormat yang menjunjung tinggi norma dan agama, beraninya kau memfitnah saya!" Tiba tiba ibu mertua mendekat dan hendak melayangkan tamparan, tapi warga mencegahnya."Jangan Buk Nyai, sabar dulu dengarkan penuturan menantu Ibu, baru Buk Nyai membela diri," ujar seorang pria perjaket jeans biru."Jangan dengarkan wanita stress itu, sejak melahirkan bayi dia kehilangan kewarasannya," ujar Ayah."Yang membuat saya tidak waras adalah air yang dijatah hanya seember se
"Baiklah, tidak apa untuk kali ini saya menuruti omongan Pak RT," jawab suamiku dengan ekspresi datar, dia masih kesal tapi menahan perasaannya."Kak, yakin?" Aku berbisik dan menggeleng pada suamiku."Gak enak kalo terlalu berontak, malu sama aparat dan tetangga, takutnya nanti kita kesulitan dan menyesal juga," jawab Kak Aidil menngenggam jemariku."Tapi, Kak ....""Dek, saya akan jamin bahwa akan ada yang berubah setelah ini." Kata kata dari bibir Kak Aidil membuatku tidak mampu mengadu argumen lebih banyak lagi."Saya mau tetap tinggal dan membantu abah di kebun, dengan syarat air jangan dibatasi, minimal cukup untuk mandi, cuci dan masak juga upah saya jangan ditahan lagi," jawab Kak Aidil dengan tegasnya."Kamu tahu air sangat terbatas!""Baiklah, kalo begitu kami pindah!" Kak Aidil juga tak kalah tegasnya."Tidak apa, biarkan saja, Bah, istrinya baru melahirkan, kami yang akan berhemat agar air cukup," ucap Mbak Devi yang tiba-tiba buka suara. Entah apa yang akan terjadi pada
"Aku tahu bahwa akan sulit bagimu untuk menumbuhkan kepercayaan pada keluargaku. Tapi tolong sekali ini berilah semua orang kesempatan," ujarnya ketika mendatangiku saat sedang mengatur piring di dapur." Iya, Aku akan mencoba untuk menerima keadaan dan berusaha memperbaiki diriku juga.""Minggu-minggu ini adalah minggu yang traumatis bagimu dan rima. Aku harap seiring berjalannya waktu luka itu akan sembuh Dan berharap bahwa kesehatan bayi kita juga akan baik-baik saja."" Ya, semoga saja ...."Aku menghela nafas sambil melanjutkan kembali pekerjaanku."Sore itu ketika aku sedang menyusui rima dan Kak aidil tertidur di ranjang, ibu mertua datang dan mengetuk pintu."Iya, Bu, ada apa?" Aku yang masih merasa canggung dan enggan bertemu dengannya, membuka pintu dan menyambutnya."Ini uang kalian ucapnya sambil melempar sebuah amplop ke atas meja plastik." Dengar ya ... itu ada dua juta setengah dan kau tidak boleh meminta lebih dari itu! Jika ada kekurangan atau kebutuhan mendesak kau
"Kalau keadaannya bertambah parah Apakah ibu bisa menjamin keselamatan suami saya? Kalau dia pergi untuk selamanya Apakah ibu akan memberi kami makan lalu Apakah ibu akan bertanggung jawab pada kasih sayang dan figur seorang ayah yang hilang untuk Rima?""Diam kamu, dokter bisa saja salah memberikan obat dan membuat keadaan Aidil semakin parah!""Dokter adalah petugas ahli yang pandai mendiagnosa, tidak mungkin dokter memberikan obat yang salah padahal itu adalah pekerjaan mereka. Jangan banyak alasan Bu, sikap ibu yang menahan Kak Aidil untuk berobat sama sekali tidak beralasan!" Aku langsung masuk ke dalam dan menutup pintu, malas berdebat dengannya ditambah bayiku mulai menangis dan gelisah. Dibandingkan aku harus membuang waktu lebih baik diri ini masuk ke dalam dan beristirahat."Tidak sopan, berbicara dengan orang tua tapi malah melengos masuk dan menutup pintu, kurang ajar!" ujarnya merutuk sambil melangkahkan kaki menjauh. Kupikir tindakanku benar meski terlihat salah. Darip
Salah satu hal yang menghalangi rezeki dan keberuntungan seseorang adalah menahan hak orang lain dan tidak mau membagikan air yang berlimpah kepada sesama.Mungkin itu adalah penggalan dari intisari hadist yang pernah kubaca, aku lupa dari mana pernah membacanya tapi aku ingat betul bahwa isinya memang demikian.Artinya ... apa yang dilakukan ibu mertua merupakan kezholiman yang harus dihentikan. Aku harus menyadarkan dia sebelum ajal menjemput atau kesialan mendatanginya.***Dua hari setelah Kak Aidil berobat ke rumah sakit keadaannya mulai membaik, dia sudah berangsur pulih dan tidak gemetar lagi. "Besok aku mulai kerja ya?""Apakah kakak bisa?""Iya, aku harus bekerja agar stok Uang belanja kalian tetap berlanjut jadi kamu tidak kelaparan dan kesulitan.""Terima kasih ya Kak, karena sudah menjadi suami yang selalu membela istri," ujarku."Aku juga berterima kasih padamu karena kamu sudah menjadi istri yang bertahan.""Mungkin nanti ada satu titik dimana Aku lelah untuk hanya
Aku tidak butuh pikir panjang untuk balas dendam, toh, orang yang mencelakakan kami juga tidak berpikir panjang ketika ingin melakukan kezaliman. Kak dani dan Kak Yanto seharusnya adalah 2 orang yang bisa mengayomi adiknya tapi mereka malah jadi alasan kesusahan hidup kami. Apakah adil jika terus-menerus membuat kami tersiksa sementara dia terus tertawa dan melenggang hidup bahagia, di antara dukungan orang tua dan uang yang tidak pernah dibatasi, dituruti tanpa dihalangi.Tidak bolehkah sesekali aku membalaskan dendam? Aku tahu itu dosa,tapi aku hanya ingin memberikan mereka pelajaran, semoga Tuhan mengampuniku.Setelah menidurkan Rima dan memantau Kak Dani yang terlihat pergi ke kebun dengan sepatu boot dan tasnya, aku segera beraksi untuk mempreteli kendaraan yang kerap dia gunakan, beruntungnya hari ini dia tak membawa kendaraannya, jadi, rencanaku akan berjalan baik. Selagi ayah mertua tidak pulang, dan ibu mertua tidur siang seperti biasanya, juga keponakan yang biasanya sibuk b