LOGINSejak lahir, hidup Eric seakan ditakdirkan penuh kesialan. Ke mana pun ia melangkah, nasib buruk selalu mengikuti, sementara hinaan dan pengkhianatan menjadi bagian dari kesehariannya. Ia diremehkan, dilupakan, bahkan diperlakukan seolah tidak berarti. Hingga suatu hari, di saat semua harapan hampir padam, sebuah System misterius bangkit dalam dirinya. System itu menjanjikan kekuatan, kebebasan untuk memilih, dan mungkin juga kesempatan membalas dendam. Kini, ketika roda keberuntungan mulai berputar ke pihaknya, Eric harus berhadapan dengan dunia baru yang penuh peluang sekaligus bahaya. Apakah ini akan menjadi titik balik hidupnya, atau hanya permainan kejam takdir yang lain?
View More“Hei, kenapa kau tidak pergi saja ke rumah sakit dan menjual ginjalmu? Setidaknya itu lebih berguna daripada mengemis di sini!”
Di sebuah toko roti di pinggiran kota Skylight Grove, seorang pemuda berjaket biru tua menjadi pusat perhatian. Ia sedang berusaha keras mendapatkan diskon yang sudah tidak berlaku.
Orang-orang yang mengantri untuk membayar pesanan mulai geram dan beberapa bahkan mencibir tanpa sungkan. Namun, tampaknya pemuda itu memilih pura-pura tak mendengar omelan pelanggan di belakangnya.
Dengan ekspresi serius, pemuda itu bahkan menyerahkan kartu identitasnya kepada gadis penjaga kasir.
“Nona, jika diskon di toko ini sudah habis, baiklah, kupercayakan kartu identitasku ini padamu. Aku akan membayar kekurangannya minggu depan,” ucap si pemuda tampak bersikukuh untuk membeli kue tart yang berada di luar jangkauan isi dompetnya.
Si penjaga kasir menerima kartu identitas pemuda itu sembari mengeja nama yang tertera di kartu itu. “Eric White…” ucapnya lirih lalu menyerahkan kembali kartu itu kepada si pemuda diiringi dengan helaan napas pelan. “Tampaknya kau sedang sangat membutuhkan kue tart ini. Tapi apa boleh buat, kartu identitasmu tak berguna di sini.”
Eric menampakkan gurat kecewa saat itu juga. Membuang rasa malunya, Eric mencoba menawarkan opsi lain. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku tinggalkan jaket ini sebagai jaminan? Memang sedikit lusuh, tapi...”
“Sedikit lusuh katamu?!” sergah seorang perempuan di belakang Eric. “Apa matamu rabun? Itu sudah seperti kain lap! Oh, inilah mengapa aku benci orang miskin. Mereka benar-benar menyedihkan!”
Eric mengepalkan tangan, nyaris membalas, tapi si kasir mendahuluinya, “Mr. White,” ucap gadis itu, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. “Kurasa aku bisa membayar kekurangannya. Kau tak perlu meninggalkan apa pun di toko ini.” Perempuan itu tersenyum ramah, meski awalnya ia juga kesal pada Eric, namun pada akhirnya ada rasa iba muncul di hatinya.
Logikanya, jika Eric tidak berada dalam keadaan terdesak, tak mungkin pria muda setampan itu bersedia menahan malu di depan banyak pelanggan lain hanya demi sebuah kue tart yang tidak mahal.
“Mr. White, kau mendengarku?” tanya si penjaga kasir sesaat setelah Eric tampak diam membeku.
“Aku tak salah dengar? Kau akan membayarkan sisa kekuarangannya untukku? Luar biasa!” Eric memekik gembira. “Nona, aku akan datang lagi minggu depan dan membayar hutangku padamu, oke?”
Si penjaga kasir hanya tersenyum kecil, tak begitu berharap Eric akan menepati janji. “Baiklah, aku akan memproses pesananmu. Apakah ada request tulisan tertentu di atas kue tart ini?” tanya si penjaga kasir.
“Tentu! Happy Birth Day, My Beloved Elise, tulis saja begitu. Ngomong-ngomong, terima kasih.”
Beberapa saat ketika pesanan Eric telah selesai dibuat dan pembayarannya telah diproses, seorang perempuan di belakang barisan Eric melipat dua tangannya ke dada sembari memberi tatapan sinis.
“Aku merasa sangat beruntung kekasihku tak semiskin dirimu, Bung! Oh, pasti rasanya menyedihkan sekali mendapat kado kue tart dari hasil mengemis!”
Eric nyaris tersulut emosinya, namun, segera ia ingat bahwa di hari bahagia itu, ia tak perlu menanggapi dengan serius hinaan-hinaan dari orang lain. Eric tersenyum sinis lalu melirik perempuan yang baru saja mencibirnya, dengan membuat gerakan menutup hidung.
Eric bertanya, “Nona, mengapa bicaramu busuk sekali? Apa kau makan tai sebelum datang ke sini?”
Perempuan itu terdiam seketika, tak mengira bahwa Eric akan membalas ejekannya dengan sindiran yang sarkas. Sementara itu, pelanggan lain yang mendengar percakapan tersebut berbisik satu sama lain, beberapa orang yang sebelumnya ingin melontarkan hinaan kepada Eric kini mengurungkan niatnya, khawatir jika mereka akan mendapatkan balasan menohok dari Eric.
Ting!
Eric yang baru saja keluar dari toko roti merasakan ponselnya bergetar, itu adalah notifikasi pesan masuk. Segera, Eric merogoh ponselnya menggunakan tangan kanan selagi tangan kirinya menenteng bingkisan kue tart.
[Eric, cepatlah kembali atau kita tak akan bertemu lagi!]
Itu adalah pesan dari Elise.
Tentu saja, Eric merasakan tubuhnya seperti disengat ribuan lebah. Jantungnya berdegup kencang saat ia berlari menyusuri trotoar di Magnolia Street. Napasnya terputus-putus namun ia tak membiarkan kakinya berhenti.
Ia ingin segera tiba di tempat tujuannya.
Ring
Ring
Ring!
Ponsel Eric bergetar lagi, ia yakin itu adalah panggilan dari Elise. Untungnya, saat itu Eric telah tiba di lokasi tujuan, yaitu di rumahnya sendiri.
Saat itu, jantung Eric berdegup kian kencang saat ia melihat ada sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya. Itu adalah mobil milik Paman Jim dan Bibi Peyton, kerabat jauh dari Eric White.
Seketika mata Eric merah padam saat ia membuat praduga tentang hal yang tak beres di dalam rumahnya. Eric berlari memasuki rumah dan mendapati Elise sedang duduk sendirian menungguinya.
Elise berdiri dengan senyum kaku demi menyambut sang kakak, namun bukannya menerima sambutan Elise, Eric berjalan mendekat lalu menghantamkan tamparan keras ke pipi gadis remaja itu.
Elise merintih sesaat tetapi tak berniat membela diri atau semacamnya. Ketika mata Elise menangkap sebentuk bingkisan yang terjatuh ke lantai, bibirnya tersenyum sendu, dengan nada bergetar ia bertanya, “Eric, apakah itu kado ulang tahunku?”
Mata Eric memerah dan sedikit berkaca-kaca. “Jawab pertanyaanku, mengapa ada mobil Paman Jim di depan rumah kita?” tanya Eric sembari menunjuk mobil yang sedang terparkir di halaman rumah mereka.
Yang membuat Eric marah dan sedih adalah kenyataan bahwa Bibi Peyton merupakan seorang mucikari dan sudah berkali-kali menawari Elise White untuk menjadi pelacur di rumah bordil miliknya.
“Mengapa kopermu ada di sini?” tanya Eric lagi seraya menunjuk ke arah koper milik Elise yang menyandar ke sofa.
Elise seolah tak mau merespon pertanyaan kakak kandungnya. Tubuhnya menunduk ke bawah dan tangan kanannya memungut bingkisan yang terjatuh di lantai, tampak sebentuk kue tart yang telah hancur namun Elise tetap tersenyum.
“Kue tart itu sepertinya sangat enak. Eric, boleh aku mencicipinya sekarang?” tanya Elise yang kali itu tanpa sadar air matanya jatuh ke lantai. Ia tahu ia telah membuat keputusan yang sulit, tapi, itu semua ia lakukan demi menyelamatkan Eric, kakak kandungnya.
“Elise!” Eric mencengkram dagu Elise lalu menghadapkan wajah adiknya ke wajahnya. “Katakan padaku, apa kau yang meminta Bibi Peyton datang ke sini?! Katakan padaku, apa kau menerima tawaran perempuan jalang itu?!”
Mata Elise White basah ketika ia berusaha untuk menganggukkan kepala.
Melihat ekspresi rumit di wajah sang adik, cengkraman tangan Eric mengendur. Tubuhnya lemas lalu lututnya ambruk ke tanah.
Eric tahu alasan Elise memilih untuk menjadi pelacur. Eric menderita kanker darah dan membutuhkan tindakan operasi dengan segera, namun, karena sepanjang hidup Eric bekerja keras untuk membiayai sekolah Elise, Eric membiarkan penyakitnya begitu saja sebab memang tak ada dana lebih untuk melakukan operasi.
“Elise, ketahuilah, aku tak sudi berobat ke dokter menggunakan uang hasil kau menjual tubuhmu! Sadarlah itu menyakiti hatiku!” Eric tertunduk, ia merasakan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan melebur menjadi satu di hatinya.
“Eric, kau adalah satu-satunya keluarga yang kupunya, tolong jangan keras kepala, aku ingin kau hidup dan menemukan kebahagiaan.”
Mendengar ucapan sang adik, kepala Eric terasa seperti terhantam palu.
Elise tampak gelisah saat ia memandangi jam di pergelangan tangannya. “Eric, Paman Jim akan segera datang, aku memintanya untuk pergi sebentar agar aku bisa berpamitan denganmu dengan layak. Kumohon, berikan aku senyuman manismu, aku sangat ingin melihatnya…”
Mata eric kian basah saat ia menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa detik berikutnya, Eric melakukan sesuatu yang berada di luar prediksi Elise.
Violet menggigit bibirnya, jelas masih bimbang, apakah mesti menemani Eric atau melanjutkan latihannya. Apa ia perlu menyarankan Eric untuk berhenti dan tidak memaksakan diri, atau malah mendukungnya hingga selesai. Tapi Grace menepuk pundaknya pelan, menyadarkannya kembali. “Jangan khawatir. Tuan Eric terlihat kuat, ia tahu batasnya. Dan lagi, waktu kita juga terbatas, Nona. Jika nanti Tuan Eric selesai, dan tahu bahwa anda sudah bisa bermain golf dengan baik, tentu itu akan menjadi kabar baik untuknya."Violet mengangguk, "Kamu benar. Aku harus lebih fokus juga pada latihan golf ini."Violet melanjutkan latihannya bersama Grace. Ia berusaha lebih sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan Eric yang telah mengusahakan dirinya agar bisa bermain golf.Ketika Violet mengayunkan stik golfnya lagi, kali ini ia hampir membuat bolanya masuk ke lubang tujuan. Dengan gemas ia bergumam, "Ah, sedikit lagi!" "Tidak apa-apa, Nona. Itu sangat bagus. Saya yakin, jika anda terus mencoba dan lebih fok
Eric menunjukkan barisan giginya. Ia juga tertawa kecil untuk menghilangkan kegugupannya sendiri. "Itu benar. Tapi, um, sebenarnya aku terbiasa membuat target pribadi. Ya, supaya aku tetap terpacu untuk melakukan lebih. Begitulah..." Eric kembali menutup jawabannya dengan senyum meringis, berharap Violet cukup puas dan tidak memberikan pertanyaan lainnya.Dan sesuai harapan, Violet menyunggingkan senyum, tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain, tetapi malah memberikan pujian. "Bagus sekali! Aku harus melakukanya juga untuk memacu diri sendiri. Kamu keren, Eric." Eric mengusap lehernya, dengan hati senang ia membalas, "Um, bukan apa-apa." Dan dalam batin ia menambahkan bahwa ia terpaksa 'menyiksa' diri sendiri karena itu adalah misi dengan risiko kegagalan yang super menakutkan.Lantas, agar Violet mendapat kesan baik, dan tidak merasa jenuh dengan kencan pertama mereka, sebuah ide cemerlang muncul di kepala Eric."Violet, apa kamu suka bermain golf?" "Golf?" Violet membuat Eric
Setibanya di kamar Eric, Violet terkesima oleh interiornya yang menawan. Ia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu sangat luas dan nyaman.“Um, Violet, mungkin aku akan menghitung sendiri saja.”Violet yang duduk di sofa segera bertanya, “Kenapa?”“Sebenarnya, aku sudah melakukan latihan fisik ini kemarin. Jadi, tidak masalah jika mesti menghitungnya sendiri.” Ia tidak ingin merepotkan kekasihnya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan saat kamu pull up?”Eric duduk di samping Violet. “Kamu bisa bersantai, membaca novel atau buku lainnya di sudut baca itu, atau mungkin mau menonton film, memutar musik. Atau, kalau kamu lelah, jangan sungkan untuk berbaring di ranjang. Anggap saja itu sebagai ranjangmu sendiri.”Pipi Violet seketika memerah. Pasalnya ucapan Eric itu multitafsir.“Ah, maksudku, ka-kamu tidur saja jika ingin. Jangan sungkan. Mau membaca sambil berbaring di sana juga tidak apa-apa. Sungguh, aku… tidak memiliki maksud lain.” Eric meringis lagi setelah menjelaskan.Er
Eric mengangguk-angguk pelan sambil mengupas sebuah jeruk. “Oh, soal itu,” ucapnya dengan suara pelan, tanpa ada perubahan ekspresi di wajahnya.Violet mengerutkan kening melihat Eric yang tampak santai. Ia lalu bertanya, “Kamu tidak kaget?”Eric mengulurkan jeruk yang telah terpisah dari kulitnya kepada Violet yang segera menerimanya. “Tidak, sejak awal mereka memang pantas dipenjara.”Mata Violet terbuka lebar. Ia menelan ludah saat menyadari sesuatu. “Jangan-jangan, kamu yang membuat mereka dipenjara?”Eric tersenyum, tanpa menjawab atau sekadar mengangguk. Akan tetapi, reaksinya itu justru membuat Violet semakin terbelalak karena mengartikannya sebagai suatu pembenaran. Sungguh, Violet tidak menyangka jika Eric akan bertindak demikian serius.“I-itu jelas bukan hal yang mudah. M-mereka bukan orang sembarangan. Tapi kamu…” Violet menyunggingkan senyum haru. Ia yakin Eric melakukannya demi melindunginya. “Katakan, bagaimana kamu melakukannya?”Eric meneguk air putih yang segar. “Seb
Suasana mendadak hening. Violet menunduk cepat, seakan berusaha menyembunyikan ekspresinya, sementara Eric sibuk mengeringkan tubuhnya dengan wajah canggung.Udara di sekitar terasa kaku. Violet mengangkat wajahnya, menatapnya cepat lalu menoleh lagi ke arah lain. Ada senyum tipis yang berusaha ia sembunyikan. “Maaf sudah membuatmu kaget.""Tidak, tidak. Itu bagus. Maksudku, aku senang kamu sudah di sini. Tapi keadaanku sedikit memalukan.""Sama sekali tidak. Kamu hanya terlihat berbeda. Maksudku, sehat, kuat. Ya, begitu..." Violet tersenyum kikuk.Suasana canggung itu terjeda ketika sebuah panggilan membuat ponsel Eric berdering. Rupanya itu dari Chelsea, salah satu anak buahnya yang bertugas menyiapkan hidangan. Chelsea memberitahu bahwa apa yang diminta oleh sang tuan telah siap. Ia juga mengatakan bahwa untuk makan malam nanti, seorang chef profesional yang berpengalaman bekerja di restoran bintang lima akan menjadi juru masaknya.Tentu saja laporan itu membuat hati Eric bungah.
Jantung Eric berdetak begitu cepat hingga seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin merembes di pelipis, mengalir turun tanpa henti. Begitu mendengar hukuman mematikan yang bisa menimpanya, pikirannya langsung kosong. Eric bahkan tidak bisa benar-benar membayangkan bagaimana rasanya jika otaknya dihancurkan.Bibir Eric gemetar ketika akhirnya ia memastikan, “Maksudmu, jika aku gagal, kamu akan membuatku terlindas truk? Atau kendaraan berat lainnya? Atau mungkin sebongkah batu besar akan menimpaku? Atau batu meteor akan jatuh mengenai kepalaku?” Ia mengatakan dengan detail segala kemungkinan yang muncul di kepalanya, yang bisa menyebabkan isi kepalanya hancur lebur.[Tidak diperlukan cara sesusah itu untuk menghancurkan otak Host.][System hanya perlu mengalirkan data miliaran bit per detik ke otak Tuan, sampai syaraf Anda terbakar.]System mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa beban, tapi Eric yang mendengarnya sampai menelan ludah dengan susah payah. Suara “klik
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments