Keesokan harinya,
Setelah azan berkumandang terdengar bunyi ketukan air yang jatuh di permukaan ember kosong, menyadari itu, aku dan suami langsung bangun. Bahu membahu kami mengisi air, dia mencuci bajuku dan anak, sementara aku mencuci piring. Dibantunya juga diri ini untuk mandi dengan puas lantas diisinya dua ember besar itu hingga penuh.Hari ini aku merasa sedikit segar, sedikit gembira dan lega, sakit punggung yang kemari nyaris membuatku tak bisa duduk kini terasa lebih lentur dan lega. Sebelum berangkat ke kebun dan Empang ayahnya, Kak Aidil menyiapkan sarapan seadanya, mie sakura dan telur yang terasa nikmat sekali karena disiapkan suami sendiri. Kami makan dari mangkuk yang sama sambil sesekali bercanda dan saling berebut telur."Hati hati di rumah ya, akan kusuruh bibi penjual ikan untuk mengantarkan cakalang asap, jadi kau tidak perlu repot-repot menyiangi ikan dan mengolahnya.""Harus juga kak, dibikin sambal, enak," jawabku."Baiklah, jangan lupa ajak Rina berjemur beberapa menit, kata dokter cahaya matahari bagus untuk bayi," sarannya sambil mengecup keningku."Iya, Kak.""Tunggu aku pulang ya, jangan capek capek lagi," ujar Kak Aidil sambil beranjak ke garasi ibunya, mengeluarkan motor Fiz-R yang sudah dimodifikasi lalu berangkat meninggalkan bunyi knalpot yang cukup bising bahkan ketika jarak motor itu sudah menjauh.Kubalikkan badanku menatap tiang jemuran yang sudah penuh dengan cucian kami sejak subuh, kamu aku hendak masuk ke dalam rumah menyalakan tv tabung kecil pemberian Inaq tempo hari lalu bersantai sejenak.Tapi, baru sepuluh menit rehat, sudah terdengar suara ibu mertua mencucu dengan Omelan omelan menyebalkannya."Waduh, banyak sekali gak kebagian tempat lagi aku," gerutunya. Kuintip dia dari jendela kecil, sementara wanita yang terlihat membawa keranjang cuciannya itu nampak mondar-mandir mencari celah untuk menjemur pakaiannya.Beberapa saat kemudian dia terlihat memindahkan baju anakku dengan cara menumpuk menumpuknya menjadi satu sehingga dia mengosongkan satu tali untuk menjemur pakaiannya dan suaminya."Egois sekali wanita itu, jika baju bayiku ditumpuk seperti itu bagaimana bisa kering," aku menggumam sambil mendecak pelan.Sambil menghela nafas dan tidak punya pilihan lain aku segera beranjak keluar dan menyambanginya.Dia yang melihat kedatanganku melirik sesaat lalu membuang muka dengan kasar, rampak Sekar irona dendam dan kebencian yang sejak perdebatan dia dan Kak Aidil semalam."Bu, kalau baju ditumpuk seperti ini bagaimana bisa kering Bu, sementara baju Rima tinggal sedikit."Ku ambil baju anakku yang ditumpuk ibu sambil menghela nafas pelan, aku berencana untuk menjemurnya di pagar teras saja, mengalah karena merasa tidak ada gunanya berebut tali jemuranBrak!Ibu terlihat membanting keranjang cuciannya yang terbuat dari rajutan plastik."Sampai saat ini, tempat ini, lingkungan ini, rumah yang kau tempati, bahkan tali jemuran ini adalah milikku, mau apa kau!" ucapnya sambil molotot."Saya tidak bertanya tentang Siapa pemilik semua ini, karena saya tahu bahwa itu adalah milik ibu. Yang saya katakan adalah jangan menumpuk baju cucumu, karena itu tidak akan kering dengan cepat, sementara anak saya terus menerus buang air kecil, dan dia butuh baju ganti!" Mau tak mau aku juga turut mengoceh panjang lebar pada ibu mertua, tapi, aku masih bersikap santun dan pelan."Beraninya kau menceramahi aku, ketika ku ambil gunting dan memutus tali jemuran ini maka kau akan kehilangan kata-katamu!" Aku paham dia mengacu pada, dia akan memutus tali jemuran, lalu pakaian-pakaian yang baru saja digantung dan masih meneteskan sisa air akan jatuh ke atas permukaan debu yang kotor, kamu aku tidak akan bisa membilasnya karena tidak punya stok air dan ... itu menurut asumsinya."Maafkan saya Bu ...." Membayangkan hal demikian saja membuat perutku sudah sakit, apa lagi itu benar-benar terjadi, aku tidak punya pilihan selain mengalah dan minta maaf, meski dalam hati ini dongkol bukan kepalang."Oh ya .... aneh sekali ya... kenapa hari ini tumben tumbennya kamu mencuci sebanyak ini, apa kau mengambil lebih dari jatah air yang sudah kutetapkan?"Betul, hari ini dia menghidupkan mesin air lebih tinggi cepat dan mematikannya lebih lama sehingga aku dan kak faidil leluasa menggunakan air sebanyak yang kami inginkan. Aku bersyukur karena setidaknya sudah tidak ada lagi sisa cucian di kamar mandi."Tidak begitu, Bu, suami saya yang membantu saya untuk menyelesaikan semua ini, dia menimba air dan membantu mengangkutnya ke dalam," jawabku lirih."Oh, ya?""Sungguh, Bu.""Tapi aku tidak mendengar suara Aidil menimba air!""Mungkin, ibu masih tidur,_ " jawabku lirih. Aku tahu wanita itu tidak akan dengan mudahnya percaya, buktinya, dari raut wajah dan tarikan alisnya, dia masih menyelidikiku."Kasihan sekali ya anakku ... harus disusahkan oleh wanita sepertimu," cibirnya sambil merangkum baskom yang tadi dia hempaskan."Sebagai suami dan ayah yang siaga, dia memang harus membantu saya, karena saya pun juga tidak punya kerabat di tempat ini, mohon pengertiannya Bu.""Aku akan pergi melihat cucuku," ucapnya tanpa bisa kutebak, aku terkejut, dia tiba tiba ingin melihat bayiku, dengan langkah cepat ia menuju rumah mungil kami lalu mendorong daun pintu."Ibu, tu-tunggu, pelan pelan, anak saya sedang tidur," cegahku pelan, aku tak mau kekasaran ibu membuka pintu membuat putri kecilku terkejut, dia akan rewel dan menyita tenaga serta pikiranku."Biarkan saja tidur!"Ibu membuka pintu, sesaat berdiri melihat cucunya yang telentang dengan pulasnya di atas tempat tidur, diapit oleh dua bantal kecil di sebelah kanan dan kirinya."Tumben rumah ini bersih," desisnya."Selama ini juga bersih," gumamku dalam hati, "hanya saja ... yang menjadi kendala hanya tumbukan piring dan baju kotor saja, itupun karena air yang kau batasi," aku membatin sambil memeras kesabaranku."Aku mau lihat kamar mandi!"Sesaat ibu mendekat ke pintu kamar mandi, diraihnya pegangan untuk mendorong pintu kecil yang terbuat dari PVC itu, seketika saja darah seakan naik cepat ke atas kepalaku!Kreeek ....Derit engsel kamar mandi terbuka, mungkin seumur hidup, baru kali ini aku dalam hidup suara pintu terdengar seram sekali. Mungkin ketegangan diri ini yang membuatku gemetar dan tak tahu harus bagaimana.Ibu mertua terlihat memindai suasana kamar mandi dan terkejut melihat ada dua ember besar yang terisi penuh air di sana."Ember baru?""I-iya.""Sejak kapan?""Semalam.""Uang dari mana?""Dicicil, Bu, kata Kak Aidil, biarlah dia mencicil ember agar stok air di rumah tetap ada, jadi saya tidak perlu menimba dan pendarahan lagi."Sebenarnya, jika hanya perkara ember tidak harus jadi pencetus emosi ibu mertua sampai terlihat benci sekali terhadap menantunya, sekali lagi itu hanya ember. Perkara remeh remeh air dan ember."Lancang sekali berani berhutang tanpa bertanya dulu, apa kalian hendak mempermalukanku?!" Wanita itu langsung meradang, diseretnya lenganku ke teras lalu dengan emosi yang amat membuncah wanita itu mencecarku dengan segala makian dan hujatan."Tidak tahu
"Berani sekali kau menghidupkan pompa dalam keadaan sulit air seperti ini, udara panas dan kering, hujan jarang turun dan kau malah menyia-nyiakan air!"teriak Ibu sambil pergi mendekati mesin dan berniat mematikannya."Ibu tidak bisa menyentuhnya, aku benar benar sudah sakit hati dengan ini! Kenapa perkara air saja ibu pelit sekali!" "Ada apa kamu, Aidil?" ujar Kak Yanto kakaknya yang tertua. Kak Yanto adalah kakak bertubuh tinggi dengan kulit gelap, perawakan serta roman mukanya tegas membuat orang takut dan segan ketika berjumpa dengannya."Aku hanya protes kenapa seseorang membatasi air bagi seorang ibu yang baru melahirkan dan membutuhkan lebih banyak untuk bersih bersih dan mencuci!""Apa salahnya berhemat, dari dulu desa kita memang kesulitan air bersih!" Ujar Kak Yanto mendekat."Matikan mesinnya.""Aku tak akan matikan sampai ibu mengizinkan istriku untuk menggunakan air lebih banyak.""Istriku juga pernah melahirkan dan mengalami masa nifas tapi aku tidak membuat kehebohan
Dalam keadaan yang sudah rusuh seperti itu tiba-tiba kak Tina datang dari tempat dia bekerja sebagai guru. Wanita itu dengan segera menepikan motornya dan setengah berlari menghampiri kami."Abah, Ibu apa yang sedang terjadi di sini?!" Seakan punya firasat dia segera berlari dan menghampiriku."Kami sudah memberi pelajaran kepada wanita yang sedang tidak tahu diuntung ini!"ucap Ibu sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan jari telunjuknya.Kakak Tina yang seakan paham apa yang terjadi setelah melihat pekarangan becek dan mesin pompa segera menggendong anakku dan memintaku untuk bangkit."Ayo bangun masuklah ke dalam," suruhnya dengan suara lembut namun penuh penegasan. Kakaknya suamiku. yang nomor dua ini memang satu-satunya yang merupakan PNS dan bersekolah tinggi dalam keluarga mertuaku."Jangan coba untuk melindungi wanita ini! karena kami akan mengusirnya!""Abah, Ibu, tolong tenang ya, malu dilihat orang, dia ini adalah menantu kalian dan ia sedang sakit, saya mohon Abah ...
Aku yang tak kuasa menahan tangisan dan gejolak kesedihan langsung bersimpuh di depan ibu mertua. Memohon di kakinya agar tidak diperlakukan serendah itu."Ibu tidak pantas ibu merendahkan saya seperti ini, saya adalah menantu Ibu," ucapku menangis."Hahah, apa kau merasa takut dan lemah hati?""Tolong maafkan saya," ucapku "Harusnya pikirkan dulu sikapmu sebelum bertindak, kau membuat keluargaku malu, kau menjadikan masyarakat punya topik pembicaraan atas kami semua. Aku ini orang terhormat, bukan rendahan sepertimu," ucapnya sambil mendorong kepalaku. Saking kerasnya dorongan tangan ibu menyodok kepala, gelungan rambut yang kuikat sampai terlepas dan membuat anak rambutku terurai menutupi wajah."Tolong jangan suruh saya buka baju ..." Sungguh miris hati ini sampai memohon seperti itu, aku seperti berada di jaman penjajahan, terhina dan tidak punya pilihan."Baik, kalo tidak mau buka baju," ujarnya sambil melirik suami, dan kedua putranya, berikut juga cucu cucunya yang terdiam.
Mungkin karena melihat kami yang sudah rapi dan berkemas kemas, ibu mertua menjadi risih dan rasa ingin tahunya segera memaksa wanita itu untuk mendatangi pelataran rumah kami. "Heh, mau kemana kalian," ujarnya ketika melihat Kak Aidil menumpuk kardus pakaian dan perlengkapan rumah tangga.Aku yang sibuk mengganti popok Rima hanya acuh tak acuh saja, kuputuskan untuk fokus pada anakku dan membiarkan wanita itu bicara dengan putranya. Kubuka dompet, di mana aku menyisihkan uang belanja untuk keperluan mendadak, ada beberapa lembar dan kurasa akan cukup jika kugunakan uang itu sebagai ongkos dan modal bertahan hidup dua sampai tiga hari."Ibu tanya kamu mau ke mana?!" teriak wanita itu sekali lagi, aku tersentak, tapi tidak bersuara banyak."Mau ke rumah neneknya Zahra, untuk sementara kami akan tinggal di sana sampai istriku sembuh dan bisa mengerjakan tugasnya sendiri," jawab Kak Aidil sambil mengikat kardus."Oh, tidak bisa! Tidak boleh ada seorang pun dari anakku yang bisa meningga
Semua orang terkejut, mereka terbelalak, tidak menyangka, sebagian terperangah, menutup mulut dengan kedua tangan, dan sebagian lain seakan menggeleng tidak percaya. "Serius kamu, jangan mengada-ada ya," ucap Pak RT dengan suara lantang."Demi Allah, Pak, saya tidak bohong," jawabku berani menatap mata pria itu. Bola mata tajam yang penuh wibawa itu memicing, mungkin memindai kejujuranku. Aku berani membalas dan menunjukkan bahwa pupil ini tidak mengkerut menunjukkan kebohongan."Jangan bikin fitnah kamu! Kami keluarga terhormat yang menjunjung tinggi norma dan agama, beraninya kau memfitnah saya!" Tiba tiba ibu mertua mendekat dan hendak melayangkan tamparan, tapi warga mencegahnya."Jangan Buk Nyai, sabar dulu dengarkan penuturan menantu Ibu, baru Buk Nyai membela diri," ujar seorang pria perjaket jeans biru."Jangan dengarkan wanita stress itu, sejak melahirkan bayi dia kehilangan kewarasannya," ujar Ayah."Yang membuat saya tidak waras adalah air yang dijatah hanya seember se
"Baiklah, tidak apa untuk kali ini saya menuruti omongan Pak RT," jawab suamiku dengan ekspresi datar, dia masih kesal tapi menahan perasaannya."Kak, yakin?" Aku berbisik dan menggeleng pada suamiku."Gak enak kalo terlalu berontak, malu sama aparat dan tetangga, takutnya nanti kita kesulitan dan menyesal juga," jawab Kak Aidil menngenggam jemariku."Tapi, Kak ....""Dek, saya akan jamin bahwa akan ada yang berubah setelah ini." Kata kata dari bibir Kak Aidil membuatku tidak mampu mengadu argumen lebih banyak lagi."Saya mau tetap tinggal dan membantu abah di kebun, dengan syarat air jangan dibatasi, minimal cukup untuk mandi, cuci dan masak juga upah saya jangan ditahan lagi," jawab Kak Aidil dengan tegasnya."Kamu tahu air sangat terbatas!""Baiklah, kalo begitu kami pindah!" Kak Aidil juga tak kalah tegasnya."Tidak apa, biarkan saja, Bah, istrinya baru melahirkan, kami yang akan berhemat agar air cukup," ucap Mbak Devi yang tiba-tiba buka suara. Entah apa yang akan terjadi pada
"Aku tahu bahwa akan sulit bagimu untuk menumbuhkan kepercayaan pada keluargaku. Tapi tolong sekali ini berilah semua orang kesempatan," ujarnya ketika mendatangiku saat sedang mengatur piring di dapur." Iya, Aku akan mencoba untuk menerima keadaan dan berusaha memperbaiki diriku juga.""Minggu-minggu ini adalah minggu yang traumatis bagimu dan rima. Aku harap seiring berjalannya waktu luka itu akan sembuh Dan berharap bahwa kesehatan bayi kita juga akan baik-baik saja."" Ya, semoga saja ...."Aku menghela nafas sambil melanjutkan kembali pekerjaanku."Sore itu ketika aku sedang menyusui rima dan Kak aidil tertidur di ranjang, ibu mertua datang dan mengetuk pintu."Iya, Bu, ada apa?" Aku yang masih merasa canggung dan enggan bertemu dengannya, membuka pintu dan menyambutnya."Ini uang kalian ucapnya sambil melempar sebuah amplop ke atas meja plastik." Dengar ya ... itu ada dua juta setengah dan kau tidak boleh meminta lebih dari itu! Jika ada kekurangan atau kebutuhan mendesak kau