Melihat tangisan anggota keluarga yang pilu membuat hati ini terenyuh dan tidak tega, aku benar benar melihat penderitaan dan kesengsaraan di mata mereka. Rumah Kak Yanto agak berdekatan dengan rumah ibu, andai tidak tidak segera dipadamkan mungkin api akan melalap rumah orang tua mereka sampai habis."Ya Tuhan, kebakaran semalam menyisakan trauma mendalam.""Ibu di mana?""Di rumahnya," jawab Mbak Devi."Permisi sebentar ya ...."Kususuri jalan menuju rumah ibu dan mengetuknya perlahan. Kudapati beliau terbujur di kasurnya tanpa bergerak sedikit pun. Melihatku datang beliau hanya melirik, mungkin karena menyaksikan ekspresi iba dari wajahku wanita itu melelehkan air mata. "Ibu ya Allah ...." Aku mendekat dan mencium tangannya lalu memeluknya. Wanita dengan bibir dan wajah sedikit meleyot miring itu tersedu dengan suara tertahan. Ucapannya tidak jelas serupa erangan dan keluhan."Ibu, apa ibu merasa kesakitan," tanyaku pelan."Ti-tidak ha-ha-hanha nye-nye-rrii.""Biar saya pijitan
Tentu saja, melihat kekacauan yang terjadi kami langsung panik. Segera aku dan semua yang ada di sana memberikan pertolongan pada kakak iparku yang tubuhnya gosong setengahnya. Kami angkat dia, aroma nanah dan darah menyeruak anyir membuatku mual tapi aku menahannya. Tubuh kak Yanto lengket dan meninggalkan lendir di tanganku yang telah mengangkatnya tadi membuatku merasa ingin cuci tangan, tapi tidak ada wastafel, lagi pula waktunya darurat dan mendesak. Pria itu sudah menangis, melenguh dan merintih-rintih."Ayo bawa masuk lagi," ujar petugas medis."Tidak, aku mau pulang," sela Kak Yanto dengan wajah pucat dan pilu sekali."Luka Anda harus dibersihkan, karena sudah jatuh, dan selang infus harus diperbaiki," ucap perawat tadi."Tidak mau, meski aku harus meregang nyawa detik ini juga, aku ingin hal itu terjadi di rumahku, aku tidak mau mati di rumah sakit!"Mendengar pernyataan Kak Yanto, jangankan kami petugas medis, dokter jaga pun kehilangan kata-kata bahkan Dokter sendiri
Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 malam, semua orang di rumah induk sudah terlelap, tinggallah aku sendirian yang masih mondar-mandir memastikan bahwa anggota keluargaku sudah baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa-apa lagi. Ku selimuti ibu dan memastikan Kak Yanto telah memakai di tempat tidurnya. Ku matikan tv dan lampu utama lalu menutup pintunya dan beralih ke rumah.Ku buka pintu rumahku dan kudapati suamiku telah tertidur di ranjang kami yang dulu. Tidak banyak perabot yang tersisa di sana karena aku sudah membawanya pulang ke desa nenekku. Hanya tinggal beberapa barang dan meja serta kursi.Kurbankan diri di sisinya lalu menghela nafas dan mencoba tertidur. Halo tiba-tiba terbesit sebuah ingatan tentang bagaimana jahatnya Kak Yanto dulu. Cepat teringat Bagaimana aku selalu merutuki dan membencinya. Pokoknya dia adalah sumber masalah utama yang selalu membuatku kerepotan dan bersedih.Aku tidak yakin Apakah saat itu aku pernah mengutuknya untuk mendapatkan musibah sepahit in
Tak kusangka, jam tiga pagi aku mendengar suara tangis histeris yang sangat memilukan, karena penasaran dan heran aku segara membuka jendela dan nampak beberapa anggota keluarga masuk ke rumah induk."Kak, kak, bangun Kak," ucapku pada suami."Kenapa Dik?" Tanya Kak Aidil sambil mengucek mata."Ada yang nangis Kak, kurasa ada sesuatu," jawabku."Ya Allah ..." Suamiku langsung bergegas bangkit dan mengambil sarung lalu tak lama ia keluar."Kau mau ikut?""Tidak usah, aku akan menjaga Rima," jawabku yang kebetulan sangat lelah dari pagi tadi dengan pekerjaan yang sudah menumpuk tanpa akhir.Kak Aidil bergegas pergi rumah induk yang Lamat lamat terdengar tangisan yang makin keras dengan tangisan pilu."Dik, segera ke rumah ibu," panggil kak Aidil yang tiba tiba membuatku kaget. Dia terdengar panik dan setengah berlari."Kenapa?"Kak Aidil tak menjawab, mungkin dia sudah terburu lari dari rumah kami. Aku segera mengambil jilbab dan menyusul ke rumah ibu mertua. Alangkah terkejutnya set
Kami kembali dari kuburan dan menemukan Mbak Devi sudah terduduk sedih di ruang tamu sambil mencium bekas pakaian suaminya. Wanita itu tergugu dengan bahu berguncang dan kelihatan hancur sekali.Kami para anggota keluarga dan saudara iparnya hanya bisa saling memandang dan menatapnya dengan penuh rasa bisa dibayangkan Ketika seseorang wanita kehilangan suaminya itu rasanya seperti kehilangan separuh hidup dan semangat jiwa. Sungguh aku sangat prihatin sekali dengan apa yang menimpa kakak iparku.Di sudut lain ketika kami hendak ke dapur, ada ibu yang masih lemas, kata sepupu, tiba tiba beliau demam dan muntah muntah, aku agak kaget, mungkin rasa syok yang memicu asam lambungnya naik sehingga membuat beliau tidak bisa menerima makanan apapun masuk ke dalam mulutnya."Aku akan buatkan bubur," ucapku pada salah seorang kerabat."Sebaiknya sebelum masak dan berkegiatan kau harusnya mandi agar terlihat bersih dan rapi, kau kan baru dari kuburan.""Iya Bi.""Memangnya kenapa kalau dari kub
"Sini kau! Mengapa anakku sampai menilai kau sumber masalah dalam kehidupannya, apa yang sudah kau lakukan?""Saya tidak tahu saya juga tidak paham mengapa mereka semua menyalahkan saya padahal saya tidak pernah ikut campur atau merasik mereka semua.""Mengapa mereka menyebutmu sebagai sumber masalah?""Tidak tahu." Aku bersikeras dengan pendapatku karena memang aku tak tahu apa apa tentang ini. Mengapa juga aku yang disalahkan atas kematian seseorang padahal aku tak membunuh?"Mbak Devi hanya terbawa emosi, Zahra adalah adik ipar kami yang bungsu. Dia anak yang baik dan rajin," ucap kakTania sambil membelaku.Kupandangi wanita itu sementara dia mengangguk menandakan bahwa dia tulus mengatakannya, tidak ada dendam sedikitpun tersisa di hatinya lantaran aku sudah membuat suaminya terjatuh dari motor dan pincang."Tidak mungkin ada asap tanpa api, tidak mungkin Devi menyalahkannya, jika dia tidak bersalah.""Mbak Devi masih terguncang dan dalam keadaan berduka, dia bisa berlantur atau
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p