Seketika suasana romantis pun mencair, digantikan oleh ketegangan yang begitu pekat hingga bisa dirasakan. Di depan meja mereka berdiri Harper dengan tatapan tajam kepadanya.Darah Hazelt seakan membeku. Jantungnya berdebar kencang. Ia dapat melihat gelombang cemburu terpancar dari diri Harper."Hazelt," sapa Harper dengan senyum sinis. Sengaja tidak menyapa Charlie.Charlie berdiri, mencoba menguasai diri. "Harper, apa yang membawamu ke sini?""Hanya ingin mengucapkan selamat menikmati makan siang. Kalian berdua terlihat sangat bahagia." Nada suara Harper penuh dengan sarkasme. "Lalu, kamu sudah mengingkari janji kita, Hazelt."Hazelt merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Ia tahu betul apa yang dimaksudkan Harper itu. Namun, bibirnya seolah terkunci.Harper menatap Hazelt dengan tatapan yang membuat Hazelt merasa tersudut. "Hazelt, jawab aku.""Harper, janji apa maksudmu?" tanya Charlie penuh emosi. "Yah, tanyakan saja pada Hazelt." Enteng Harper menjawab."Hazelt, kumohon,
"Tuan Rich Trover," desis Hazelt membeku melihatnya tiba-tiba muncul.Harper dan Charlie juga membeku di tempatnya berdiri. Keduanya saling berpandangan dengan amarah yang terpaksa diredam. "Apa yang sudah terjadi?" tanya Tuan Rich Trover merasa heran dengan keadaan di sana. Kemudian, mengedarkan pandangan ke luar ruangan. "Mengapa mereka berdiri di sana, Hazelt?" Mengalihkan pandangan ke Hazelt, kemudian bergeser ke Harper dan Charlie."Pa, kenapa tidak mengabariku kalau mau kemari?" tanya Hazelt memaksakan senyumnya, guna menyamarkan ketegangan di wajahnya."Sebenarnya Papa bukan mau kemari, tapi kata Mamamu tadi undangan rapat umum untuk Harper tertinggal di meja makan, jadi Papa singgah sebentar kemari mengantarnya."Dahi Hazelt mengernyit karena bingung, ia bahkan tidak tahu soal undangan rapat umum itu.Tuan Rich Trover mengeluarkan undangan dari dalam tasnya, kemudian memberikannya kepada Harper. "Untung kamu datang, ini undangan rapat umum hari ini," ujar Tuan Rich Trover, ke
Harper tidak mampu lagi mengendalikan rasa cemburunya. Dia berhenti berjarak sepuluh centimeter di depan Charlie, menatapnya tajam, seolah-olah hendak menerjangnya. Harper mencengkeram kerah bajunya."Kamu tidak akan mendapatkannya!" teriak Harper. "Aku tidak akan membiarkannya!"Charlie berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Harper semakin erat. Hatinya tidak kalah memanas mendengarnya."Apa yang kamu inginkan, Harper? Kamu mau kerjasama senilai 500 milliar itu---""Berhenti mengancamku. Aku tidak sedang membahas tentang itu." Harper memotong ucapannya."Hahh, aku tahu semua pria pasti menginginkan Hazelt karena kecantikannya, tapi mereka tidak segila kamu, Harper."Charlie melemparkan potongan kayu terakhir ke dalam api. "Urus saja istri dan calon bayimu, Harper. Hazelt milikku."Tak berkutik dalam kekecewaannya itu, Harper mendorong Charlie dengan keras sampai terhuyung ke belakang. "Hazelt bukan milikmu, Charlie.""Oh, sudah ku duga. Ternyata feelingku tidak salah lagi, kamu
Hazelt menatap dalam Harper. "Dia mengancam ku.""Tidak perlu kamu khawatir, dia tak akan berani melakukan apapun padamu."Hazelt tersenyum getir. Ia tahu, Nancy tidak pernah main-main dengan ucapannya. Namun, Harper hanya takut menyinggung perasaan mantan kekasihnya itu."Dia memintaku untuk menjauhimu. Lalu, dia mengancam akan---""Tidak bisa! Nancy tidak ada urusan dengan hubungan kita," potong Harper tegas."Ada, karena dia sedang mengandung anakmu," ujar Hazelt pelan nyaris berbisik."Apa? Kamu jangan mengada-ada, Hazelt!" gusar Harper menarik kasar rambut belakangnya. Nafasnya memburu seirama dengan detak jantungnya yang berdetak cepat. "Aku tidak pernah menyentuh wanita manapun selain kamu, paham?" Harper mendorong Hazelt ke belakang, kemudian segera berlalu dari sana."Sial! Dia memang pintar berbohong!" geram Hazelt mengejar Harper dan menahannya di sana."Harper, tidak perlu takut mengakuinya. Nancy juga---""Hazelt, cukup! Kamu tidak paham yang aku katakan tadi?" Harper me
Hazelt menjejakkan kakinya di lobi Rich Trover, aroma pewangi ruangan yang khas dan suasana korporat langsung mengalir ke indranya. Namun, aromanya tak mampu mengusir kepahitan yang masih membara di hati. Ucapan pedas Nancy tadi masih terngiang jelas. Setiap kata-kata penghinaan itu terasa seperti tusukan kecil yang menusuk-nusuk harga dirinya.Kepalanya terasa berat. Mual yang tiba-tiba menyerang membuatnya harus berpegangan erat di dinding pembatas. Hazelt berpikir, entah apa yang salah dengan keadaannya. Mungkin hanya efek dari stres yang menumpuk.Belum lagi, acara pertunangannya dengan Charlie semakin dekat. Tinggal sebulan lagi, dan semakin dekat hari itu, semakin besar pula keraguan yang menghantuinya. Charlie adalah pria yang baik, perhatian, dan mapan. Semua yang ia inginkan ada pada Charlie. Tapi... hatinya terasa kosong."Hazelt, kamu tidak apa-apa?" Suara panggilan dari ujung lobi mengagetkannya. Beberapa detik Hazelt terdiam bisu ditempatnya berdiri, ia berusaha menahan
Harper meninju udara kosong. Hatinya memanas karena semua rencananya gagal oleh karena Nancy. Harper gegas meninggalkan tempat itu sebelum amarahnya semakin membara.Sementara di ruangan sejuk dan nyaman. Baru saja Hazelt dan Charlie selesai bicara tentang rencana pertunangan mereka.Tanpa sepengetahuan Hazelt, di lantai bawah Harper berusaha mengikutinya. Rasa cemburu di dalam hati Harper melihat Hazelt berduaan dengan Charlie. Dia sangat mencintai Hazelt, dia tidak sanggup membayangkan Hazelt jadi bertunangan dengan Charlie. Sialnya, tindakannya tadi digagalkan oleh Nancy."Terimakasih, Hazelt. Aku senang kamu akhirnya setuju dengan tanggal pertunangan kita ini," ujar Charlie melepas tangan Hazelt dari genggamannya. Ekspresi kegembiraan tercetak di raut wajahnya."I-iya, aku juga sangat senang," sahut Hazelt memaksakan tersenyum. Dalam dadanya bergemuruh hebat."Jam tujuh nanti aku jemput," kata Charlie mengantarnya ke pintu ruangannya.Mau tak mau Hazelt cuma bisa mengangguk. Se
Harper membeku. Di depannya berdiri Nancy, mantan pacarnya yang paling dia hindari belakangan ini. Nancy terlihat terkejut sekaligus senang. "Harper! Ya Tuhan, apa yang kamu lakukan di sini? Aku mencarimu ke Stone Corp tadi, tapi katanya kamu keluar." "Nancy! Mengapa kamu di sini?" tanya Harper cuek. Raut wajahnya masam, tidak senang harus bertemu Nancy di sana. Dia juga menepis kasar tangan Nancy yang berusaha meraih tangannya. "Aku sedang ada urusan bisnis kemari," jawab Nancy, wajahnya cemberut."Terus? Sana urus saja urusanmu!" usir Harper mulai risih dekat-dekat dengan Nancy."Aku malas melihat wanita mandul itu datang," ketus Nancy menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Jadi, aku tunda pertemuan dengan Charlie.""Hazelt maksudmu?" tanya Harper, menggertak gerahamnya. "Yah, siapa lagi wanita mandul, Harper?" Nancy mencibir."Nancy, jaga bicaramu! Aku tidak mau mendengar kata itu lagi, paham?" peringat Harper menaikkan jari telunjuknya di depan muka Nancy."Ya, ya, suka hatim
Harper menghentikan mobilnya di depan sebuah klinik tidak jauh dari perusahaan Rich Trover. Dia tidak punya pilihan karena inilah klinik terdekat dari Vintage Town kafe. "Hazelt," panggil Harper menyentuh pelan wajahnya.Hazelt membuka matanya. Sejenak mengedarkan pandangan ke sekitar. Sekarang mereka ada di depan sebuah klinik."Kamu tunggu di sini, aku akan panggilkan suster untuk membantumu ke dalam. Sementara aku memarkirkan mobil dulu," ujar Harper melepas safety belt Hazelt. Kemudian, merapikan rambutnya sedikit acak-acakan."Tunggu, Harper," cegah Hazelt menahan tangan Harper membuka pintu mobil. "Ada apa, Hazelt?"Hazelt membeku menatap ke tengah lobi klinik. Matanya terpaku pada seorang pegawai Rich Trover Corp, sedang berbicara dengan resepsionis. Hazelt tidak mengenalinya secara pribadi, tapi ia yakin pernah melihat pria itu di kantor pusat. Ia juga yakin, pria itu pasti sangat mengenalnya."Itu," katanya menunjuk kepada pria tersebut. "Aku mengenalnya salah satu pegawai
"Hazelt, kamu belum melupakan ini, kan?" bisik Harper, sejenak melepas lumatannya. Melihat Hazelt yang memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan bibirnya."Harper..." desis Hazelt, seperti sebuah desahan kenikmatan.Harper kembali meraup bibir merah jambu Hazelt, meninggalkan sensasi panas dan menggairahkan di sana. Mengajak mantan istrinya itu bermain lebih panas lagi.Di ruang khusus Vintage Town kafe, aroma kemesraan bercampur dengan keringat dingin Hazelt. Ia mendapati dirinya tersesat dalam dekap hangat Harper. Sentuhan Harper seharusnya terasa asing, namun justru membangkitkan kenangan yang selama ini ia coba kubur. Sentuhan ketidaknyamanan dan penuh kerinduan, ciuman yang semula hanya ingin mengurai kenangan, tiba-tiba berubah menjadi gelombang panas yang melenyapkan akal sehatnya. Mereka melupakan status mereka sebagai mantan suami istri. Hanya ada sentuhan, desahan, dan rasa yang begitu menggelora hingga melumpuhkan logika Hazelt. Sentuhan nakal yang membangkitkan kembali