“Ayo!” sebuah suara mengagetkanku. Aku mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk memandangi gawai.“Udah lama nunggu?” tanyanya.“Nunggu? Siapa yang nunggu?” Aku berusaha berkelit. Kulihat sekilas ia tersenyum yang seolah tidak percaya dengan jawabanku.“Yaudah, yuk!” Dengan matanya ia memberi kode agar aku mengikutinya menuju mobil. “Gimana tadi?” Setelah sekian lama kami hanya diam dalam mobil yang melaju, akhirnya aku memulai pembicaraan.“Apa?”“Di resto.”“Oh, makanannya enak,” jawab Arman singkat.“Bukan itu. Gimana tadi Maya?”Mobil berhenti di lampu merah. Ia menoleh ke arahku.“Maya? Cantik, masih seperti dulu.”Entah mengapa aku merasa ada panas yang menjalar di wajahku. Iya Maya memang cantik. Dari dulu dia cewek idola di sekolahan. Mungkin termasuk Arman.“Jadi, kamu sengaja merencanakan semua ini?” tanyanya. Aku menatapnya dengan takut-takut lalu mengangguk.“Kenapa?”“Ini!” Aku mengulurkan selembar foto.“Kemarin terjatuh dari buku agendamu. Kukembalikan.”Arman meli
Pagi itu aku ke kantor dengan mata berat. Rasa kantuk masih menggelayut di mataku.“Ijin sehari seharusnya tidak apa-apa.” Kata Arman saat mengantarku.Ah dia tidak tau Galang pasti akan murka. Dari awal dia sudah mewanti-wantiku tidak mau ada drama rumah tangga dibawa-bawa ke kantor. Makanya ia lebih suka pegawai yang masih single. Apalagi hari ini Pak Wira sudah mengagendakan untuk briefing seluruh karyawan.Setengah perjalanan ke kantor kugunakan untuk tidur. Arman membangunkanku ketika sampai.“Jilbabmu kebalik, tuh!” katanya ketika aku akan turun“Hah?” Aku memperhatikan jilbabku. Ya ampun gara-gara tidur lagi setelah Shubuh dan telat bangun, aku berdandan dengan tergesa tadi, jilbabku sampai terbalik.Baru aku hendak membuka peniti jilbab, Arman dengan cepat mencegah “Jangan di sini, perbaiki di toilet.”Aku melirik kesal pada Arman. "Ribet amat!” seruku lalu membuka pintu mobil.“Makan ini!” Ia memberikan permen kopi.“Pulangnya kujemput ya,” katanya lagi lebih mirip seperti pe
Kesal. Itulah kesan pertamaku terhadap Nadia. Pertama kejadian di taxi. Bisa-bisanya dia bilang kalo dia yang lebih dulu memanggil taxi itu. Padahal dari sebrang jalan jelas aku lihat, dia baru melambaikan tangan setelah aku. Enak aja aku disuruh turun!Kedua, dia tidak mengenaliku. Bagaimana mungkin orang setenar aku, dia tidak tahu. Sungguh kuper. Semua calon karyawan yang masuk ke ruangan untuk wawancara – terutama yang wanita- langsung histeris begitu melihatku, dia tidak. Dia malah memandangku sinis, dan baru tersenyum setelah Bang Wira bilang aku adalah pemilik café. Setelah wawancara, ia langsung pergi, padahal calon karyawan lain pasti meminta wefie. Sombong. Huh!Ketiga, di sebuah resto, ketika seorang anak kecil memanggilnya Mama. Oh jadi dia menipu kami? Jelas-jelas di info lowongan pekerjaan kami mencari pegawai yang masih single, mengapa dia melamar? Dan di KTP nya tertulis dia masih single, dia memalsukan data?Yang bikin kesal lagi Bang Wira membelanya. Ah Bang Wira mem
Hari besar ini akhirnya datang juga. Hari pembukaan kafé kami yang pertama kalinya. Eh kafenya Galang. Kalau dia tahu aku menyebutnya dengan café kami, ntar dia pasti bakal komen sewot, “Sejak kapan kamu menaruh saham di café ini, hah?”Aku berangkat kantor dengan jantung bergemuruh. Lumayan deg-degan. Udah lama aku ngga berhadapan dengan banyak orang untuk urusan kerjaan.Apalagi kali ini aku harus membawa Rania turut serta. Duh ngga sanggup bayangin ekspresi Galang nanti melihat aku membawa Rania ke kantor.Hari ini omanya harus kontrol ke dokter diantar Arman, Bi Inah pulang kampung, sementara TK nya Erna Sabtu libur jadi aku tidak bisa menitipkan Rania di sana.“Memangnya Rania ngga apa-apa ikut kamu kerja?” tanya omanya di perjalanan mengantarku ke kafé.“Biar Rania ikut Mama. Nanti Mama didrop saja di rumah sakit. Arman bisa bawa Rania jalan-jalan ke mana .. gitu.”“Jangan. Arman harus mengantar Mama sampai ke ruangan dokter. Rania biar sama Nadia. Gapapa kok, Ma. Bos Nadia baik
“Astaghfirullahal'adzim, Rania, dimana?” Aku menoleh panik pada Galang.“Anak kamu?!” tanya Galang.“Iya.” Aku membalikkan badan menuju tempat di mana tadi aku meninggalkan Rania. Galang berjalan cepat mengikutiku.“Tadi dia di sana.” Aku menunjuk salah satu kursi kafé yang sekarang kosong.“Ceroboh!” Galang nampak kesal. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafé.Akupun melakukan hal yang sama. Tapi tak kudapati Rania di manapun.“Mungkin di luar,” kata Galang. Setengah berlari ia menuju teras kafé.“Coba tanya satpam,” katanya saat tak jua menemukan Rania di luar. Tiba-tiba…“Mama…” Aku menoleh. Rania sudah ada di gendongan Arman.Pfiuuuh, aku bernapas lega. Sekaligus tegang. Arman pasti memarahiku setelah ini. Lihat saja.“Sepertinya kamu sibuk, biar Rania kubawa pulang.” Arman menatap dingin ke arahku.“Ngg… nggak kok, tadi aku hanya mau mengambil foto sebentar. Jadi Rania kuminta duduk menunggu.” Aku mencoba membela diri.“Sudah-sudah… ajak anak kamu makan sekarang,” perin
“Hah saya Pak?”“Dia Bang?”Aku dan Galang bicara hampir berbarengan.“Iya, siapa lagi, pekerjaan Nadia tidak harus dikerjakan di kantor. Jadi hanya Nadia yang bisa saya mintai tolong. Lagipula saya lihat kalian sudah akrab kan?”“A-akrab?” tanyaku terbata. Akrab gimana?“Tenang saja, akan ada gaji khusus buat kamu selama mendampingi Galang. Gajimu di kafé ini juga utuh, tidak akan dipotong. Iya kan Galang?” Pak Wira menoleh pada Galang.Aku gusar, bingung mau jawab apa. Bukan itu masalahnya, sahutku dalam hati.“Bang, aku ngga setuju.” Galang berdiri dari tempatnya duduk.“Kenapa harus dia sih.” Ia mengacak rambutnya. “Cari yang lain saja. Aduuh dia ini ceroboh, bawel, ngeselin!"Kurang ajar si Galang
“Tunggu!” Suara Galang menghentikan langkahku.“Tak usah hubungi adikmu itu. Saya antar kamu pulang."“Ih, siapa sih yang menghubungi dia, lagi buka aplikasi ojol juga!” ucapku berbohong, daripada habis diledekkin Galang lagi.“Nggak usah ge-er,” kata Galang ketika langkahnya sudah sejajar denganku.“Bang Wira yang suruh. Katanya supaya kita bisa lebih mengenal,” sambungnya diikuti tawa kecil yang sinis. “Huh, ada-ada aja Bang Wira.”“Cuma berdua? Nggak sama Pak Parlan?” tanyaku karena tak melihat sopir kantor membersamai ya. “Tidak perlu. Saya bisa nyetir sendiri.” Dih sombong!“Ngga takut kesasar kaya kemaren Pak?” sindirku.Galang menghentikan langkahnya menatapku. “Kamu tahu kan, ada teknologi yang bernama Google Maps.”Aku menarik napas kesal. “Bapak juga tau kan, ada teknologi yang namanya alarm HP, ngapain pakai aisisten segala hanya untuk ngingetin jadwal. MANJA!” balasku.“Cerewet! Cepet masuk mobil!” bentaknya sembari memberi isyarat agar aku segera masuk ke mobil yang suda
“Jangan turun!” cegahku.“Kenapa?” tanya Galang, keningnya berkerut menatapku.“Saya harus bertemu orang tuamu, biar nanti kalau kamu macam-macam, saya tahu harus kemana?”“Macam-macam apa sih, Pak. Saya ngga minat macam-macam sama Bapak! Bapak ini artis, kalo tetangga tahu nanti malah bikin heboh!”Padahal alasan yang sebenarnya aku tak ingin Arman dan Mama tahu, siapa yang mengantarku pulang.“Udah, Bapak langsung balik ke kantor ya. Siapa tahu mobilnya mau dipakai sama Pak Wira.” Cepat-cepat aku memasangkan kembali sabuk pengaman Galang sampai bunyi klik, lalu keluar dari mobil.Baru mau membuka pagar, tiba-tiba ibu dengan motor matik berhenti di depanku. Bu Bejo. Ugh, untung aja Galang ngga jadi turun tadi.“Eh Bu Arya, baru pulang kerja Bu?”“Eh, hehehe iya Bu Bejo.”“Kerja di mana, Bu?”“Di kafé Mentari, Bu.”“Oh kafé baru itu ya. Kerja apa, Bu di sana? Yang nyatet-nyatet pesanan ya? Apa yang cuci piring?” Dih underestimate banget!“Markom, Bu. Marketing komunikasi.”“Marketing?