Hai semoga terhibur dengan cerita saya. Siapa yang pengen update cepet? Tinggalkan komen ya!
“Kamu itu, BISA MOTRET NGGAK, SIH?!” serunya sambil membanting sendok garpu diatas meja. “Aduh Pak, tadi udah bagus lho, tinggal kurangi senyum dikiit aja. Biar nampak elegan, gitu loh.” “Kasih instruksi itu yang jelas, jangan sepotong-potong!” bentaknya. “Maaf, Pak.” Aku menunduk, pura-pura merasa bersalah, padahal sebenarnya jengkel setengah mati. Mentang-mentang bos, seenaknya bentak anak buah. Huh! Mungkin ia sadar, foto yang kubuat demi kemajuan kafenya juga, iapun lantas mengambil kembali sendok dan garpu lalu berpose seperti yang kupinta. Tak menyia-nyiakan kesempatan, akupun mengambil beberapa foto. Setelah nasi goreng, kuletakkan mie sapi lada hitam di mejanya, lalu spagheti, steak, sup iga, mashed potato, burger, roti bakar, dan aneka minuman. Kuminta ia berganti pose. Setelah duduk dengan menoleh ke kanan, kuminta ia duduk menghadap jendela, duduk sambil makan, berdiri, berjalan, kayang, koprol, eh nggak lah, bisa ngamuk dia nanti. “Sekarang bapak pakai kostum chef
Lonceng yang terpasang di pintu kafe berbunyi ketika aku sedang sibuk membuat konten untuk sosmed.Tak lama, seseorang mendorong pintu dari luar.Sesosok perempuan cantik, tinggi, modis, bak model berjalan masuk dengan anggun. Aku beranjak mendekatinya. Hmm apakah dia pikir kafe ini sudah buka?“Maaf mbak, kafe kami belum buka.” Aku tersenyum dengan kepala sedikit mendongak.Perempuan itu balas tersenyum tapi terlihat sinis.“Kamu nggak tahu siapa saya?” Ia membuka kaca mata hitam. Ampun deh, hari ini, nggak si bos, nggak tamu, kenapa judes semua ya.Siapa dia? Duuh, siapa, sih? Ibu negara? Menteri? Teman lama? Sepertinya familiar. Aku pernah lihat, tapi entah di mana. Lupa.“Maaf, Mbak mau bertemu siapa ya?" tanyaku akhirnya. Mungkin saja dia rekan bisnis Pak Wira. Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya.Perempuan itu masih tetap tersenyum sinis dengan mata memicing melihatku.Sesaat kemudian, secara mengagetkan tiba-tiba ia mendorong bahuku dengan kasar. Berjalan menerobos masuk ke
“Tunggu!” Suaranya terdengar tak asing. Akupun menoleh demi memastikan dugaanku “A.. Arman?!”Spontan aku turun dari mobil. Mau apa sih, dia?“Mau ke mana?” tanyanya dingin seperti biasa.“Aku.. emm.. ada urusan pekerjaan,” jawabku sedikit gugup. Aneh sebenarnya, jawabanku ini kenapa jadi seperti seorang yang ke-gap selingkuh oleh pacar, sih?“Sudah lewat jam kantor, Rania sudah menunggumu di rumah.”“Sudah-sudah, tenang saja, akan kuantar dia pulang,” sahut Galang menengahi ketegangan diantara kami.“Tidak usah. Aku yang akan mengantarnya pulang.” Arman berjalan mendahuluiku menuju mobilnya. Pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Galang.Aku menarik napas kesal lalu menoleh ke arah Galang. Ia hanya mengedikkan bahu. “Ikutlah bersama pacarmu.”“Dia bukan pacar saya, Pak!” kataku setengah berbisik.“Lalu?”Aku pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Galang. Kupikir-pikir, Arman memang sudah seperti pacar posesifku saja. Selalu mengatur aku harus begini, harus begitu dengan dalih
Sampai di rumah, aku teringat dengan selembar foto yang kutemukan terjatuh dari buku agenda Arman. Kupandangi lagi foto itu, mengingat-ingat kapan kira-kira foto itu diambil, saat kejadian apa, dan siapa yang memotretnya. Di foto itu aku tengah duduk di bangku panjang depan kelas. Tidak sendirian, ada Maya di sampingku. Nampaknya seseorang memotret kami dari lantai dua sekolah. Candid, karena aku maupun Maya sama-sama tidak melihat ke kamera. Kami sedang tersenyum menatap lurus ke depan. Entah apa yang kami lihat, aku lupa. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Panggilan whats app. Kulihat nama yang terpampang di layar. Maya. “Assalamualaikum May..” sapaku. “Waalaikum salam Nad, aku mau menagih janjimu kemarin,” kata Maya. “Hah? Janji apa?” Perasaan aku ngga pernah menjanjikan apa-apa deh ke Maya. “Itu tuh.. katanya kamu mau nyomblangin aku sama adik iparmu.” “Ihh siapa juga yang janji.” Maya memang selalu begitu, suka menyimpulkan sesuatu seenaknya sendiri. “Lagian aku kan bilang, dia t
“Kamu ... lagi?”Aku kaget melihat sosok di depanku."Pak Ga-lang," ujarku terbatas. Oh, dunia ini mengapa begitu sempitnya. Diantara sekian banyak tempat makan, kenapa Galang harus datang ke sini dan akhirnya kami jadi bertemu. "Mau ... makan, Pak?" tanyaku basa-basi."Mau makan orang!" Ia menjawab kasar lalu menengok jam tangannya. "Kamu sudah terlambat tiga menit lima puluh tujuh detik!"Astaghfirullah, kebangetan emang ini Bos, waktu sekolah, matematikanya pasti dapat nilai sempurna.“Maaf Pak, saya sudah mau kembali ke kantor.”"Perjalanan ke kafe saya dengan kendaraan bermotor memakan waktu, sebelas menit.""Kalau Bapak menahan saya di sini, saya bisa lebih lama lagi sampai kafe, Pak. Permisi, saya mau pesan ojek dulu." Aku menundukkan kepala dan hendak berlalu pergi, namun ucapannya kembali membuatku terhenti.“Menunggu ojek datang, bisa menghabiskan waktu lima sampai sepuluh menit."Grrrrh, rasanya ingin marah, namun tak berdaya. "Jadi, menurut Bapak saya harus bagaimana?" ta
POV Arman“Suka ya?” Aku terkejut mendengar pertanyaan Maya. Pasti ia bertanya begitu karena memperhatikanku yang tanpa sadar terus melihat Nadia sampai hilang dari pandangan.“Ngeliatinnya gitu banget. Kamu suka sama Nadia?” Dia mengulangi pertanyaannya yang hanya kujawab dengan wajah yang pasti terlihat bingung di depannya. Karena jujur aku tak tahu harus menjawab apa. Mau jawab tidak, tapi aku suka, mau jawab suka, tapi ... “Kalau suka itu bilang aja.”“Ya nggak semudah itu.”“Oh, jadi beneran suka?”Aku menelan ludah menyesali pernyataan yang keluar dari mulutku barusan,. Itu artinya secara tidak langsung aku mengakui perasaanku ke Nadia di depan Maya, kan.“Kenapa sih? Karena dia mantan kakak iparmu?”Buru-buru aku meneguk minuman di depanku.“Memang sejak kapan sukanya?”“May!” Aku meletakkan gelas ke atas meja dengan sedikit keras. “Kamu tanya lagi, aku pulang nih!”“Yaelah Man, tersiksa banget ngga sih, mendam rasa kaya gitu. Apalagi kamu masih sering ketemu. Eh jangan-jangan
“Ayo!” sebuah suara mengagetkanku. Aku mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk memandangi gawai.“Udah lama nunggu?” tanyanya.“Nunggu? Siapa yang nunggu?” Aku berusaha berkelit. Kulihat sekilas ia tersenyum yang seolah tidak percaya dengan jawabanku.“Yaudah, yuk!” Dengan matanya ia memberi kode agar aku mengikutinya menuju mobil. “Gimana tadi?” Setelah sekian lama kami hanya diam dalam mobil yang melaju, akhirnya aku memulai pembicaraan.“Apa?”“Di resto.”“Oh, makanannya enak,” jawab Arman singkat.“Bukan itu. Gimana tadi Maya?”Mobil berhenti di lampu merah. Ia menoleh ke arahku.“Maya? Cantik, masih seperti dulu.”Entah mengapa aku merasa ada panas yang menjalar di wajahku. Iya Maya memang cantik. Dari dulu dia cewek idola di sekolahan. Mungkin termasuk Arman.“Jadi, kamu sengaja merencanakan semua ini?” tanyanya. Aku menatapnya dengan takut-takut lalu mengangguk.“Kenapa?”“Ini!” Aku mengulurkan selembar foto.“Kemarin terjatuh dari buku agendamu. Kukembalikan.”Arman meli
Pagi itu aku ke kantor dengan mata berat. Rasa kantuk masih menggelayut di mataku.“Ijin sehari seharusnya tidak apa-apa.” Kata Arman saat mengantarku.Ah dia tidak tau Galang pasti akan murka. Dari awal dia sudah mewanti-wantiku tidak mau ada drama rumah tangga dibawa-bawa ke kantor. Makanya ia lebih suka pegawai yang masih single. Apalagi hari ini Pak Wira sudah mengagendakan untuk briefing seluruh karyawan.Setengah perjalanan ke kantor kugunakan untuk tidur. Arman membangunkanku ketika sampai.“Jilbabmu kebalik, tuh!” katanya ketika aku akan turun“Hah?” Aku memperhatikan jilbabku. Ya ampun gara-gara tidur lagi setelah Shubuh dan telat bangun, aku berdandan dengan tergesa tadi, jilbabku sampai terbalik.Baru aku hendak membuka peniti jilbab, Arman dengan cepat mencegah “Jangan di sini, perbaiki di toilet.”Aku melirik kesal pada Arman. "Ribet amat!” seruku lalu membuka pintu mobil.“Makan ini!” Ia memberikan permen kopi.“Pulangnya kujemput ya,” katanya lagi lebih mirip seperti pe