Share

Ketahuan

“Jangan bicara kasar di depan anak kecil." Dia berkata lebih lembut kini, tapi menyebalkan, kesannya kok, jadi aku yang antagonis! 

Berusaha sabar, kutarik napas panjang. Mau marah, tapi kurasa waktunya memang tidak tepat. Aku tak mau Rania melihat kami tak akur sebagai keluarga. "Oke. Tapi kita mau ke mana?" 

Arman memandangku, diam beberapa detik, lalu bilang, “Aku yang tanya ke kamu, mau ke mana? Aku antar.”

Aku menatapnya takjub. Tumben. Ah, pasti Mama yang suruh. Mama gigih sekali ingin menjodohkanku dengan Arman.

“Aku mau ke reuni SMA. Yakin mau nganter?”

Setahuku Arman bukan orang yang suka dengan reuni. Setiap kali diundang reuni ia tidak pernah mau datang. Bahkan ia juga enggan masuk ke grup WA sekolah.

Aku dan Arman satu SMA dan satu angkatan hanya beda kelas. Lucunya, aku baru tahu saat hendak menikah dengan Mas Arya. Padahal kata Erna, Arman ini cukup populer di sekolah, lho. Banyak yang mengidolakan, ya maklum dia kan termasuk anggota klub basket yang sering memenangkan berbagai kejuaraan. 

Sebagai seorang yang pernah menjabat ketua ekskul jurnalistik, aku memang sempat mewawancarai tim basket, tapi bukan Arman, melainkan ketua timnya. Sementara anggotanya hanya kutahu sepintas saja, sebatas nama yang kuketikkan di mading dan majalah sekolah.

“Oke kita ke reuni, masuk!” Matanya memberi isyarat padaku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku menurut.

“Biasanya kamu tidak suka datang ke reuni? Kenapa sekarang-”

“Rania tanggung jawabku! ” Dengan cepat ia memotong ucapanku.

“Mulai sekarang aku yang akan menjaga kalian, menggantikan mas Arya.”

Alasan itu lagi. Antara senang ada sosok yang menyayangi dan melindungi Rania seperti ayahnya, tapi juga jengah, karena Arman jadi suka mengatur kehidupanku melebihi mas Arya sewaktu masih ada.

*******

Kami sampai di tempat reuni. Sebuah restoran yang cukup mewah di tengah kota Semarang. Resto ini punya beberapa ruang privat yang bisa dibooking untuk acara meeting, arisan atau reuni. Makanan di sini lumayan mahal. Kawan sekelasku yang kini bekerja di Irlandia yang menjadi sponsor acara. Kebetulan ia sedang pulang ke Indonesia untuk suatu urusan.

“Kita masuk sendiri-sendiri saja, aku turun duluan ya,” kataku sambil membuka sabuk pengaman saat mobil telah terparkir.

“Kenapa harus begitu?” tanyanya. 

“Nanti turun pasaranmu, dikira pria beristri, udah punya anak lagi” jawabku sekenanya sambil bercermin di kaca spion tengah mobil, merapikan jilbab.

Arman mencabut kunci mobil dan memasukkan di saku celananya, lalu membuka pintu, dan turun dari mobil.

“Rania biar sama aku,” katanya.

“Hah?” Aku ngga salah dengar?

Arman membuka pintu mobil bagian belakang tempat Rania duduk “Ayo Rania, sama Paman ya.”

“Asiik.” Rania terlihat hepi.

Sambil menggendong Rania, Arman kemudian membuka pintu mobil di sisi tempatku duduk.

Aku turun dari mobil dan berjalan bersisian dengannya menuju resto. Orang-orang yang kami lewati pasti mengira kami ini pasangan suami istri dengan satu anak. Ini yang sebenarnya tidak kusuka. 

“Nadiaa!” Erna memanggil saat aku clingukan di depan resto. Aku melambaikan tangan ke arahnya.

Setelah bersalam-salaman dan sedikit ngobrol dengan beberapa orang kawan yang duluan kutemui di area depan resto, aku berjalan menuju Erna. Ia tampak sedang mengobrol dengan sekumpulan temen-temen perempuan.

Sementara Arman bergabung bersama teman lelaki di sisi yang lain. Kulihat ia bercakap cukup akrab dengan beberapa orang teman sekelasku yang ikut ekstra kurikuler basket saat SMA.

“Nadia, kamu sama Arman, emm ...” Aku sudah bisa menebak arah pertanyaan Maya.

“Dia adik almarhum suamiku May ...”

Maya dan kebanyakan teman SMA lain sepertinya tidak tahu kalau Arman adik iparku. Aku memang tidak pernah memberi pengumuman ke temen sekelas bahwa aku adalah kakak ipar Arman. Yaa  buat apa, sepertinya tak penting juga. Beberapa teman yang tahu karena mereka hadir di acara pernikahanku dan melihat ada Arman di sana.

“Ohh, kirain.” Maya nampak lega mendengar jawabanku.

“Eh dia masih single kan?” tanya Maya menyelidik. Beberapa teman perempuan lain ikut kasak-kusuk ngomongin Arman.

“Tambah ganteng ya.” Sissy senyum-senyum memandang ke arah Arman.

“Tambah ganteng apa? Tambah rese iya!” kataku menimpali. Erna hanya tertawa-tawa mendengar obrolan kami.

Diam-diam aku melihat ke arah Arman. Ia berpenampilan rapi dengan mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai ke bawah siku. Banyak yang bilang Mas Arya dan Arman mirip. Tapi tidak di mataku. Mungkin karena pembawaan mereka beda. Mas Arya orang yang selalu ramah terhadap siapa saja, murah senyum, suka menyapa terlebih dahulu, beda dengan Arman. Laki-laki yang dingin, tidak banyak bicara. Secara fisik, kulit mas Arya sedikit lebih gelap daripada Arman, postur tubuh mas Arya, meski termasuk cukup tinggi, tapi sedikit lebih kecil dibanding Arman.

Arman tambah ganteng? Masa? Ah aku tak pernah ingat seperti apa dia waktu SMA. Aku masih terus memperhatikan Arman. Ia tengah menyuapi Rania makan dengan telaten. Maniis sekali. Ops, mikir apa aku ini. 

“Heh kamu ngapain senyum-senyum sambil lihatin Arman?” Suara Maya membuyarkan lamunanku.

“Eh enak aja, lihatin Arman. Aku lihat anakku, jangan sampe ditelantarin sama tuh orang.”

Maya memandangku tidak percaya. “Hmmm masa sih kamu ga jatuh cinta sama Arman.”

“Kakaknya lebih ganteng tauk, lebih perhatian, lebih lembut, beda jauh sama adiknya. Kamu belum kenal aja!” jawabku ketus.

“Kalo gitu mau dong dikenalin, ya ... ya ... pliissss. ” Maya bergelondotan di tanganku sambil tersenyum genit bikin aku keselek.

“Aduhh kalo itu, aku nggak janji, kayaknya sih dia udah ada calon,” jawabku, meski ngga terlalu yakin juga dia masih menjalin hubungan dengan Sheila atau tidak.

“Eh bentar ya aku mau ke toilet.” Aku mengelus-elus perut. Berakting lagi kebelet. Cara yang klise untuk mengakhiri obrolan tapi tetep ampuh.

“Oh oke, nanti kita ngobrol lagi ya! “ Maya lantas bergabung dengan teman yang lain.

Di toilet aku hanya cuci tangan dan merapikan jilbab, lalu keluar karena nampaknya acara sudah dimulai, sayup-sayup kudengar suara MC bicara di microphone.

Aku berjalan sedikit tergesa karena tidak mau ketinggalan acara. Tanpa sengaja, aku menginjak ujung rok ku sendiri. Hampir terjatuh, jika seseorang tidak memegang kedua tanganku dengan sigap.

Aku mengangkat kepalaku dan kulihat ...

“Pak Galang?”

Ia nampak kaget saat melihatku dan segera melepaskan pegangan tangannya.

Dari kejauhan kulihat Rania berlari ke arahku.

Tidaak, jangan ke sini Rania.

“Mamaaa ...” Rania menghambur memelukku,sementara Arman berjalan cepat mengikutinya.

Galang menatap tajam padaku dan Rania.

“Kamu ....” Ia nampak marah. “Kita ketemu besok di kantor!” geramnya kemudian berlalu pergi.

“Siapa dia?” tanya Arman.

Duuh mati aku!

Komen (15)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
yah ketahuan ...
goodnovel comment avatar
Siti Fatimah Mamah
cerita nya membuat penasaran
goodnovel comment avatar
syauqi rabbani salam
menarik ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status