“Tunggu!” Suaranya terdengar tak asing. Akupun menoleh demi memastikan dugaanku “A.. Arman?!”Spontan aku turun dari mobil. Mau apa sih, dia?“Mau ke mana?” tanyanya dingin seperti biasa.“Aku.. emm.. ada urusan pekerjaan,” jawabku sedikit gugup. Aneh sebenarnya, jawabanku ini kenapa jadi seperti seorang yang ke-gap selingkuh oleh pacar, sih?“Sudah lewat jam kantor, Rania sudah menunggumu di rumah.”“Sudah-sudah, tenang saja, akan kuantar dia pulang,” sahut Galang menengahi ketegangan diantara kami.“Tidak usah. Aku yang akan mengantarnya pulang.” Arman berjalan mendahuluiku menuju mobilnya. Pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Galang.Aku menarik napas kesal lalu menoleh ke arah Galang. Ia hanya mengedikkan bahu. “Ikutlah bersama pacarmu.”“Dia bukan pacar saya, Pak!” kataku setengah berbisik.“Lalu?”Aku pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Galang. Kupikir-pikir, Arman memang sudah seperti pacar posesifku saja. Selalu mengatur aku harus begini, harus begitu dengan dalih
Sampai di rumah, aku teringat dengan selembar foto yang kutemukan terjatuh dari buku agenda Arman. Kupandangi lagi foto itu, mengingat-ingat kapan kira-kira foto itu diambil, saat kejadian apa, dan siapa yang memotretnya. Di foto itu aku tengah duduk di bangku panjang depan kelas. Tidak sendirian, ada Maya di sampingku. Nampaknya seseorang memotret kami dari lantai dua sekolah. Candid, karena aku maupun Maya sama-sama tidak melihat ke kamera. Kami sedang tersenyum menatap lurus ke depan. Entah apa yang kami lihat, aku lupa. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Panggilan whats app. Kulihat nama yang terpampang di layar. Maya. “Assalamualaikum May..” sapaku. “Waalaikum salam Nad, aku mau menagih janjimu kemarin,” kata Maya. “Hah? Janji apa?” Perasaan aku ngga pernah menjanjikan apa-apa deh ke Maya. “Itu tuh.. katanya kamu mau nyomblangin aku sama adik iparmu.” “Ihh siapa juga yang janji.” Maya memang selalu begitu, suka menyimpulkan sesuatu seenaknya sendiri. “Lagian aku kan bilang, dia t
“Kamu ... lagi?”Aku kaget melihat sosok di depanku."Pak Ga-lang," ujarku terbatas. Oh, dunia ini mengapa begitu sempitnya. Diantara sekian banyak tempat makan, kenapa Galang harus datang ke sini dan akhirnya kami jadi bertemu. "Mau ... makan, Pak?" tanyaku basa-basi."Mau makan orang!" Ia menjawab kasar lalu menengok jam tangannya. "Kamu sudah terlambat tiga menit lima puluh tujuh detik!"Astaghfirullah, kebangetan emang ini Bos, waktu sekolah, matematikanya pasti dapat nilai sempurna.“Maaf Pak, saya sudah mau kembali ke kantor.”"Perjalanan ke kafe saya dengan kendaraan bermotor memakan waktu, sebelas menit.""Kalau Bapak menahan saya di sini, saya bisa lebih lama lagi sampai kafe, Pak. Permisi, saya mau pesan ojek dulu." Aku menundukkan kepala dan hendak berlalu pergi, namun ucapannya kembali membuatku terhenti.“Menunggu ojek datang, bisa menghabiskan waktu lima sampai sepuluh menit."Grrrrh, rasanya ingin marah, namun tak berdaya. "Jadi, menurut Bapak saya harus bagaimana?" ta
POV Arman“Suka ya?” Aku terkejut mendengar pertanyaan Maya. Pasti ia bertanya begitu karena memperhatikanku yang tanpa sadar terus melihat Nadia sampai hilang dari pandangan.“Ngeliatinnya gitu banget. Kamu suka sama Nadia?” Dia mengulangi pertanyaannya yang hanya kujawab dengan wajah yang pasti terlihat bingung di depannya. Karena jujur aku tak tahu harus menjawab apa. Mau jawab tidak, tapi aku suka, mau jawab suka, tapi ... “Kalau suka itu bilang aja.”“Ya nggak semudah itu.”“Oh, jadi beneran suka?”Aku menelan ludah menyesali pernyataan yang keluar dari mulutku barusan,. Itu artinya secara tidak langsung aku mengakui perasaanku ke Nadia di depan Maya, kan.“Kenapa sih? Karena dia mantan kakak iparmu?”Buru-buru aku meneguk minuman di depanku.“Memang sejak kapan sukanya?”“May!” Aku meletakkan gelas ke atas meja dengan sedikit keras. “Kamu tanya lagi, aku pulang nih!”“Yaelah Man, tersiksa banget ngga sih, mendam rasa kaya gitu. Apalagi kamu masih sering ketemu. Eh jangan-jangan
“Ayo!” sebuah suara mengagetkanku. Aku mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk memandangi gawai.“Udah lama nunggu?” tanyanya.“Nunggu? Siapa yang nunggu?” Aku berusaha berkelit. Kulihat sekilas ia tersenyum yang seolah tidak percaya dengan jawabanku.“Yaudah, yuk!” Dengan matanya ia memberi kode agar aku mengikutinya menuju mobil. “Gimana tadi?” Setelah sekian lama kami hanya diam dalam mobil yang melaju, akhirnya aku memulai pembicaraan.“Apa?”“Di resto.”“Oh, makanannya enak,” jawab Arman singkat.“Bukan itu. Gimana tadi Maya?”Mobil berhenti di lampu merah. Ia menoleh ke arahku.“Maya? Cantik, masih seperti dulu.”Entah mengapa aku merasa ada panas yang menjalar di wajahku. Iya Maya memang cantik. Dari dulu dia cewek idola di sekolahan. Mungkin termasuk Arman.“Jadi, kamu sengaja merencanakan semua ini?” tanyanya. Aku menatapnya dengan takut-takut lalu mengangguk.“Kenapa?”“Ini!” Aku mengulurkan selembar foto.“Kemarin terjatuh dari buku agendamu. Kukembalikan.”Arman meli
Pagi itu aku ke kantor dengan mata berat. Rasa kantuk masih menggelayut di mataku.“Ijin sehari seharusnya tidak apa-apa.” Kata Arman saat mengantarku.Ah dia tidak tau Galang pasti akan murka. Dari awal dia sudah mewanti-wantiku tidak mau ada drama rumah tangga dibawa-bawa ke kantor. Makanya ia lebih suka pegawai yang masih single. Apalagi hari ini Pak Wira sudah mengagendakan untuk briefing seluruh karyawan.Setengah perjalanan ke kantor kugunakan untuk tidur. Arman membangunkanku ketika sampai.“Jilbabmu kebalik, tuh!” katanya ketika aku akan turun“Hah?” Aku memperhatikan jilbabku. Ya ampun gara-gara tidur lagi setelah Shubuh dan telat bangun, aku berdandan dengan tergesa tadi, jilbabku sampai terbalik.Baru aku hendak membuka peniti jilbab, Arman dengan cepat mencegah “Jangan di sini, perbaiki di toilet.”Aku melirik kesal pada Arman. "Ribet amat!” seruku lalu membuka pintu mobil.“Makan ini!” Ia memberikan permen kopi.“Pulangnya kujemput ya,” katanya lagi lebih mirip seperti pe
Kesal. Itulah kesan pertamaku terhadap Nadia. Pertama kejadian di taxi. Bisa-bisanya dia bilang kalo dia yang lebih dulu memanggil taxi itu. Padahal dari sebrang jalan jelas aku lihat, dia baru melambaikan tangan setelah aku. Enak aja aku disuruh turun!Kedua, dia tidak mengenaliku. Bagaimana mungkin orang setenar aku, dia tidak tahu. Sungguh kuper. Semua calon karyawan yang masuk ke ruangan untuk wawancara – terutama yang wanita- langsung histeris begitu melihatku, dia tidak. Dia malah memandangku sinis, dan baru tersenyum setelah Bang Wira bilang aku adalah pemilik café. Setelah wawancara, ia langsung pergi, padahal calon karyawan lain pasti meminta wefie. Sombong. Huh!Ketiga, di sebuah resto, ketika seorang anak kecil memanggilnya Mama. Oh jadi dia menipu kami? Jelas-jelas di info lowongan pekerjaan kami mencari pegawai yang masih single, mengapa dia melamar? Dan di KTP nya tertulis dia masih single, dia memalsukan data?Yang bikin kesal lagi Bang Wira membelanya. Ah Bang Wira mem
Hari besar ini akhirnya datang juga. Hari pembukaan kafé kami yang pertama kalinya. Eh kafenya Galang. Kalau dia tahu aku menyebutnya dengan café kami, ntar dia pasti bakal komen sewot, “Sejak kapan kamu menaruh saham di café ini, hah?”Aku berangkat kantor dengan jantung bergemuruh. Lumayan deg-degan. Udah lama aku ngga berhadapan dengan banyak orang untuk urusan kerjaan.Apalagi kali ini aku harus membawa Rania turut serta. Duh ngga sanggup bayangin ekspresi Galang nanti melihat aku membawa Rania ke kantor.Hari ini omanya harus kontrol ke dokter diantar Arman, Bi Inah pulang kampung, sementara TK nya Erna Sabtu libur jadi aku tidak bisa menitipkan Rania di sana.“Memangnya Rania ngga apa-apa ikut kamu kerja?” tanya omanya di perjalanan mengantarku ke kafé.“Biar Rania ikut Mama. Nanti Mama didrop saja di rumah sakit. Arman bisa bawa Rania jalan-jalan ke mana .. gitu.”“Jangan. Arman harus mengantar Mama sampai ke ruangan dokter. Rania biar sama Nadia. Gapapa kok, Ma. Bos Nadia baik