Share

Bab 6 Kembali Lagi

Author: Jiriana
last update Last Updated: 2023-11-14 18:59:52

Tiga tahun kemudian, Negara S tepatnya di kota N.

Seorang wanita berambut panjang dengan sedikit gelombang di ujungnya berjalan dengan pelan menuju apartemen yang berada di ujung dengan wajah lelah. Wanita itu adalah Lucia, dia baru saja pulang bekerja sore itu. Ketika memasuki apartemennya, dia melihat temannya sedang berada di ruang tamu kecil apartemen mereka.

"Kenapa baru pulang?" tanya Wenny, teman yang selama dua tahun ini tinggal bersamanya di apartemen yang mereka sewa bersama.

"Sedang banyak pekerjaan," jawab Lucia sambil meletakkan tasnya di sofa. "Aku mandi dulu."

Setengah jam berlalu, Lucia keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Wenny, kemudian mengeringkan rambutnya setelah menghidupkan hairdryer. Ini adalah rutinitas Lucia setelah bekerja yaitu mandi dan bersantai di ruangan keluarga.

Biasanya, mereka berdua menikmati makanan ringan sambil mengobrol. Mulai dari obrolan ringan higga berat. Tidak jarang juga mereka mencurahkan isi hati ketika sedang memiliki masalah, apa pun itu.

Keduanya terbiasa membagi masalah mereka berdua agar sedikit melegakan hati. Sedekat itu mereka hingga keduanya tidak pernah merasa khawatir untuk menceritakan masalah apa pun yang sedang mereka hadapi.

"Ponselmu berbunyi sejak tadi." Wenny menoleh pada Lucia yang sedang menatap layar televisi di depan mereka seraya mengarahkan pengering rambutnya. "Sepertinya penting," sambung Wenny lagi.

Setelah mendengar itu, Lucia mematikan hairdryer, meletakkan di meja, lantas mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Baru saja dia memegang ponselnya, terdengar suara panggilan masuk. Lucia segera mengangkat panggilan tersebut saat tahu siapa yang menelponnya.

"Yaa, Bu. Ada apa?"

"Lucia, segera pulang. Ayahmu masuk rumah sakit."

Iris Lucia melebar dan jantungnya berdebar kencang setelah mendengar infomasi dari ibunya. "Apa yang terjadi dengan Ayah?"

Wenny yang sejak tadi sedang menonton televisi dengan wajah serius, seketika menolehkan kepalanya ke samping kanan dengan tatapan menelisik. Saat melihat wajah Lucia nampak menegang, dia menduga kalau sesuatu sudah terjadi pada keluarganya.

Ibu Lucia tidak pernah menelpon sore hari, biasanya dia akan menelpon malam hari, itu pun jarang terjadi. Lucia dan keluarganya memang jarang sekali saling menelpon, biasanya mereka berkomunikasi via aplikasi pesan singkat.

"Ayahmu terjatuh di kamar mandi dan belum sadarkan diri sampai sekarang." Suara ibunya terdengar panik dan sedikit bergetar. "Cepatlah pulang."

Ketika kata-kata itu jatuh, tubuh Lucia langsung lemas.

Sudah tiga tahun lamanya dia tidak pulang. Skandal di masa lalu membuatnya tidak berani lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, meskipun dia sangat merindukan orang tuanya. Kejadian masa lalu masih menyisakan trauma di hidup Lucia.

Trauma itu meninggalkan luka yang sampai sekarang tidak bisa dihilangkan. Padahal, selama dua tahun ini, dia rutin mendatangi psikiater untuk menyembuhkan traumanya agar tidak semakin dalam dan berlanjut. Namun, pada kenyataannya, luka itu masih menetap dan enggan pergi.

Ibarat gelas yang sudah retak, tidak akan pernah kembali utuh seperti sedia kala, meskipun sudah diperbaiki. Seperti itulah yang terjadi pada Lucia. Menyembuhkan bukan berarti rasa sakit itu tidak akan hilang dan tak berbekas.

Luka dan rasa sakit itu masih ada, bahkan masih mengakar kuat di hatinya dan tidak pernah bisa dihilangka. Padahal, segala cara sudah dilakukan untuk menyembuhkan trauma tersebut. Hanya dia satu-satunya yang tahu bahwa kejadian dulu menyebabkan gangguan psikologis berat baginya.

Bahkan orang tuanya pun tidak tahu kalau Lucia mengalami trauma, hingga membuatnya tidak bisa tidur tenang setiap malamnya. Dari luar dia nampak baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu kalau di dalam hatinya, dia menyimpan luka yang sangat dalam.

Kejadian tiga tahun lalu merubah seluruh hidup dan kepribadiannya di masa kini dan itu berpengaruh pada kehidupan asmaranya. Dia menjadi takut untuk menjalin hubungan baru, bahkan untuk sekedar dekat dengan seorang pria pun, dia masih tidak berani. Dia selalu berusaha menghidari kontak dengan lawan jenis, sekecil apa pun itu.

"Tapi, aku tidak bi—"

"Lucia, pulanglah. Apa kau tidak ingin melihat ayahmu lagi?" Intonasi ibunya terdengar sedikit meninggi karena tahu kalau anaknya akan menolak untuk pulang. Bukannya dia egois dan tidak merasakan perasaan anaknya. Namun, Nyonya Helia tidak ingin putrinya selalu hidup dalam bayang masa lalunya.

"Bukan begitu, Bu, tapi ak—"

"Sudah waktunya kau pulang, Lucia." Ucapan ibunya seketika melembut dan terdengar tidak berdaya.

Nyonya Helia bisa mengerti tentang kekhawatiran putrinya, jadi dia juga tidak bisa bersikap keras padanya. Bagaimanapun, putrinya mengalami masa yang berat setelah kejadian 3 tahun lalu. Dia sangat paham itu. Maka dari itu, dia mencoba membujuknya dengan lembut.

"Masalah yang dulu, jangan diingat lagi. Semuanya sudah berlalu. Sudah saatnya kau melangkah maju."

Lucia tidak langsung membalas ucapan ibunya, dia merenung selama beberapa saat, hingga akhirnya dia kembali angkat bicara, "Baiklah. Aku akan pulang, tapi beri aku waktu beberapa hari untuk membereskan sesuatu di sini."

Selesai berbicara dengan ibunya, Lucia terlihat merenung sambil memegang ponselnya dengan erat.

Kilas balik kejadian yang dulu kembali terlintas di benaknya. Kejadian tiga tahun yang lalu menimbulkan kehebohan besar di kota Y. Lucia belum bisa melupakan bagaimana orang-orang mencemooh serta menghujat dirinya setelah vidionya tersebar dan pernikahannya batal.

"Ada apa, Lucia?" tanya Wenny saat melihat temannya itu sejak tadi hanya diam sambil memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.

“Ayahku masuk rumah sakit dan ibuku memintaku untuk segera pulang." Lucia menoleh pada Wenny saat mengatakan itu. Terlihat jelas kalau dirinya keberatan dengan permintaan ibunya itu.

“Apa kau sudah siap bertemu dengannya lagi?" tanya Wenny hati-hati.

Selain orang tua dan orang terdekatnya, Wenny juga tahu mengenai masalah yang menimpa Lucia beberapa tahun yang lalu. Meskipun mereka baru mengenal selama kurang dari tiga tahun. Namun, keduanya sudah seperti saudara, ada banyak hal yang Lucia ceritakan pada teman dekatnya itu.

"Aku sudah melupakannya. Antara aku dan dia sudah berakhir." Suaranya terdengar datar dan terkesan acuh tak acuh. Namun, tersirat ada kesedihan dalam sorot matanya.

“Lalu, kenapa wajahmu murung?”

Lucia yang baru saja akan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi, seketika meletakkan kembali pengering rambutnya di pangkuannya setelah mendengar pertanyaan Wenny. Dia menghembuskan napas pelan sebelum menjawab pertanyaan temannya itu.

“Aku sudah merasa nyaman tinggal di sini.”

Tadinya Lucia berniat akan tinggal selamanya di kota N, tapi ternyata keadaan tidak menginjinkannya untuk tinggal di sana lebih lama lagi.

Sejak dia meninggalkan kota Y tiga tahun lalu, Lucia sudah mengubur perasaan serta semua kenangan bersama Dean Anderson. Selama tiga tahun ini, dia berusaha untuk memulai kehidupan barunya lagi di negara S tepatnya di kota N.

Tadinya, ibu Lucia menyarankan untuk tinggal bersama neneknya di kota L. Namun, ditolak oleh Lucia. Dia memilih pergi ke kota N dan tinggal di sana.

Alasannya hanya satu, dia ingin memulai kehidupan barunya di tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Dia ingin memutus semua hal yang berhubungan dengan Dean dan kota Y.

******

“Halo, Bu. Aku sudah tiba di bandara. Aku akan naik taksi, jadi ibu tidak perlu menjemputku,” ucap Lucia ketika baru saja selesai mengambil kopernya di tempat pengambilan bagasi.

“Ya. Aku akan kembali ke rumah dulu, setelah itu baru ke rumah sakit,” katanya lagi.

Usai berbicara dengan ibunya, Lucia meletakkan ponselnya di dalam tas lalu berjalan keluar sambil menarik kopernya.

Dari kejauhan tidak sengaja matanya menangkap sosok yang sangat familiar di antara kerumunan orang yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Sosok itu mirip sekali dengan Dean, meskipun hanya dilihat dari belakang, tapi Lucia masih bisa mengenali punggung tegap pria yang dulunya mengisi ruang hatinya itu.

Karena penasaran dengan pria tersebut, Lucia berniat untuk mengejarnya. Dia menarik koper dan melangkah terburu-buru ke arah pintu keluar, tapi sayangnya, langkah Lucia dihentikan oleh petugas yang berjaga di dekat pintu keluar. Petugas itu memintanya untuk menunjukkan nomor bukti penitipan bagasi.

"Ini." Lucia segera memberikan kertas pada petugas tersebut. "Aku mohon lebih cepat, aku sedang terburu-buru," tambah Lucia ketika pria itu sedang mencocokkan nomor di kertas yang ada di tangannya dengan kertas yang menempel di koper Lucia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikejar Kembali oleh Tunangan Aroganku   Bonus Chapter (Memulai Hidup Baru)

    "Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia

  • Dikejar Kembali oleh Tunangan Aroganku   Bonus Chapter (Pertemuan Lucia dengan Gevin)

    "Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena

  • Dikejar Kembali oleh Tunangan Aroganku   Bab 127 Fokus Pada Masa Depan (END)

    "Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas

  • Dikejar Kembali oleh Tunangan Aroganku   Bab 126 Hamil

    "Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?" Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan, jadi terpaksa aku memundurkan penerbanganku." "Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu." Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?" "Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—" Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotong setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya." "Dean istrimu sedang ..." Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengk

  • Dikejar Kembali oleh Tunangan Aroganku   Bab 125 Tidak Mau Menikah Dengannya

    "Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya. "Sedang dalam perjalanan, Tuan." "Lalu, Rebecca?" "Sudah di tempat yang Tuan perintahkan." Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu." Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu. "Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon. "Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak." Tidak terdengar apa pun di sebrang sana hingga Dean kembali membuka suara, "Kenapa? Sudah merindukan aku?" "Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya." Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa." "Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?" "Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana." Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat sen

  • Dikejar Kembali oleh Tunangan Aroganku   Bab 124 Permintaan Lucia

    "Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun. Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada. "Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit." Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar." "Kau masih memikirkan Bernice?” Lucia mengangguk deng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status