Share

Bab 6 Kembali Lagi

3 tahun kemudian, Negara S tepatnya di kota N.

Seorang wanita berambut panjang dengan sedikit gelombang di ujungnya berjalan dengan pelan menuju apartemen yang berada di ujung dengan wajah lelah. Wanita itu adalah Lucia, dia baru saja pulang bekerja sore itu. Ketika memasuki apartemennya, dia melihat temannya sedang berada di ruang tamu kecil apartemen mereka.

"Kenapa baru pulang?" tanya Wenny, teman yang selama dua tahun ini tinggal bersamanya di apartemen yang mereka sewa bersama.

"Sedang banyak pekerjaan," jawab Lucia sambil meletakkan tasnya di sofa. "Aku mandi dulu."

Setengah jam berlalu, Lucia keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Wenny, kemudian mengeringkan rambutnya setelah menghidupkan hairdryer. Ini adalah rutinitas Lucia setelah bekerja yaitu mandi dan bersantai di ruangan keluarga.

Biasanya, mereka berdua menikmati makanan ringan sambil mengobrol. Mulai dari obrolan ringan higga berat. Tidak jarang juga mereka mencurahkan isi hati ketika sedang memiliki masalah, apa pun itu.

Keduanya terbiasa membagi masalah mereka berdua agar sedikit melegakan hati. Sedekat itu mereka hingga keduanya tidak pernah merasa khawatir untuk menceritakan masalah apa pun yang sedang mereka hadapi.

"Ponselmu berbunyi sejak tadi." Wenny menoleh pada Lucia yang sedang menatap layar televisi di depan mereka seraya mengarahkan pengering rambutnya. "Sepertinya penting," sambung Wenny lagi.

Setelah mendengar itu, Lucia mematikan hairdryer, meletakkan di meja, lantas mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Baru saja dia memegang ponselnya, terdengar suara panggilan masuk. Lucia segera mengangkat panggilan tersebut saat tahu siapa yang menelponnya.

"Yaa, Bu. Ada apa?"

"Lucia, segera pulang. Ayahmu masuk rumah sakit."

Iris Lucia melebar dan jantungnya berdebar kencang setelah mendengar infomasi dari ibunya. "Apa yang terjadi dengan ayah?"

Wenny yang sejak tadi sedang menonton televisi dengan wajah serius, seketika menolehkan kepalanya ke samping kanan dengan tatapan menelisik. Saat melihat wajah Lucia nampak menegang, dia menduga kalau sesuatu sudan terjadi pada keluarganya.

Ibu Lucia tidak pernah menelpon sore hari, biasanya dia akan menelpon malam hari, itu pun jarang terjadi. Lucia dan keluarganya memang jarang sekali saling menelpon, biasanya mereka berkomunikasi via aplikasi pesan singkat.

"Ayahmu terjatuh di kamar mandi dan belum sadarkan diri sampai sekarang." Suara ibunya terdengar panik dan sedikit bergetar. "Cepatlah pulang."

Ketika kata-kata itu jatuh, tubuh Lucia langsung lemas.

Sudah tiga tahun lamanya dia tidak pulang. Skandal di masa lalu membuatnya tidak berani lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, meskipun dia sangat merindukan orang tuanya. Kejadian masa lalu masih menyisakan trauma di hidup Lucia.

Trauma itu meninggalkan luka yang sampai sekarang tidak bisa dihilangkan. Padahal, selama dua tahun ini, dia rutin mendatangi psikiater untuk menyembuhkan traumanya agar tidak semakin dalam dan berlanjut. Namun, pada kenyataannya, luka itu masih menetap dan enggan pergi.

Ibarat gelas yang sudah retak, tidak akan pernah kembali utuh seperti sedia kala, meskipun sudah diperbaiki. Seperti itulah yang terjadi pada Lucia. Menyembuhkan bukan berarti rasa sakit itu tidak akan hilang dan tak berbekas.

Luka dan rasa sakit itu masih ada, bahkan masih mengakar kuat di hatinya dan tidak pernah bisa dihilangka. Padahal, segala cara sudah dilakukan untuk menyembuhkan trauma tersebut. Hanya dia satu-satunya yang tahu bahwa kejadian dulu menyebabkan gangguan psikologis berat baginya.

Bahkan orang tuanya pun tidak tahu kalau Lucia mengalami trauma hingga membuatnya tidak bisa tidur tenang setiap malamnya. Dari luar dia nampak baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu kalau di dalam hatinya, dia menyimpan luka yang sangat dalam.

Kejadian 3 tahun lalu merubah seluruh hidup dan kepribadiannya di masa kini dan itu berpengaruh pada kehidupan asmaranya. Dia menjadi takut untuk menjalin hubungan baru, bahkan untuk sekedar dekat dengan seorang pria pun, dia masih tidak berani. Dia selalu berusaha menghidari kontak dengan lawan jenis, sekecil apa pun itu.

"Tapi, aku tidak bi—"

"Lucia, pulanglah. Apa kau tidak ingin melihat ayahmu lagi?" Intonasi ibunya terdengar sedikit meninggi karena tahu kalau anaknya akan menolak untuk pulang. Bukannya dia egois dan tidak merasakan perasaan anaknya. Namun, Nyonya Helia tidak ingin putrinya selalu hidup dalam bayang masa lalunya.

"Bukan begitu, Bu, tapi ak—"

"Sudah waktunya kau pulang, Lucia." Ucapan ibunya seketika melembut dan terdengar tidak berdaya.

Nyonya Helia bisa mengerti tentang kekhawatiran putrinya jadi dia juga tidak bisa bersikap keras padanya. Bagaimana pun putrinya mengalami masa yang berat setelah kejadian 3 tahun lalu. Dia sangat paham itu. Maka dari itu, dia mencoba membujuknya dengan lembut.

"Masalah yang dulu, jangan diingat lagi. Semuanya sudah berlalu. Sudah saatnya kau melangkah maju."

Lucia tidak langsung membalas ucapan ibunya, dia merenung selama beberapa saat hingga akhirnya dia kembali angkat bicara, "Baik. Aku akan pulang, tapi beri aku waktu beberapa hari untuk membereskan sesuatu di sini."

Selesai berbicara dengan ibunya, Lucia terlihat merenung sambil memegang ponselnya dengan erat.

Kilas balik kejadian yang dulu kembali terlintas di benaknya. Kejadian 3 tahun yang lalu menimbulkan kehebohan besar di kota Y. Lucia belum bisa melupakan bagaimana orang-orang mencemooh serta menghujat dirinya setelah vidionya tersebar dan pernikahannya batal.

"Ada apa, Lucia?" tanya Wenny saat melihat temannya itu sejak tadi hanya diam sambil memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.

“Ayahku masuk rumah sakit dan ibuku memintaku untuk segera pulang." Lucia menoleh pada Wenny saat mengatakan itu. Terlihat jelas kalau dirinya keberatan dengan permintaan ibunya itu.

“Apa kau sudah siap bertemu dengannya lagi?" tanya Wenny hati-hati.

Selain orang tua dan orang terdekatnya, Wenny juga tahu mengenai masalah yang menimpa Lucia beberapa tahun yang lalu. Meskipun mereka baru mengenal selama kurang dari 3 tahun. Namun, keduanya sudah seperti saudara, ada banyak hal yang Lucia ceritakan pada teman dekatnya itu.

"Aku sudah melupakannya. Antara aku dan dia sudah berakhir." Suaranya terdengar datar dan terkesan acuh tak acuh. Namun, tersirat ada kesedihan dalam sorot matanya.

“Lalu kenapa wajahmu murung?”

Lucia yang baru saja akan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi, seketika meletakkan kembali pengering rambutnya di pangkuannya setelah mendengar pertanyaan Wenny. Dia menghembuskan napas pelan sebelum menjawab pertanyaan temannya itu.

“Aku sudah merasa nyaman tinggal di sini.”

Tadinya Lucia berniat akan tinggal selamanya di kota N, tapi ternyata keadaan tidak menginjinkannya untuk tinggal di sana lebih lama lagi.

Sejak dia meninggalkan kota Y tiga tahun lalu, Lucia sudah mengubur perasaan serta semua kenangan bersama Dean Anderson. Selama 3 tahun ini, dia berusaha untuk memulai kehidupan barunya lagi di negara S tepatnya di kota N.

Tadinya, Ibu Lucia menyarankan untuk tinggal bersama neneknya di kota L. Namun, ditolak oleh Lucia. Dia memilih pergi ke kota N dan tinggal di sana.

Alasannya hanya satu, dia ingin memulai kehidupan barunya di tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Dia ingin memutus semua hal yang berhubungan dengan Dean dan kota Y.

******

“Halo, Bu. Aku sudah tiba di bandara. Aku akan naik taksi jadi ibu tidak perlu menjemputku,” ucap Lucia ketika baru saja selesai mengambil kopernya di tempat pengambilan bagasi.

“Ya. Aku akan kembali ke rumah dulu, setelah itu baru ke rumah sakit,” katanya lagi.

Usai berbicara dengan ibunya, Lucia meletakkan ponselnya di dalam tas lalu berjalan keluar sambil menarik kopernya.

Dari kejauhan tidak sengaja matanya menangkap sosok yang sangat familiar di antara kerumunan orang yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Sosok itu mirip sekali dengan Dean, meskipun hanya dilihat dari belakang, tapi Lucia masih bisa mengenali punggung tegap pria yang dulunya mengisi ruang hatinya itu.

Karena penasaran dengan pria tersebut, Lucia berniat untuk mengejarnya. Dia menarik koper dan melangkah terburu-buru ke arah pintu keluar, tapi sayangnya, langkah Lucia dihentikan oleh petugas yang berjaga di dekat pintu keluar. Petugas itu memintanya untuk menunjukkan nomor bukti penitipan bagasi.

"Ini." Lucia segera memberikan kertas pada petugas tersebut. "Aku mohon lebih cepat, aku sedang terburu-buru," tambah Lucia ketika pria itu sedang mencocokkan nomor di kertas yang ada di tangannya dengan kertas yang menempel di koper Lucia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status