"Kenapa coba disini?!" tanya Zayna seraya tersenyum tipis. "Nungguin kamu. Katanya mau belanja bareng ya harus bareng," ucap Maisha. "Kalau aku ikut, takut boros." "Nggak apa-apa. Rezeki udah ada yang ngatur," ucap Maisha. Maisha menggandeng tangan Zayna dan mereka memasuki toko. Mereka menghampiri orang tua mereka. Daripada ibu mereka, ayah mereka malah sudah memasukkan banyak barang ke keranjang belanja sampai membuat kedua putrinya terdiam heran. "Waktu aku di acara lamaran Raisa, kayaknya nggak gitu banyak belanjanya. Kalau makam-makan gitu gimana kak? Apakah katering atau nyewa koki?!" tanya Zayna. “Katering aja lebih praktis, Zay,” jawab Maisha sambil mengintip keranjang belanja yang sudah penuh dengan berbagai kebutuhan. "Tapi umi maunya nyewa koki ya? Karena kalau katering khawatir kurang dan habis banuak karena tetangga-tetangga juga perlu dikasih kan?" tanya Zayna. "Enggak Za. Kan udah paketan dari sananya. Aku udah coba diskusi sama umi," ucap Maisha. Z
"Zayna, tolong siapkan alat USG portable dan catat vital signs. Kita mulai dari auskultasi jantung dulu."Zayna segera bergerak. Ia membantu Bu Hafsah duduk tegak dengan hati-hati—wanita itu masih tampak lemah setelah dua hari pasca-operasi bypass jantung. Dengan lembut, Zayna memasang elektroda baru di dada pasien untuk EKG dan menyiapkan stetoskop steril.Dr. Ardea mencondongkan tubuh sedikit, mendengarkan detak jantung dengan penuh konsentrasi."Tarik napas dalam, Bu. Bagus... murmur sistoliknya sudah berkurang signifikan. Graft-nya bekerja baik," ujarnya datar namun puas.Zayna mencatat hasil vital signs: tekanan darah 120/80 mmHg, saturasi oksigen 98%, nadi 78 kali per menit, reguler.Setelah itu, Dr. Ardea mengambil probe USG dan memeriksa area jantung melalui layar monitor, sementara Zayna berada di sisi lain ranjang, memastikan pasien tetap nyaman."Alirannya bagus. Tidak ada tanda kebocoran atau trombus. Jika stabil hingga besok, boleh mulai latihan pernapasan dan duduk lebi
Langit menghampiri Zayna dan Nadira yang tengah mengobrol.Nadira cukup terkejut dan langsung menyapa Langit. Zayna juga menyapa tetapi tidak seperti Nadira.“Selamat pagi dokter,” sapa Nadira.“Eh ada Dokter Langit,” kata Zayna.“Pagi-pagi sudah panas banget obrolannya. Ngobrolin apa kalian?!” tanya Dokter Langit dengan nada ramah tetapi tatapannya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.Nadira cuma cengengesan. Berbeda dengan Zayna yang malah menundukkan kedua matanya dan benaknya mulai mencari-cari topik apa yang cocok untuk diberikan kepada Dokter Langit.“Bukan apa-apa kok dokter. Iya kan Zayna?!” tanya Nadira.Zayna menoleh cepat ke Nadira.“Kalau jawab begitu, dokter Langit malah jadi semakin curiga Nad,” batin Zayna.“Lagi ngobrolin soal ke luar negeri,” jawab Zayna.“Begitu. Kirain ngobrolin soal surat hitam yang kemarin.”Zayna dan Nadira langsung saling pandang.Zayna tersipu malu dan mulai mengeluh.“Surat hitam apa dok?!” tanya Zayna.“Itu dari kamu kan Zayna? Aku tahu
"Hush, jangan sembarangan kalau bicara." Zayna sampai menyenggol lengan Nadira. Nadira menatap Zayna dengan sedikit kejengkelan di wajahnya dan lelah. Bagaimana tidak lelah, Nadira tahu betul temannya itu memang tipe yang tidak peka. Nadira pikir, Dokter Langit sudah cukup lama memendam perasaan pada Zayna tetapi karena Zayna bukan gadis yang mudah, seolah-olah Dokter Langit tidak punya jalan untuk mendekati Zayna. Nadira sempat mendengar rumor dulu ketika Zayna baru pertama kali masuk rumah sakit ini. Orang-orang mengatakan tatapan Dokter Langit pada Zayna berbeda. Ketika jam istirahat tiba, Nadira yang sedang datang bulan, memutuskan untuk menyerahkan surat dari Zayna kepada Zafran. Namun yang dia temukan malah orang lain. Namun Nadira bersyukur. Nadira tidak tahu apakah dia bisa menghadapi Zafran secara langsung atau tidak. "Permisi, bu," sapa Nadira pada wanita yang duduk di ruang tunggu itu. Wanita itu menoleh ke Nadira dan langsung berdiri. Anak disampin
Malam itu, Zayna tidak bisa berhenti gelisah. Namun ada perasaan bahagia. Tentu saja alasannya karena Zafran. Tak pernah Zayna sangka akan tiba dimana Zafran menanyakan perihal nomor Dokter Ardea. Bahkan jika dia sangat pemalu, sulit dipercaya melakukannya di hadapan teman-teman mereka. Bahkan ketika Zafran digoda, pria itu tidak memberika. reaksi apapun. Zayna sudah berkali-kali menenangkan diri tetapi hasilnya tetap saja. Zafran seperti terus-menerus menghantui pikirannya. Akhirnya Zayna memutuskan untuk menulis surat. Untuk Zafran, Assalamu'alaikum. Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama Saya Zayna. Seperti yang anda tahu, saya bekerja di rumah sakit tersebut sebagai dokter umum. Mungkin anda belum tahu ini tetapi saya adalah teman alias sahabatnya Raisa, tunangan teman anda, Bilal. Saya sempat melihat anda waktu itu. Bukan karena saya berniat memperhatikan, tapi karena pandangan saya—entah bagaimana—terhenti pada sosok anda. Se
Semua yang ada di meja makan menatap Zayna. “Maaf,” bisik Zayna seraya mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan mulutnya serta pakaiannya yang basah. Zayna juga mengelap meja yang basah. “Nggak perlu terkejut sampai seperti itu, nak,” ucap Ibunya Langit dengan nada rendah. Barangkali supaya Zayna lebih tenang. Tetapi mana mungkin Zayna bisa lebih tenang. Gadis itu menatap Langit meminta penjelasan. Zayna menjadi merasa seperti dijebak. Bagaimana tidak, ketika sebelumnya ibu Langit bicara soal calon istri, Langit tidak mengatakan apapun. Sekarang untuk yang kedua kalinya, Langit juga diam. Zayna tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun dia harus mengatakan yang sebenarnya meskipun mungkin akan melukai perasaan Ibunya Langit. “Maaf, tetapi saya bukan calon pasangan Dokter Langit. Saya cuma temannya. Dokter Langit sudah sering bantu saya dan dia mengajak saya ke rumahnya karena beliau pernah silaturahmi juga ke keluarga saya,” ucap Zayna ramah. Wajah ibu Langit langsung