LOGIN"Tapi kak, masa aku harus bilang ke Zafran soal saran Dokter Langit ini? Aku nggak mau ada masalah lagi diantara mereka," ucap Zayna. "Susah sih Za kalau begitu. Kecuali kalau kamu pindah rumah sakit. Kenapa nggak coba pindah rumah sakit selesai internship? Kamu sempat bilang mau ke Jerman. Zafran sudah sering kesana. Kenapa nggak coba les bahasa ke dia agar proses ujian bahasamu cepat selesai dan mengatur keberangkatan kesana?" tanya Maisha. Zayna terpaku. Jerman. Itu mimpi lamanya—mimpi yang ia tunda, mimpi yang terkubur di bawah tekanan hidup, pekerjaan, dan masalah keluarga. Namun, mendengar itu disebut lagi membuat dadanya bergetar kecil. “Tapi kak…” Zayna menatap rajutannya. “Nggak mungkin aku tiba-tiba ke Jerman sekarang. Aku bahkan belum ambil kursus lagi. Dan kalau aku ceritakan soal tawaran Dokter Langit ke Zafran, aku takut dia langsung konfrontasi.” Maisha menghela napas sabar. “Zafran memang tipe yang frontal. Tapi dia juga punya otak dan strategi, Za. Dia bukan an
Zayna terkejut, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar. Tunangan? Dengan Dokter Langit? Ini gila. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang seperti drum perang. "Dokter... aku... itu nggak—" Langit berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Kedua matanya seperti menunjukkan lawan bicaranya tidak boleh membantah. "Pikirkan, Zayna. Jangan biar emosi rusak karirmu. Besok kita bicara lagi. Sekarang, pulang dan istirahat. Fokus." Dia keluar ruangan, meninggalkan Zayna sendirian dengan pikiran kacau. Zayna duduk lama, tangannya gemetar memegang kalender dari Zafran. Tawaran Langit mengerikan—pura-pura tunangan? Untuk bersihkan nama? Menurutnya ini berlebihan dan jelas ini berbohong sementara Zayna selalu berusaha menjauhi kebohongan. Zayna belum sempat menolak dan memprotes tetapi Langit sudah pergi lebih dulu. Selain itu, Zayna berpikir kalau dia sampai dirumorkan bertunangan dengan Langit, bagaimana nanti ada perempuan yang mendekati Langit pasti mundur padahal pr
Zayna tiba di rumah dalam keadaan lelah fisik dan mental.Namun anehnya, setelah menutup pintu mobil, ia justru merasa hening yang menyergapnya terasa terlalu sunyi… terlalu kosong.Seolah percakapan barusan dengan Zafran masih bergema dan menempel di tubuhnya seperti panas sisa dari api yang belum benar-benar padam. Ia menatap kotak makan mahal itu. Dan entah kenapa… dada Zayna terasa sesak. “Kenapa kamu gini banget, Zafran…” Tanpa menunggu lebih lama, Zayna membawa kotak itu masuk ke kamar. Ia tidak membuka makanan mewah itu—bahkan tidak ada selera.Ia hanya mengganti baju, mencuci muka, dan duduk di kasur sambil menautkan jari-jari. Besok aku harus bereskan semuanya.Dengan kakak. Dengan dokter Langit. Dengan perasaanku sendiri. Pikiran itu membuatnya letih. Namun sebelum ia sempat memejamkan mata, ponselnya kembali berbunyi. Pesan dari: Nadira Za, aku lupa bilang. Tadi dokter Langit nyari kamu. Tapi dia kayak ragu-ragu banget mau dateng ke ruanganmu. Kamu ada apa sih sama
Zayna mencoba menyebutkan ciri-ciri Zafran dan perawat itu mengangguk dengan semangat atas pertanyaan yang dilontarkan Zayna. "Mengenal sekali sama dia, dokter," kata perawat itu. "Erna hentikan! Semoga dia nggak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit ini lagi. Sudah cukup!" tukas Zayna. Erna menyipitkan kedua matanya jahil, seolah berusaha keras menelusuri apa yang telah dialami Zayna selama ini. Dia telah mendengar dari para temannya mengenai seorang pemuda yang tampan luar biasa di rumah sakit ini hingga membuat gosip mengenai pemuda itu seolah tidak kunjung memudar. Erna tidak menyangka pemuda itu akan mengajaknya berbicara. Tetapi dia tahu alasan pemuda itu mengajaknya bicara karena Zayna. Sudah cukup terkenal dia dan Zayna bersahabat. Mereka juga sebelumnya seringkali ditugaskan bersama. Sekarang pemuda itu telah bertunangan dengan Zayna meskipun harapan ke depannya masih belum pasti. "Kadang-kadang sesuatu bisa jadi doa juga," kata Erna. "Maksudmu?!" tanya Zayna penuh
Zayna memutuskan untuk menyimpan cincin pertunangan dengan Zafran di kamarnya. "Nggak apa-apa kan abi umi kalau cincinnya dilepas?" tanya Zayna dengan menatap cincin itu. "Nggak apa-apa sayang. Senyamannya kamu saja. Lagi pula itu agar orang-orang di rumah sakit nggak tahu kalau kamu sudah bertunangan kan?" tanya Summayah. Zayna menganggukkan kepalanya. Jika Zafran melihatnya tidak pakai cincin pertunangannya, kemudian komplain, maka Zayna akan menegaskan bahwa itu juga bertujuan agar tidak ada yang tahu soal pertunangannya. Bahkan Zayna tidak tahu bagaimana cara memberitahu kakaknya terkait ini. Selain tidak punya keberanian, dia juga tidak mampu melakukannya. Namun Zayna mengerti kalau dia tidak bisa menunda lagi untuk kasih tahu kakaknya akrena kalau sampai kakaknya tahu sendiri dari orang tuanya bukannya diberti tahu mereka dulu, kakaknya mungkin akan sangat marah. "Abi, umi, bisakah kalian ngomong ke Kak Maisha soal ini? Aku khawatir dengan reaksinya," ucap Zayna. Hadi dan
"Apakah aku perlu memakainya?!" tanya Zayna lirih seraya menatap cincin yang sangat indah itu. "Harus!" ajwab Zafran dingin dan menatap ke jari-jari Zayna. Jari-jari Zayna lentik dan kecil. Zafran segera panik khawatir cincinnya kebesaran. Jika itu terjadi, dia akan langsung pergi ke toko perhiasan itu lagi untuk menukar cincinnya. "Tolong terima, nak Zayna," tukas Hafsah ramah dan mengulurkan tangannya kepada Zayna bermaksud meminta tangan Zayna untuk dipakaian cincin. Dengan gerakan perlahan dan lembut, Zayna menggerakkan tangan kirinya ke Hafsah. Hafsah dibantu Arsela berdiri dan mendekat ke Zayna. Zafran juga mendekat ke Zayna. Segera saja, mereka menyaksikan bagaimana cincin yang dibeli Zafran untuk Zayna akhirnya terpasang ke jari manis Zayna. Zafran terpaku. Dia bertanya-tanya apakah dia sedang bermimpi. Arsela melirik ke Zafran ketika merasakan keponakannya itu seperti tercekat. Kedua mata Zafran berkaca-kaca hingga Zayna yang melirik ke pria it







