LOGINMatahari bersinar ramah di atas atap rumah Zayna, memantulkan cahaya keemasan pada pot-pot bunga anggrek di teras. Hari itu adalah hari libur, dan Zayna sedang asyik menyelesaikan sebuah sulaman kain kafa untuk acara pengajian, ketika langkah riang terdengar mendekat.“Zayna! Assalamu’alaikum!”Zayna menoleh, dan senyum langsung merekah di wajahnya. “Raisa! Wa’alaikumsalam, ayo masuk!”Raisa, teman kecilnya yang selalu penuh energi, melangkah masuk dengan membawa sekantung kecil berisi kue. Wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang nyaris memancar. “Gak nyangka ya, aku nemuin kamu di rumah. Lagi libur?”“Iya, alhamdulillah. Sekolah libur,” jawab Zayna sambil menyambut tamunya. Mereka duduk di kursi rotan teras, ditemani teh hangat dan kue buatan Raisa.“Aku ke sini mau ngajak kamu jalan bentar,” ucap Raisa, matanya berbinar. “Ke butik langgananku. Aku mau fitting lagi baju pengantin, trus mau lihat-lihat beberapa kebutuhan lain untuk kamar. Bantuin aku milih-milih, dong! Kepalaku puye
Subuh masih jauh, tetapi langit sudah mulai kehilangan pekatnya yang paling gelap, berganti dengan warna biru keabu-abuan yang samar.Kota perlahan-lahan mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan—sebuah truk sampah melintas di ujung jalan, lampu-lampu di beberapa jendela mulai menyala.Zayna dan Zafran masih berdiri di trotoar yang sama. Udara antara mereka telah berubah; masih ada sisa-sisa kepedihan dan air mata, tetapi sekarang bercampur dengan sesuatu yang baru: pengakuan.Pengakuan yang janggal, tidak sempurna, tetapi nyata.“Kita tidak bisa terus berdiri di sini,” ucap Zafran akhirnya, suaranya kembali ke nada datarnya yang biasa, meski sedikit lebih lembut. “Kamu akan masuk angin.”“Kamu juga,” balas Zayna, masih membungkus diri dengan jaket Zafran. Aromanya memberikan rasa tenang yang aneh, sebuah pengakuan indrawi bahwa dia tidak sendirian.“Saya kuat,” jawab Zafran sederhana. Bukan sombong, hanya pernyataan fakta. “Tapi kamu menggigil.”Dia benar. Dingin malam yang basah mulai
Kota itu tertidur di bawah selimut malam, tapi Zayna berjalan dengan langkah-langkah yang memecah kesunyian. Jalanan sepi, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang keemasan, menciptakan pulau-pulau terang di antara lautan bayangan. Angin malam berhembus, membelai kerudungnya yang berkibar pelan, seperti tangan yang tak tega melihatnya pergi.Zafran melihatnya dari kejauhan—siluet yang tegak namun gemetar, seperti batang bambu yang dilanda angin kencang.Nafasnya tertahan di dada. Dia tidak pernah mengejar siapa pun dalam hidupnya. Prinsipnya jelas: biarkan segala sesuatu mengalir sesuai takdir. Tapi malam ini, kakinya bergerak sebelum pikirannya memberi perizinan."Zayna."Suaranya rendah, terbawa angin, tapi cukup untuk membuat langkahnya terhenti. Zayna tidak menoleh. Bahunya naik turun dengan cepat, dan Zafran tahu—dia menangis. Sesuatu di dadanya terasa sesak, sensasi asing yang tidak bisa dia identifikasi."Tolong," bisik Zayna, suaranya parau dan pecah. "Pulanglah, Zafra
Ketika akan pulang, Zayna mengembalikan cincin ke Dokter Langit. "Dokter, aku kembalikan saja. Aku merasa ini salah. Tak seharusnya kita seperti ini," kata Zayna lirih seraya mengulurkan cincin itu. "Apakah kamu paham konsekuensinya dari melepaskan cincin itu? Orang-orang akan berpikir kenapa kamu melepaskan cincin tersebut. Sudahlah. Lupakan soal rumor pertunangan kita, anggap saja cincin itu sebagai cincin biasa, untukmu saja lagipula aku tidak membutuhkannya," ucap Dokter Langit lalu melanjutkan menulis laporan. Zayna menaruh cincin tersebut di meja. "Tolong dokter, aku tidak mau. Aku merasa terbebani sekali dengan memakai cincin ini. Aku malah tidak bisa bersikap profesional kalau seperti ini," ucap Zayna. Tanpa menunggu balasan dokter Langit, Zayna mengucapkan salam dan pamit pulang. Dokter Langit menatap punggung Zayna yang menjauh. Sesampainya di rumah, Zayna terpaku pada sebuah mobil yang familiar. Itu adalah mobil Zafran. Terbesit rasa bersalah di dada Zayna. Zayna
Zayna berdiri di koridor rumah sakit yang mulai sepi, cahaya lampu neon memantul dingin di dinding putih, membuat bayangannya terlihat lebih panjang dan lelah. Shift malam baru saja berakhir, tapi rumor-rumor itu seperti api yang tak kunjung padam—malah semakin menjadi-jadi. Awalnya, bisik-bisik perawat tentang "pria misterius yang sering datang ke ruang Dokter Zayna" terasa seperti hembusan angin. Tapi sekarang? Sudah seperti badai. Zayna juga tidak tahu siapa yang mengatakan kepada orang-orang di rumah sakit ini tentang Zafran adalah calon tunangan kakaknya. Kalau itu Erna dan Nadira, dia benar-benar tidak menyangka dan sangat kcewa pada mereka. Tetapi mereka tidak mengakui dengan tegas. Kalau bukan mereka, siapa lagi? "Dia pasti lagi deket sama Zafran, mantan tunangan kakaknya. Wah, keluarga mereka aneh banget," kata seorang perawat senior tadi pagi, suaranya cukup keras untuk didengar rekan-rekan lain. Rumor bukan mereda—malah membengkak seperti luka yang terinfeksi, meng
Zayna tidak bisa cerita ke teman-temannya perihal saran dari Dokter Langit karena dia sudah memperkenalkan dokter Langit kepada teman-temannya sebagai sosok pria ideal yang diharapkan banyak wanita. Jadi Zayna cuma kasih tahu ke teman-temannya kalau dia sudah bertunangan dengan Zafran. Jelas itu sangat mengejutkan teman-temannya. "Hah? Za, kenapa baru bilang kalau kamu sudah tunangan dan kenapa nggak kabar-kabar dulu sebelum tunangan? kamu sebenarnya anggap kami teman atau bukan?" tanya Raisa tidak terima."Tidak ada yang salah dengan keputusan Zayna. Jika aku bertunangan, aku juga pikir-pikir dulu kasih tahu kalaian atau tidak. Karena kalau kasih tahu, pastinya aku harus undang kalian juga kan?" tanya Alisha. "Kenapa begitu kan kita berteman jadi yang enggak wajar kalau nggak kabar-kabar dulu kan?' tanya Ira. "Meskipun nggak ngundang tetap harus kabar-kabar dulu karena kita sebagai teman pasti pengertian harusnya, kita tetap datang tanpa merepotkan," tukas Raisa. "Kenapa kalian







