"Apa aku boleh tinggal di sini? Aku diusir dari kontrakan karena sudah tiga bulan belum bayar," jawab Irna. Memang selama ini Irna tinggal di kontrakan, dan setahu Felys sahabatnya itu bekerja di restoran. Entah sekarang masih iya atau tidak, karena sudah lama mereka tidak bertemu.
***"Aku nggak salah denger, Irna datang dan meminta untuk tinggal di sini. Ke mana urat malunya, setelah menikah diam-diam dengan mas Abram. Dan sekarang tanpa rasa berdosa datang untuk tinggal di sini, mungkin lebih tepatnya numpang." Felys membatin. "Tapi sepertinya nggak ada salahnya aku terima, dengan seperti ini aku lebih mudah untuk menjebak mereka. Irna, Irna, kamu datang ke tempat yang salah, terlalu nekat untuk datang ke kandang macan." Felys kembali membatin. "Felys, bagaimana." Suara Irna mampu membuyarkan lamunan Felys. "Oh, tentu saja boleh, ayo masuk." Felys mempersilahkan Irna untuk masuk ke dalam. "Sayang tu .... " Abram menghentikan ucapan serta langkahnya saat melihat istrinya kembali ke dalam dengan seorang perempuan yang mungkin akan menghancurkan hidupnya. "Irna, kamu benar-benar nekat datang ke sini," batin Abram. Mendadak otaknya kacau, entah apa yang akan terjadi jika sampai Felys tahu yang sebenarnya. Mungkin Abram akan langsung ditendang dari rumah. "Mampus kau, Mas. Mungkin sekarang kamu merasa panik, tapi aku yakin. Di belakang nanti, kalian pasti akan merasa puas karena bisa bertemu," batin Felys, ia memperhatikan suaminya yang terus mencuri pandang dengan Irna. Sejujurnya Felys jijik melihat itu semua, tetapi demi mendapatkan bukti yang kuat, ia juga harus kuat dan tegar menghadapinya. "Sayang, Irna katanya mau tinggal di sini beberapa hari, boleh kan." Felys berjalan menghampiri suaminya, bahkan ia sengaja menunjukkan sikap manjanya. Tentu saja aksi Felys membuat hati Irna terbakar. "Ah, apa ... iya, tentu saja boleh, dan itu terserah kamu saja." Abram gelapan sendiri saat mendengar ucapan istrinya, bahkan lelaki itu sampai salah tingkah akibat saking gugupnya. "Terima kasih ya, Sayang." Felys mencium pipi Abram, sembari melirik ke arah Irna. "Irna tunggu sebentar ya." Felys berlalu meninggalkan ruang tengah, membiarkan dua penghianat itu bernapas sejenak. Sementara itu, Felys memanggil bi Jum asisten rumah tangganya untuk menyiapkan kamar tamu. "Bi, bisa tolong beresin kamar tamu nggak," ujar Felys seraya berjalan menghampiri bi Jum di dapur. "Bisa, Nyonya." Dengan segera bi Jum melangkah menuju kamar tamu, dan langsung melakukan tugasnya itu. Sementara Felys bergerak menuju kamarnya sendiri untuk mengambil sesuatu yang ia butuhkan. Sepuluh menit kemudian Felys kembali lagi ke lantai bawah. Bahkan wanita itu kini sudah berada di kamar tamu, di mana nantinya akan digunakan untuk menginap Irna. Bi Jum sedikit heran saat melihat majikannya menaruh sesuatu di atas pintu. "Untung aku pernah menyiapkan ini, niatnya mau aku taruh di rumah mama. Tapi rasanya itu tidak mungkin, eh nggak tahunnya mangsanya nyamperin sendiri," ujar Felys seraya menaruh alat perekam yang ukurannya kecil di atas pintu. "Itu untuk apa, Nya?" tanya bi Jum. "Untuk nangkap maling, Bi." Felys menoleh sekilas, lalu turun dari atas kursi. Sementara itu bi Jum hanya mengangguk. ***Hari telah berganti, semalam masih aman, bahkan Felys tidak mendapati suaminya keluar dari kamar saat malam hari. Dan pagi ini kebetulan hari minggu, Felys berencana untuk pergi ke luar, ia sengaja meninggalkan suaminya di rumah bersama dengan istri mudanya. Felys sengaja melakukan itu, untuk menjebak mereka. Karena sudah dapat dipastikan kedua penghianat itu pasti akan mencuri wanita untuk bertemu, dan saling melepas rindu. Maklum pengantin baru tapi jarang ketemu. "Kamu mau ke mana pagi-pagi udah rapi begini?" tanya Abram. Saat ini Felys sedang duduk di depan meja rias untuk menyempurnakan penampilannya. "Mau ke butik, Mas. Hari minggu seperti ini biasanya rame," jawab Felys, sementara Abram hanya mengangguk. "Oya, ATM milik .... ""Aku pinjem ya, nanti sekalian mau belanja bulanan. Jangan protes, kalau pelit sama istri nanti kuburannya jadi sempit." Felys memotong ucapan suaminya. Seketika Abram memilih untuk diam, karena jujur ia sedikit takut jika berhadapan dengan Felys. "Ya sudah, aku pergi sekarang ya, kalau mau sarapan tinggal bilang sama bi Jum." Felys mencium punggung tangan suaminya, setelah itu ia bergegas keluar dari kamarnya. Sementara itu, Abram hanya bisa pasrah saat kartu ATM miliknya dibawa oleh istrinya. Setelah memastikan Felys benar-benar pergi, Abram bergegas turun ke bawah. Bahkan lelaki itu langsung masuk ke dalam kamar tamu, tempat Irna menginap. Melihat Abram datang, Irna cukup terkejut, tetapi ia juga kesal karena semalam Abram mengabaikan dirinya. "Kenapa semalam nggak ke sini, malah enak-enak sama Felys. Aku juga istrimu loh, Mas." Irna protes lantaran semalam Abram tidak menemuinya. "Sayang aku minta maaf, bukannya aku tidak mau, tapi kamu kan baru datang ke sini. Nanti Felys bisa curiga," ujar Abram seraya menangkup pipi Irna dengan kedua telapak tangannya. "Ok, aku maafin. Oya rumahnya bagaimana, katanya mau beliin rumah, tapi kok cuma janji doang." Irna menagih janji Abram yang katanya mau membelikan dirinya rumah. "Maaf ya, untuk saat ini aku belum bisa. Tapi aku janji setelah menemukan yang sesuai pasti nanti aku beliin," ujar Abram. Sebisa mungkin ia membujuk Irna agar tidak marah, bahkan istri mudanya itu tidak boleh tahu jika uang yang untuk membeli rumah sekarang di tangan Felys. "Beneran loh, awas aja kalau bohong. Aku akan menyingkirkan Felys dengan caraku sendiri, agar aku bisa menguasai rumah ini," sahut Irna, mendengar itu Abram terdiam sejenak. Entah kenapa ia merasa tidak setuju dengan ide dari Irna yang hampir sama dengan rencana ibunya, yaitu menyingkirkan Felys. Setelah itu Irna memeluk tubuh Abram, beberapa hari tidak bertemu membuatnya sangat rindu. Awalnya Abram hanya diam, tetapi Irna sangat pandai untuk membuat lelaki itu merespon apa yang ia inginkan. Tanpa mereka sadari, semua ucapan dan perbuatan kedua penghianat itu telah terekam. Dengan begitu Felys akan mudah untuk menghancurkan mereka.Setelah itu Irna memeluk tubuh Abram, beberapa hari tidak bertemu membuatnya sangat rindu. Awalnya Abram hanya diam, tetapi Irna sangat pandai untuk membuat lelaki itu merespon apa yang ia inginkan. Tanpa mereka sadari, semua ucapan dan perbuatan kedua penghianat itu telah terekam. Dengan begitu Felys akan mudah untuk menghancurkan mereka. ***Di lain tempat saat ini Felys sedang menunggu kedatangan Vino. Sepupunya itu mengatakan jika surat yang ia urus sudah jadi. Mobil dan butik sudah berpindah menjadi atas nama Felys, setelah ini ia tinggal menjualnya, dan uangnya akan Felys pakai untuk disumbangkan kepada orang yang lebih membutuhkan. "Sorry, di jalan macet." Vino menjatuhkan bobotnya di kursi, sementara Felys hanya mengangguk seraya mengaduk-aduk minuman yang ada di hadapannya itu. Entah kenapa hatinya terasa sangat sakit, terlebih mengingat jika saat ini suaminya sedang bersama istri mudanya itu. "Iya, nggak apa-apa kok," ujar Felys. "Gimana udah jadi.""Udah, silahkan kamu p
"Kamu wanita terhebat yang pernah aku temui," batin Vino, ia benar-benar salut dengan ketegaran hati sepupunya itu. ***"Kamu simpan baik-baik flashdisk ini, karena semua bukti kejahatan ibu mertuamu ada di sini." Vino menyerahkan flashdisk tersebut, dengan segera Felys menerimanya. Ia berjanji akan membuat hancur keluarga suaminya itu. "Ya sudah aku pulang sekarang ya, kalau aku terlalu lama pergi, keenakan mereka di rumah," ujar Felys seraya bangkit dari duduknya. "Iya, kalau butuh bantuan langsung telpon saja," paparnya. Sementara itu Felys hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak keluar dari rumah Vino. Dalam perjalanan pikiran Felys menjadi kacau, ia tidak pernah menyangka jika kematian kedua orang tuanya karena sudah direncanakan oleh ibu mertuanya sendiri. Kini Felys paham, kenapa ibu mertuanya selalu bersikap dingin dan bahkan hubungan mereka tidak pernah akur. Satu jam lebih dalam perjalanan, kini Felys sudah tiba di rumah. Ia menarik napas, setelah itu Felys melangkahk
"Iya aku tahu, dan aku sudah dapat persetujuan dari kamu kok. Ingat kan semalam kamu udah tanda tangan." Felys memotong ucapan suaminya. Seketika Abram menepuk jidatnya saat teringat jika tadi malam Felys sempat meminta tanda tangan darinya, dan tanpa bertanya Abram langsung menanda tanganinya. ***Abram menjatuhkan bobotnya di sofa, lalu mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku memang bodoh, bisa-bisanya aku tertipu."Felys menghela napas. "Ya sudah mau ke kantor apa nggak, Mas."Abram menoleh istrinya. "Aku boleh pinjam mobil kamu.""Boleh, kita berangkat bareng aja ya, soalnya hari ini aku mau ikut kerja," ucap Felys, mendengar itu Abram sedikit terkejut. Karena selama ini istrinya itu selalu diam dan duduk di rumah, tapi kenapa sekarang mendadak ingin ikut bekerja. "Kamu mau ikut kerja?" tanya Abram tak percaya, pasalnya selama ini Felys tidak pernah mau ke kantor. Paling jika ada keperluan saja. "Iya, memangnya kenapa? Sebentar ya, aku siap-siap dulu." Felys beranjak naik ke lanta
Setelah mereka pergi, Felys tiba-tiba memegangi kepalanya yang terasa pusing. Sedetik kemudian, tubuh Felys ambruk ke lantai, bi Jum yang melihat itu segera berlari menghampiri majikannya itu. ***Dua puluh menit kemudian, Felys mulai mengerjapkan matanya. Perlahan kelopak matanya terbuka sempurna, pertama orang yang dilihat adalah Vino. Sedetik kemudian Felys baru ingat jika ia sempat merasa pusing. "Kamu sudah bangun, gimana masih pusing nggak?" tanya Vino, sementara itu Felys hanya menggeleng, setelah itu ia bangkit dan duduk seraya menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. "Udah mendingan, kamu udah lama?" tanya Felys. "Lumayan, pas aku ke sini bi Jum lagi panik lihat kamu tiba-tiba pingsan." Vino menjelaskan, sementara Felys masih diam. Felys memijit pelipisnya lalu mengusap wajahnya. "Akhir-akhir ini badan aku nggak enak, terus kalau pagi suka mual sama pusing.""Kamu ingin tahu jawabannya?" tanya Vino, sementara Felys hanya mengangguk sebagai jawabannya. "Kamu sedang
"Nanti mama juga akan tahu sendiri, dan satu lagi, kalau sertifikat rumah ini masih atas namaku. Jadi siap-siap saja kalian angkat kaki dari rumah ini. Dan untuk kamu, Mas jika memang kamu tidak mau menceraikanku, maka aku sendiri yang akan menggugat cerai kamu." Setelah mengatakan itu Felys memilih untuk keluar dari rumah tersebut. Selangkah lagi ia akan menang, dan para penghianat itu akan hancur. ***Abram mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku memang laki-laki yang tidak berguna, kenapa juga aku harus menuruti keinginan mama. Pelan tapi pasti, aku akan kehilangan Felys, walaupun pernikahan kami karena terpaksa, tapi aku terlanjur nyaman bersama dengan Felys.""Mas kamu bisa diam nggak sih, aku bosen denger kamu nyebut nama Felys terus," ujar Irna yang sangat kesal dengan sikap suaminya. Abram seperti sudah tergila-gila dengan Felys, dan hal tersebut yang membuat Irna bertambah cemburu. "Sudah, kalian tidak perlu bertengkar, sekarang kita berpikir untuk bisa menyingkirkan Felys. La
"Vino barusan telepon, katanya calon pembeli rumahnya sudah ada, dan katanya hari ini dia ingin melihatnya," jawab Felys, mendengar itu seketika Abram terkejut. Itu artinya Felys tidak main-main dengan ucapannya. ***"Jadi kamu benar-benar ingin menjual rumah yang kini ditempati oleh mama?" tanya Abram. Ia tidak tahu harus tinggal di mana jika rumah itu benar-benar Felys jual. Karena hanya rumah itu satu-satunya yang ibunya miliki, memang Felys lah yang membelinya dulu. "Iya, Mas. Memangnya kenapa." Felys menatap lelaki yang ada di hadapannya itu. Terlihat jika suaminya sangat keberatan jika rumah itu sampai dijual. Namun, Felys terlanjur sakit hati dan kecewa, dan mungkin semua itu belum cukup. "Kamu tega, kalau rumah itu dijual, kami mau tinggal di mana," ujar Abram, berharap istrinya mau berubah pikiran. Namun sepertinya itu tidak mungkin, karena Abram tahu betapa kecewanya Felys. Mendengar itu Felys menatap tajam suaminya, apakah pantas Abram mengucapkan semua itu. Bukankah me
"Felys maafkan aku, aku benar-benar terpaksa melakukan ini. Karena aku tidak ingin kamu disakiti oleh Irna ataupun mama." Abram membatin, sementara Felys masih diam. ***"Terima kasih, Mas." Felys mengangguk, walaupun dalam hatinya terasa ada yang sakit. Seharusnya Felys bahagia karena keinginan untuk berpisah telah terwujud, tanpa harus bersusah payah mengurusnya. "Walaupun kita bercerai, tapi aku mohon jangan ada benci di antara kita, meski aku tahu kalau kamu kecewa atas apa yang sudah aku lakukan," ungkap Abram. Rasanya ia tidak sanggup untuk melepaskan Felys. "Iya, Mas." Felys mengangguk. Sebisa mungkin ia bersikap tenang, bahkan cairan bening yang hendak meluncur ia tahan. Felys tidak boleh terlihat sedih di hadapan Abram. "Ya sudah, kalau begitu aku pamit. Aku yakin kamu pasti akan bahagia," ujar Abram, ingin rasanya ia memeluk tubuh Felys untuk yang terakhir kali, tapi itu tidak mungkin. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan," sahut Felys. Setelah itu Abram bangkit dan beranjak k
"Felys hamil, ini tidak bisa dibiarkan. Itu pasti anak mas Abram, akan sangat berbahaya jika mas Abram sampai tahu jika Felys mengandung anaknya." Irna membatin, ia harus mencari cara untuk menyingkirkan Felys. Dan mungkin rencana untuk mengambil semua harta milik Felys akan Irna laksanakan secepatnya. ***"Apa mungkin Felys hamil, tapi kenapa .... " "Udah, Mas ayo buruan pulang. Ngga usah mikirin mantan." Irna menarik tangan Abram keluar dari rumah sakit. Abram hanya menurut, tapi setelah ini ia akan menyelidikinya, bahkan untuk menyelidiki Irna saja belum diketahui sampai saat ini, rahasia apa yang istrinya itu sembunyikan. Dari kejauhan Vino melihat Abram dan Irna masuk ke dalam mobilnya. Tiba-tiba ia teringat dengan Felys, karena khawatir dengan cepat Vino turun dan beranjak masuk ke dalam. Vino mengedarkan pandangannya mencari sosok Felys, setelah ketemu ia bergegas menghampirinya. "Lys, tadi aku lihat Abram sama Irna. Mereka nggak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya Vino seraya m