Mas Heru tau dengan cepat, dimana aku berada. Siang itu, dia menjemputku ke rumah Nia. Karena aku tidak mau menimbulkan keributan di rumah Nia, aku mengalah dan pulang bersama Mas Heru.
Nia memberiku semangat. Aku sudah banyak bercerita pada Nia sejak pagi. Aku yakin, Nia akan membantuku dalam hal ini.
Ya, aku ingin berpisah dari Mas Heru. Dan kupercayakan Nia untuk mengurus perceraianku. Dia Kuasa Hukum yang sangat tepat untukku.
"Winda... Jangan bertingkah seperti anak-anak. Ada masalah sedikit langsung minggat," ucap Mas Heru dengan nada kasar padaku.
Entah apa yang akhirnya membuat Mas Heru berubah seperti ini. Dulu dia bahkan tak pernah meninggikan suaranya padaku.
"Sedikit kamu bilang, Mas? Hah...memang laki-laki itu maunya enak sendiri. Mikirin dirinya sendiri, mikirin perasaan sendiri." ucapku dengan nada berteriak.
Di dalam mobil itu kami terus bertengkar selama perjalanan ke rumah. Aku dengan emosi terus saja menjawab s
Aku sudah mengemasi semua barang-barang Mas Heru yang ada di dalam kamar. Kumasukkan pakaiannya ke dalam koper dan beberapa barang lagi ke dalam kardus-kardus kecil. Sebelum dia datang lagi, aku sudah meletakkan semua itu di kursi teras. Agar ia tak perlu lagi menginjakkan kaki ke dalam rumah peninggalan orang tuaku ini. Pasti saat ini orang tuaku sangat terluka karena perbuatan Mas Heru padaku. Dan aku, kemana aku harus mengadu? Keluarga ayahku tinggal jauh dan berbeda negara. Lagi pula, aku tidak sedekat itu dengan mereka. Sementara dari pihak ibuku sudah tidak ada sama sekali yang tertinggal. Ibuku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. "Hallo, Beb. Apa semua sudah siap? Kapan kamu akan mengirimkannya?" tanyaku beruntun pada Nia melalui sambungan telepon. "Iya, ini sedang di proses. Sabar ya. Mudah-mudahan sore ini beres semuanya. Pagi besok udah aku kirim langsung ke ruangannya di Kantor. Bersiaplah, Win," jawab Nia dengan nada sedikit kh
Seminggu sudah aku lalui tanpa gangguan Mas Heru. Entah mengapa, meskipun ia tak menggangguku beberapa hari ini, aku merasakan kecemasan yang tidak biasanya aku rasakan sebelumnya. Dan kebetulan, hari ini sidang pertama kami di pengadilan agama. Aku sudah bersiap-siap untuk pergi. Setelah membuka butik, aku berpesan pada seluruh karyawan agar terus waspada. Aku juga berpesan, jika Mas Heru datang dan membuat keributan, segera menelponku. Atau laporkan pada polisi jika memang sangat membahayakan. Aku menjemput Nia di rumahnya. Karena memang, Nia lah pengacaraku dalam kasus perceraian ini. Ferdi turut serta menemaniku dengan mengatakan akan datang menyusul setelah selesai mengantarkan berkas penting ke Kantor Dinas Perlindungan Anak. Kebetulan, Ferdi sedang membantu pihak terkait dalam mengurus kasus kekerasan pada anak di bawah umur. Aku dan Nia terlebih dahulu memasuki ruang persidangan. Nia duduk di sampingku. Dan tak lama kemudian Ferdi masuk ke dal
Setelah mengantarkanku, lalu Ferdi mengantarkan Nia pulang. Meski awalnya, Nia berniat dan menawarkan diri untuk menamaniku di rumah. Tapi, aku menolaknya secara halus. Saat ini, yang aku butuhkan hanyalah sebuah ketenangan. Sidang pertama tadi membuat otak dan tubuhku sangat lelah. Aku tidak sabar lagi untuk membaringkan tubuh di atas ranjang empukku. [Kak, tolong jangan menyalahkanku atas semua yang telah terjadi. Mas Heru lah yang menawarkan diri padaku. Aku sama sekali tidak pernah menggodanya!] Sebuah pesan masuk ke ponselku, saat aku baru saja akan memejamkan mata. Ranisa, nama pengirim pesan itu. Tentu saja, siapa lagi jika bukan dia. Pelakor yang telah merusak rumah tanggaku. [Kamu juga sangat bersalah, Ranisa. Sejak awal kamu sudah tau bahwa dia adalah suamiku. Kenapa kau masih mencoba menyelamatkan diri sendiri, pelakor?] aku membalas dengan tersenyum happy karena pasti dia tak terima aku panggil pelakor. [Aku buk
"Aku sudah di depan, bisa kau buka pagarnya?" tanya Ferdi saat teleponnya aku angkat. "Ba-baik." jawabku ragu-ragu karena sedikit takut untuk keluar dari kamar. "Jangan takut. Sudah ada aku di sini, okey?" "Oke. Jangan matikan telponnya. Biarkan aku tetap mendengar suaramu." pintaku sambil memutar kunci pintu dan menarik kenopnya perlahan. Aku berjalan menyusuri lorong rumah dengan langkah cepat. Lampu-lampu menyala otomatis saat aku berada di ruangan itu. Dengan sedikit berlari aku menuruni anak tangga. "Jangan berlari, jalan saja dengan santai. Jangan sampai kamu jatuh terguling dari tangga," titah Ferdi seolah bisa tau bahwa saat ini aku sedang menuruni anak tangga. "Ya, aku sudah di bawah. Aku akan membuka pintu sebentar lagi. Aku lupa dimana meletakkan remot pagar," jawabku sambil berusaha mencari-cari dimana terakhir aku meletakkan remot pagarku itu. Aku sempat berpikir, jika pagarku saja menggunakan remot khusus, b
Hari ini adalah sidang ke 3 dari kasus perceraianku dan Mas Heru. Tidak disangka, sebulan telah berlalu. Meski selalu diberikan surat panggilan dari pengadilan, Mas Heru tidak pernah hadir sekali pun. Setelah beberapa teror yang aku terima, sementara waktu aku tinggal di rumah Nia dan dilengkapi dengan cctv dan beberapa orang aparat yang menjaga sekeliling rumah itu. Saat kami bepergianmu, dua orang tentara selalu mengawasi kami dari jarak dekat dengan berpakaian casual. Sehingga, orang-orang yang melihat tidak akan mengira bahwa aku dan Nia sedang dijaga ketat. Kali ini aku ke pengadilan sendirian, karena Nia ada urusan yang harus dia kerjakan. Setelah mengantarkan Nia, aku segera menuju ke gedung pengadilan agama. "Apakah Saudara Heru tidak hadir?" tanya Jaksa yang bertugas. "Tidak, Saya sebagai Pengacara yang ditunjuk akan mewakili klien." ucap Pengacara Mas Heru sambil berdiri. "Baik, karena pasangan ini tidak mencapai kesepakatan
Sebulan sudah setelah aku resmi bercerai dengan Mas Heru. Terus terang aku katakan, masih sulit bagiku menghapus bayang-bayang dirinya di dalam ingatanku. Mungkin, aku bebas sekarang. Sudah tidak harus menderita karena telah dibohongi dan dikhianati. Tapi, di satu sisi aku juga merasa sangat kehilangan. Setelah kepergian kedua orang tuaku, Mas Heru lah yang menjadi tempat sandaranku. Kini, dia pun telah pergi. Karena aku yang mengusirnya dari hidupku. Kesalahannya sunggu tak dapat aku maafkan. Biarlah, akan aku coba menata hati perlahan-lahan. Membiasakan diri. Dan sepertinya, satu bulan ini dia tidak pernah lagi datang mengusikku. Tidak ada lagi teror meneror yang seperti saat itu dia lakukan. Aku bersyukur karena hal itu. Karena sekarang aku bisa tinggal dengan akan dan nyaman di rumah peninggalan orang tuaku. Semua harta benda yang pernah aku beli bersamanya selama masa pernikahan, telah aku lelang. Bagiannya aku transfer ke rekeningnya. Dan bagianku
"Win, dia nggak ada ganggu kamu kan hari ini?" tanya Ferdi setelah kami selesai makan siang bersama di butik ku. "Tidak. Mana berani lagi dia. Ada kalian yang selalu menjagaku, takutlah dia. Cuma, barusan istrinya telpon aku," jawabku dengan jujur. "Ngapain lagi pelakor itu nelpon-nelpon kamu?" tanya Nia sedikit emosi. "Lucu sekali gundiknya itu, dan cukup tebal muka juga dia. Dia meminta aku mengirimkan uang pada Heru." "Apa? Tidak salah? Apa dia sudah gila? Aku rasa, dia benar-benar perlu test kejiwaan!" Aku hanya bisa tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Nia. Aku memang sudah lelah menghadapi masalah yang tak pernah ada habisnya ini. Jadi, setelah kupikir-pikir lagi, biarlah mereka menjalani hidupnya sendiri. Sebab itu aku menjual semua barang yang pernah aku beli saat bersama Mas Heru. Meski hatiku sakit, masih tersisa sedikit jiwa kemanusiaan di dalam diriku sebagai seorang wanita. Meski aku belum pernah hamil dan mel
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam saat Winda baru menutup pintu kaca butiknya dari luar dan menggemboknya. Para karyawan sudah lebih dulu pulang jam 10 tadi. Karena tadi siang butik tutup agak lama karena kedatangan Ferdi dan Nia, maka Winda dan karyawannya harus lembur untuk membereskan isi butiknya setelah kedatangan beberapa pelanggan yang berbelanja. Setelah semua karyawannya pulang, Winda masih harus melihat lagi stok barang keluar dan sisanya. Serta mencocokkan uang masuk dengan item barang yang keluar. Karena itu, Winda tinggal lebih lama di butik setelah semua karyawannya pulang. Saat masuk ke dalam mobil, dari kaca spionnya Winda dapat melihat seorang dengan jaket tebal berwarna hitam, topi hitam, masker hitam, dan juga kacamata hitam sedang berdiri di belakang mobilnya. "Siapa orang yang berdiri di belakang mobilku itu?" lirih Winda sambil terus melirik ke kaca spion. Winda bergegas menyalakan mesin mobilnya, tapi tidak bisa bergerak. Kar