Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Hanan dan Cantika. Hanya menu sederhana saja hari ini yang bisa aku buat, karena ternyata stok di kulkas tidak mencukupi lagi untuk membuat bubur ayam favorite Mas Hanan dan Cantika. Jadilah pagi ini aku hanya membuat nasi goreng spesial ala-ala cheff rumahan. Di rumahku sudah ada seorang asisten rumah tangga yang mulai bekerja seminggu yang lalu. Dia adalah ibu-ibu yang aku temui sedang mendorong gerobak menjajakan pisang yang ternyata juga punya orang lain. Hanya demi bisa membeli beras hari itu, ia rela berpanas-panasan berkeliling menjualkan pisang milik tetangganya. Menurut ibu itu, jika laki 1 sisir, maka ia akan mendapat 5 ribu rupiah sebagai untungnya. Sementara sejak pagi, baru laku 2 sisir. Untuk membeli sekilo beras saja belum cukup. Apalagi membeli telor sebagai lauknya makan. Di rumah ada dua orang anaknya yang sedang menunggu dengan perut lapar karena sudah sejak semalam belum makan nasi. Ha
Pov AuthorWaktu begitu cepat berlalu, dan saat ini di dalam ruangan bersalin Winda sedang berjuang untuk melahirkan anak keduanya. Winda baru masuk sekitar 15 menit yang lalu. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan saat ia melahirkan anak pertamanya dulu. Anak kedua ini lebih di permudah prosesnya. Winda ditemani oleh Hanan di dalam ruangan. Sementara itu, di luar sudah menunggu Mami Mery, Diana, Cantika, Jason, Nia, dan juga Ferdi. Anak mereka titipkan pada orang tua Ferdi."Oma, apa Bunda baik-baik aja?" tanya Cantika sambil memeluk Mami Mery."Iya, Sayang. Bunda baik-baik aja kok di dalam. Itu Bundanya kan sedang berjuang ngelahirin dedek bayi. Kita berdoa sama-sama, ya. Semoga Bunda dan dedek bayi sehat dan selamat," jawab Mami Mery sambil menciumi putri semata wayangnya. "Oma dan Om Jason kok ga punya adek bayi kayak Bunda? Itu, Tante Nia sama Om Ferdi juga mau punya bayi lagi." Cantika yang lucu dan menggemaskan berkata dengan polosnya."Sayang, Oma udah tua
Terima ksih tak terhingga aku ucapkan pada semua pembaca setia karya-karyaku di Good Novel. Baik itu yang membaca dengan koin gratis dan harus sedikit berjuang + bersabar agar bisa membaca kelanjutan bab nya, maupun yang bela-belain top up koin demi bisa buka bab bergembok. Selama ini aku selalu mengatakan terima kasih untuk pembaca royalku, itu bukan sekedar untuk pembaca yang buka bab dengan koin hasil top up. Tapi kata-kata itu juga aku tujukan pada pembaca pejuang koin gratis dan untuk semua yang sudah royal meluangkan waktunya untuk membaca hasil ketikan jari jemariku ini. Aku mohon jangan ada lagi yang salah paham dan berkecil hati. Siapa pun kalian, dimana pun kalian berada, meski hanya buka bab pertama dari novelku saja, aku sudah mencintai kalian. Sayang sekali novel ini sudah harus tamat. Tapi, terus dukung dan baca karyaku yang lainnya, ya. Semoga aku secepatnya bisa menambah daftar karya terkontrakku lagi di Good Novel. Sekali
"Dari mana saja kamu, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Heru muncul dari balik pintu kamar. "Aku lembur, Sayang!" jawabnya sambil tersenyum manis. Seperti biasa, jawaban yang ia berikan selalu saja lembur. Hal ini sudah berlangsung sejak tiga bulan belakangan ini. Biasanya aku selalu saja percaya dengan semua kata-kata suamiku itu. Tapi, entah mengapa tadi aku merasa ingin tau kebenarannya. Aku menelpon Siska, sekretaris Mas Heru di Kantor. Dan Siska mengatakan bahwa Mas Heru sudah pulang bahkan sejak jam lima sore. Lalu, kemana dia pergi sampai larut malam begini baru pulang? Sudah jam sebelas malam saat ia memasuki kamar. "Apa benar kamu lembur, Mas?" aku yang sudah dipenuhi rasa curiga, tak dapat lagi menahan hati untuk mengintrogasinya. "Lho, kok kamu nanya-nya gitu sih, Sayang?" sahutnya, kemudian menghampiriku yang duduk di tepi ranjang tempat kami memadu cinta selama tiga tahun ini. Mas Heru membelai rambutku dengan lembut, kemudian
Aku dan Mas Heru memang menikah karena di jodohkan. Kami menikah demi memenuhi keinginan terakhir Papi. Dimana saat itu, Mas Heru adalah anak dari sahabat Papi. Untuk menunjukkan tanda baktiku, aku menerima perjodohan itu meski baru pertama kali bertemu. Saat itu, aku tinggal hanya berdua dengan Papi. Karena, sejak aku berusia sepuluh tahun, Mami kabur bersama pria lain. Kudengar, mereka tinggal di London selama ini. Tapi, entah karena alasan apa, lima bulan lalu Mami kembali pulang ke Indonesia dan menemuiku. Tentu saja hatiku meradang dan menolaknya mentah-mentah. Enak saja, sudah meninggalkanku selama lima belas tahun, kini kembali seperti tanpa dosa. Aku sama sekali tak mengerti dengan jalan pikirannya. Tapi, karena desakan Mas Heru yang terus membujukku memaafkan Mami, akhirnya aku pun mengalah pada suamiku yang baik dan tampan itu. Begitu lah sifat Mas Heru, dia selalu bertindak dengan sabar dan kepala dingin. Membuatku semakin hari semakin mencintai da
Tidak sampai tiga puluh menit, Mercedes merah milik Nia tampak memasuki halaman rumah mewah milikku. Sebenarnya, aku bisa saja pindah dari sini. Ke rumah yang tiga kali lipat lebih mewah dari ini. Karena Mas Heru mampu membelikannya, tapi lagi-lagi aku sayang membiarkan rumah peninggalan Papi ini dalam keadaan kosong. Di sini penuh kenanganku bersama Papi. Aku tak akan pernah mau pergi kemana pun. "Hei... Mukanya kok masam banget, kayak jeruk busuk," sapa Nia mendekatiku, kemudian kami berpelukan dan cium pipi kanan, cium pipi kiri. "Gimana ga masam, coba? Mas Heru tu sekarang berubah banget, sering pulang tengah malam. Dan kemarin aku periksa tas kerjanya, banyak banget tagihan belanja, Hotel, juga bill di Restoran mahal. Sementara, aku udah satu bulan ini nggak pernah minta temanin sama dia belanja, nggak pernah diajak dinner di luar, apalagi nginap di Hotel. Apa aku nggak boleh curiga sama dia, kalau udah gini?" cerocosku tak henti pada Nia yang baru saja datang.
Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah sampai di depan sebuah rumah bercat abu-abu dan putih yang tampak minimalis. Tapi, rumah ini sudah dilengkapi dengan teknologi canggih. Mungkin, karena pemiliknya seorang yang hebat dalam bidangnya juga. Dari luar pagar, kulihat Nia berbicara pada layar kecil di sudut pagar. Tak lama kemudian, pintu pagar terbuka. Nia kembali masuk ke mobil dan menyetir masuk ke pekarangan.Tepat saat mobil Nia berhenti di depan pintu rumah minimalis itu, pintu rumah terbuka. Terlihat sosok tampan dengan celana pendek di bawah lutut, dan kaos oblong hitam berdiri di ambang pintu. Aku dan Nia segera turun dan menghampirinya."Hai, Fer. Kita nggak ganggu, kan?"sapa Nia sambil menepuk pangkal lengan pria itu dengan santai."Nggak lah, aku lagi free job sih beberapa hari ini. Kenapa? Mau ngasih aku kerjaan? Lumayan nih, buat nambah-nambah kesibukan," jawabnya seraya tertawa pada Nia."Alah, kamu ga kerja berbulan-bulan pun paling cuma me
Dengan langkah tegap, Ferdi kembali hadir di tengah-tengah kami. Aku segera menyimpan ponselku ke dalam tas. Begitu pun dengan Nia yang tampak sangat antusias menantikan apa yang selanjutnya akan diberitahu oleh Ferdi. "Ini, chip kecil ini sangat banyak manfaatnya. Apa suamimu memakai pelindung ponsel?" tanya Ferdi padaku. "Iya, dia selalu memakainya. Karena dia sangat ceroboh, jadi aku memintanya memakai pelindung ponsel agar saat ponsel itu jatuh, tidak langsung retak atau pecah," jelasku pada Ferdi. "Bagus, kamu sisipkan ini di belakang ponselnya. Tinggal tempel aja, lalu pasang kembali pelindung ponselnya. Aku akan menambahkan fitur pengaturannya di ponselmu setelah itu!" ucap Ferdi sambil menyerahkan sebuah chip yang sangat kecil dan tipis itu padaku. "Hati-hati, Beb. Jangan sampai hilang, dan jangan sampai ketauan saat kamu memasangnya. Sebaiknya kamu pasang itu nanti saat dia pulang kerja. Jadi besok kita ke sini lagi, untuk mengatur programnya