“Aw.” Linda mengaduh sambil menatap kakinya yang diinjak Vina.“Maaf, Kak!” Vina langsung menjauh, lalu menatap kaki Linda.“Iya, nggak papa.” Linda terkekeh.Keduanya lalu menatap bayi di gendongan Kenneth. Bergantian menggendong dan mengelus tubuhnya yang berselimut.“Sudah, ya. Mau dibawa ke ruang bayi dulu.” Kenneth berkata sambil mengambil alih lagi putranya.Mereka menatap Kenneth yang berjalan dengan seorang suster. Wajah Kenneth terlihat bahagia. Ia bahkan terus menggendong putranya meski disediakan box bayi dorong.“Kak Kenneth langsung pintar menggendong bayi, ya.” Vina berkomentar.“Kak Kenneth kan kursus merawat bayi baru lahir gitu di klinik. Kamu nggak tau?” Linda membalas.“Oh ya?” Vina mengangkat kedua alisnya. “Ada ya klinik begitu?”“Ada. Sebenarnya kebanyakan ibu-ibu sih pesertanya. Tetapi, Kak Tama dan Kak Kenneth ambil kelas private. Dulu, aku dan Marcel juga begitu.”Vina mengangguk-angguk mengerti.“Kalau nggak salah, Lano juga sudah daftar deh. Memangnya kamu n
Keluarga Goldson berkumpul di depan ruang operasi. Kenneth memimpin doa bersama sebelum Tamara masuk ke dalam untuk melahirkan bayinya.“Semoga lancar, Kak.“Kita tungguin di sini, ya.”Setelah berdoa, Marcel dan Dylan masing-masing menggenggam tangan kiri dan kanan Tamara. Dua adik laki-laki Tamara tampak menenangkan dan memberi dukungan pada sang kakak.“Aku deg-degan sekali.” Tamara menggenggam erat tangan adik-adiknya.“Sudah, sayang.” Kenneth mengusap punggung Tamara pelan. “Semakin lama kamu akan makin gelisah. Kita masuk sekarang.”Vina dan Linda tersenyum manis pada Tamara yang mengangguk pelan. Clara dan Reino mencium Auntie mereka lalu semuanya menatap kursi roda Tamara didorong ke dalam ruang operasi.Semua menunggu resah. Vina paham perasaan Dylan dan Marcel. Usia Tamara saat ini memang tidak aman untuk hamil dan melahirkan.Tangan Vina spontan mengusap perutnya. Ia patut bersyukur dengan keadaannya sekarang.Dylan yang sejak tadi bicara dengan Marcel, menghampiri Vina. “C
Pernyataan Dylan membuat Vina tersadar. Ia kembali membandingkan dan merasa tidak percaya diri. Lalu, Vina tersenyum dan mengangguk.“Iya.”“Kamu nggak papa?” Dylan masih penasaran dengan raut wajah sanng istri.“Nggak papa.” Vina lalu memeluk Dylan dan menatap wajah sang suami. “Hanya... ingatkan saja aku jika aku terlaku sensitif atau tidak percaya diri.”Dylan menangkup pipi-pipi Vina dengan kedua tangannya. Ia mengecup bibir Vina berkali-kali lalu balas memeluknya erat.“Baguslah kalau kamu sadar bahwa tidak sepatutnya kamu rendah diri. Ingat kamu adalah wanita cantik yang cerdas dan berprestasi. Apalagi, suamimu adalah superstar dan CEO yang terkenal.”“Wahh... justru bagian terakhir itu yang sering membuatku tidak percaya diri.” Vina mencebik.Dylan meledakkan tawanya, lalu dengan cepat berhenti dan menutup mulut. Sadar bahwa mereka masih di kamar Clara dan mereka tidak ingin anak itu terjaga.Keduanya keluar dari kamar Clara dan masuk ke kamar tamu yang disiapkan untuk mereka.
"Nggak, Kak. Cuma kasihan aja sama Dylan.""Eh, kenapa?"Pernyataan Dylan pada dokter diungkapkan Vina. Ia juga merasa Dylan akhir-akhir ini memang sibuk sendiri karena ia tidak bisa membantu."Perasaan kamu saja. Kan ada Marcel. Tim Lano tuh solid lho. Mereka belasan tahun sudah mendampingi Lano.""Iya juga ya."Tamara tersenyum. Ia menatap Vina yang melipat pakaian bayi sambil termenung."Lano sangat bahagia dibanding sebelum ia bersamamu, Vina. Dulu, karirnya memang sangat baik. Namun ia seperti anak kesepian dan hilang arah jika tidak berada di panggung."Vina menatap Tamara yang memandangnya dengan teduh. Ia jadi benar-benar merasa memiliki seorang kakak."Kak Tama pikir begitu?""Lho, bukan aku saja yang berpikir begitu. Semua orang yang dekat dengan Lano amat tau perubahan yang terjadi pada anak itu."Tamara melirik sekilas pada Dylan yang sedang berbincang dengan Kenneth."Memang Lano akan selalu menjadi lelaki yang kurang mandiri. Itu karena di keluarga ia anak bungsu. Pekerj
Vina tidak fokus membaca. Ia jadi mendengarkan apa yang Dylan ucapkan saat live. Saat Dylan terdengar terharu spontan Vina membelai lengan atasnya.Dylan menoleh dan tersenyum, lalu menunjuk layar. “Goldies bertanya apa itu tangan Chagiya?”Vina terkekeh, lalu dengan sengaja menunjukkan jari manisnya yang memakai cincin berlian hitam.“Ini jawabannya, Goldies.” Dylan tersenyum senang sambil mengangguk dan menahan tangan Vina di depan layar. “Benar. Chagiya ada di sebelahku.”“Spil Chagiya.” Dylan membaca komentar sambil tertawa dan bertepuk tangan.Vina menggeleng. “Malu.”Dylan mencebik dan menjulurkan tangan lalu mengusak kepala Vina. “Kalian dengar, Goldies? Chagiya malu katanya.”Selanjutnya, Vina hanya sesekali mendengar sambil menggambar. Kali ini ia mendesain pakaian bayi untuk Rachel karena baju bayi yang pernah ia buat dulu sudah tidak cukup lagi.Beberapa menit menggambar, Vina menggeleng. Lalu, mencoret gambarnya. Ia memulai kembali, tetapi mencoret lagi.“Perasaan gambarku
Sambil mengembuskan napas panjang, akhirnya Vina dan Dylan mengangguk. Mereka menyetujui permintaan Clara untuk mengecek jenis kelamin janin-janin di dalam rahim Vina.Dokter kembali menjalankan alat USG di perut bagian bawah Vina. Clara terlihat sangat serius menatap layar di depannya.“Mana adik Ara, Dokter?”“Ini kaki-kakinya.” Dokter Femmy menunjuk ke layar. “Sepertinya adik Ara pemalu. Mereka menutupi kelaminnya. Tuh, nggak kelihatan.”Dokter Femmy tampak masih berusaha. Hingga akhirnya ia menggeleng. “Mungkin bulan depan, kita bisa cek kembali. Sabar ya, Ara.”Suster membantu mengelap bersih cairan di perut Vina sehabis USG. Dylan kemudian membantu istrinya turun dari ranjang dan duduk di kursi di depan dokter.“Ini adik Ara sudah seperti ini sekarang.” Dokter menunjukkan gambar bayi dalam kandungan.“Yang ini kaya boneka.” Clara menunjuk bayi yang berusia sembilan bulan dalam rahim.“Iya, ini sudah siap lahir.”“Ara mau adik-adik cepat lahir.”Tangan Dokter Femmy mengelus kepal