“Cerita dari kepalaku alias ngarang!” Dylan tergelak.“Bakat ngibul juga kamu.” Vina mencebik. “Sungguhan aku penasaran. Bisa suruh Juan cari tau, nggak?”“Akh, kepo amat istri hamilku yang cantik ini.”Vina tidak menjawab. Ia juga bingung kenapa rasa ingin tahunya besar sekali dengan apa yang terjadi pada mantan tunangan dan sahabatnya.“Menurutku, nggak perlu cari tau, Chagiya. Kalau memang Tuhan mengizinkan suatu saat kamu pasti akan mendapatkan cerita sesungguhnya.” Dylan berkata bijak.Vina mengangguk. “Iya, sih.”Dylan mengembuskan napas lega. Sesungguhnya ia juga malas mencari tau cerita tentang Andreas. Bukan cemburu, hanya rasanya buang-buang waktu saja.Clara dan keluarga Marcel datang tepat waktu. Seperti kebiasaan Clara dan Reino, begitu sampai di hotel, mereka akan minta berkeliling.Ditemani para pengasuh dan pengawal, Clara dan Reino bermain
“Chagiya? Siapa mereka?”Vina memutuskan tatapannya keluar jendela. Lalu menatap Dylan dan makanan di depannya. Tiba-tiba, ia jadi tidak nafsu makan.“Apa kebiasaanmu tidak langsung menjawab pertanyaan kumat lagi?” Dylan mendengus sambil mengusak sayang kepala Vina.“Umm... nggak.”“Nggak apa? Aku tanya mereka siapa, kok jawabnya nggak?”Vina mengerjap-ngerjap. Lalu menoleh menatap Dylan. “Lelaki itu... Andreas.”Dylan mengerutkan kening. Ia lupa pada nama tersebut. Kepalanya menggeleng tak mengerti.Vina mengembuskan napas berat. “Andreas... mantan tunanganku. Suaminya Ayla, mantan sahabatku.”Spontan, Dylan jadi melirik ke luar jendela. Keduanya sudah agak jauh, tapi Dylan masih bisa melihat pasangan mesra tersebut.“Wanitanya sepertinya kok bukan Ayla? Apa aku salah?” Dylan kembali menatap Vina.“Iya, memang bukan Ayla.&rd
Clara dan Reino berjingkrak senang. Mereka baru saja dikabari bahwa pengambilan gambar video musik akan dilakukan di taman bermain yang sedang hits di kota mereka.Pengelola taman bermain itu sendiri yang bahkan menghubungi agensi Dylan dan menawarkan kerjasama. Mereka ingin Clara dan Reino syuting di sana dengan harapan dapat menjadi promosi bagi tempat itu.“Akh... aku suka jadi penyanyi.” Reino menjatuhkan bokongnya ke sofa.“Aku juga.” Clara mengikuti tingkah Reino.“Apa kalau kita jadi penyanyi terkenal, kita nggak usah sekolah aja, Ra? Sekolah juga semakin membosankan.”“Iya, ya.” Clara mengangguk-angguk menyetujui ucapan Reino.“Apa kalian bilang?” Linda berkacak pinggang di depan dua anak kecil yang terkejut.Baik Clara maupun Reino sampai duduk tegak melihat mata Linda yang melotot pada mereka. Keduanya menunduk takut-takut.Sejak awal, Clara dan Reino memang sudah diberikan syarat oleh orang tua mereka. Keduanya boleh rekaman lagu, namun sekolah tetap nomer satu.“Bercanda,
Vina sudah tidur sejak satu jam lalu. Dylan masih berkutat dengan laptop di pangkuannya. Sesekali ia mengelus punggung sang istri dan memastikan Vina tidur dengan nyaman.Namun ternyata usapan itu justru membuat Vina bangun. Ia menoleh ke belakang dan melihat Dylan masih terjaga.“Kamu sedang apa, sayang? Nggak bisa tidur?” Dengan suara parau, Vina bertanya.“Kamu terbangun karena aku?” Dylan segera melepas headphone dan menggeser laptopnya.“Karena kamu nggak peluk aku.” Vina menyahut dengan mata kembali terpejam.Dylan terkekeh pelan. Ia memeluk Vina dan bersenandung untuk membuat Vina kembali terlelap.“Apa itu lagu baru?” Vina malah jadi fokus pada senandung Dylan.“Lagu yang rencananya kubuat dari nada detak jantung anak-anak kita. Baru dapat idenya.” Dylan menjawab.“Hmm... begitu.”“Tapi, kurasa lebih cocok Clara dan Reino yang menyanyikan.”Vina mengerutkan kening, lalu susah payah membalik tubuh karena perut besarnya. “Maksudnya kamu buat lagu itu untuk Clara dan Reino?”“Jus
Saat Dylan kembali ke rumah, ia tidak sempat berlama-lama dengan Vina. Tangannya sudah ditarik-tarik oleh Clara dan Reino.“Wait, wait.” Dylan menghentikan langkah. “Mommy boleh ikut, ya?”Clara dan Reino saling bertatapan. Mereka tampak keberatan, entah kenapa. Tetapi, Dylan bersikeras.“Kasihan lho mommy, Clara. Daddy baru pulang, masa langsung sibuk meeting lagi sama kalian.” Dylan merayu putri dan keponakannya.Akhirnya Vina diperbolehkan ikut masuk ke kamar Clara. Vina dan Dylan terpaku di depan pintu saat akan masuk.Clara dan Reino mempersiapkan kursi untuk Dylan, meja dan dua kursi lain. Kamar anak-anak itu didesain persis seperti meja rapat, hanya lebih kecil saja.“Mommy duduk di sofa aja, ya.” Clara menuntun sang mommy untuk duduk di tempat yang ditentukan.“Uncle Lano duduk di sini. Silahkan.” Reino mendorong kursi untuk Dylan duduki.“Terima kasih.” Dylan mengangguk, cukup terkesan dengan apa yang disiapkan Clara dan Reino.Clara dan Reino duduk di depan Dylan. Keduanya s
Dylan mengerang kecil, lalu terkekeh. Ia akan berpamitan untuk bekerja pada Vina, namun sang istri masih menahannya dengan mengecup bahkan mengisap lehernya.“Aku ke kantor hanya maksimal tiga jam.” Dylan berjanji.“Aku tau.” Vina mengangguk sambil membenahi pakaian Dylan.“Jadi, kamu tidak perlu setiap hari memberi leherku tanda merah.”“Harus. Soalnya, aku tidak ada di sisimu. Jadi, tanda itu yang akan menemanimu.” Vina memberi alasan. “Sekalian memperingati wanita-wanita nakal yang berniat mendekatimu.”Tawa Dylan meledak. Sejak ia pulang dari rumah sakit, Vina jadi lebih posesif. Istrinya itu tetap menginginkan mereka melakukan video call jika mereka berjauhan.Vina juga seringkali memanggilnya untuk urusan kecil. Misalnya, mengambilkan sesuatu, membantu meletakkan bantal di punggung atau hanya ingin bermanja saja.Padahal, sebelumnya Vina sangat mandiri. Ia juga tetap aktif bekerja dan jarang meminta bantuan.Bukannya merasa direpotkan, Dylan senang-senang saja sang istri jadi ma