Kedua bola mata Raya menajam menatap surat undangan yang dia genggam. Tangannya mulai gemetaran seakan langit runtuh di atasnya.
“Lusi Wiryawan dan Sebastian Danu?” Bahkan bibirnya pun gemetar menyebut dua nama itu. Nama orang-orang yang dulu ia percaya dan selalu peduli padanya. Ternyata sikap baik mereka hanya topeng belaka, setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dari seorang Soraya Barata.
Jantung Raya seakan berhenti berdetak. Tubuh yang gemetaran itu perlahan berubah melemas yang semakin merajai. Napasnya sesak mendapati kenyataan pahit. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat kenyataan yang tidak bisa lagi terbantahkan. Matanya terus berkedip, berharap air matanya tidak tumpah saat itu.
Suseno terlihat khawatir dengan kondisi Raya. Pria matang itu tahu bagaimana hancurnya hidup seorang Soraya Barata.
Raya ingin berteriak. Namun, tidak bisa. Situasinya tidak memungkinkan. Sehingga gadis itu hanya menahan luka serta amarahnya dalam hati, hingga wajahnya memerah padam.
“Nona? Apa ingin saya antar untuk pergi dari sini?” Suseno khawatir melihat otot yang mulai tampak membiru di antara wajahnya yang memerah padam.
“Om, rasanya dada saya sesak!”
“Nona mau saya antar ke IGD?”
Raya menggelengkan kepala. “Om, tolong jaga ayah! Saya mau pergi menenangkan diri dulu!”
“Atau saya antar saja, Non? Saya khawatir!”
“Tidak usah, Om! Om Seno jaga ayah saja! Kalau besok ada keributan lagi, atau berita miring yang bisa mengganggu kesehatan ayah, tolong Om Seno rahasiakan dari ayah! Jangan sampai ayah tahu tentang berita-berita yang memicu stres ataupun tekanan!”
“Nona?”
“Permisi, Om!” Raya berlari sembari menahan air mata yang terus mendesak. Dia genggam surat undangan itu. Pikirannya kalut tak bisa berpikir jernih, yang ada hanya dendam membara yang semakin ingin dia luapkan.
Raya pergi menaiki taksi. Hingga sampai di tempat tujuannya. Mata Raya menajam dengan langkah kaki gontai yang ia paksa untuk berdiri tegak. Ya! Saat ini Raya sudah berada di depan kediaman keluarga Danu—orang tua Tian. Raya berusaha menerobos gerbang penuh penjagaan. Mereka memang sudah diperintahkan untuk menghalau kedatangan Raya. Namun, gadis itu pantang mundur. Ia terus mencoba menerobos penjagaan.
“Tian!”
“Tian! Keterlaluan!
“Keluar kamu! Pengecut!” teriak Raya di depan gerbang rumah megah itu. Raya tahu, percuma saja berteriak, karena belum tentu keluarga Danu mau meladeni Raya.
“Silakan Nona tinggalkan kediaman Tuan Danu.”
“Brisik! Kalian dibayar berapa, hah?” bentak Raya yang tengah naik pitam.
“Silakan Anda pergi dari sini!”
“Brengsek semua!”
“Pecundang! Keluar kamu!”
“Tian! Brengsek!” ucap Raya dengan suara yang mulai serak. Tenaganya mulai habis mengimbangi cengkeraman para bodyguard yang berusaha mengusirnya.
“Jangan buat keributan! Silakan pergi dari sini! Atau kami akan bersikap lebih kasar?”
“Silakan! Hidup saya sudah hancur! Bahkan saya berani melawan kalian! Banci!” Raya terus memaki mereka yang menghalanginya. Namun, mereka terus menyeret Raya dengan paksa dan seakan membuangnya ke tepi jalan. Gemetar seluruh tubuh Raya diperlakukan seperti itu. Bahkan, ayahnya pun tidak pernah membentak atau bersikap kasar dengan Raya.
“Ingat satu hal! Karma itu ada! Ingat itu, Tian!” teriak Raya dengan segala amarahnya. Tubuhnya yang ramping itu, kembali diseret paksa oleh para penjaga. Lalu mereka melemparkan Raya seperti tak berharga.
Rasa merasakan menyesak di dalam dadanya. Hal itu membuat Raya hampir kehabisan napas. Dia benar-benar hancur. Semua yang menjadi milik dan kebahagiaannya, justru direnggut oleh orang-orang yang ia sayangi. Tidak dipungkiri lagi kalau malam itu Raya benar-benar terpuruk.
Raya berjalan sendirian di antara rinai hujan malam itu. Dia sudah tidak menghiraukan lagi tubuhnya yang basah kuyup. Hanya di antara rinai hujan itulah, air mata Raya melebur bersama kepedihan yang tengah menggerogoti batinnya.
“Soraya Barata tidak lebih dari seorang gadis polos yang mudah diperdaya!”
Ucapan itu terus terngiang dalam benak Raya. Tentu saja Raya merasa tidak terima dicurangi seperti ini. Raya menyimpan surat undangan itu ke dalam jaketnya. Lama kelamaan tubuh Raya seakan terhuyung angin, hingga dirinya sulit untuk berdiri tegak di atas kakinya.
***
“Ray? Raya, bangun!”
“Raya, hei! Bangun, Ray!”
Suara itu mulai terdengar jelas di telinga Raya. ‘Siapa yang memanggilku?’ batin Raya yang mulai mendengar seseorang memanggil namanya setelah merasa terlelap begitu nyaman.
‘Sebenarnya aku di mana? Sedang tidur di mana?’ ucap Raya dalam benaknya. Saat itu Raya masih memejamkan mata. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi dengan dirinya terakhir kali.
‘Astaga!’ batin Raya lagi.
Soraya Barata terkesiap, seakan terbangun dari tidur panjangnya. Matanya membuka lebar sembari celingukan menatap setiap sudut ruangan.
“Raiden?” tanya Raya yang melihat Raiden yang tampak kebingungan di sebelahnya. Raya mulai menyadari kalau dirinya baru saja terbangun di atas sofa yang berada di dalam rumah kontrakan Raiden.
“Kamu sudah sadar?”
“Hah? Maksudnya?”
“Sudahlah! Tidak usah diingat! Sekarang yang terpenting kamu sudah sadar.”
“Berarti aku pingsan?” Raya merasa dirinya masih kacau.
Mendengar pertanyaan itu, Raiden hanya mengangguk. Raya kembali teringat apa yang menimpanya dalam waktu yang berdekatan ini. Bagai petasan atau justru bom waktu yang sewaktu-waktu membuatnya jantungan.
Raiden mengkhawatirkan kondisi Raya. Lantaran wajah gadis itu terlihat pucat dan cemas.
“Raya, sebenarnya kamu kenapa?”
“Ehmm, aku ... itu hanya ....” Raya enggan menjawab. Lantaran dirinya tak kuasa menahan getir rasa dikhianati oleh orang yang sudah dia yakini sebagai malaikat pelindungnya.
“Raya, please! Jangan sembunyikan sesuatu hal yang membuat kamu stress dari aku!”
Raya menatap wajah Raiden yang begitu serius. Dia bingung untuk menceritakannya. Namun, Raya merasa Raiden adalah pemuda yang baik, walau tetap saja dia tengah dilanda krisis kepercayaan kepada orang lain.
“Kalau kamu tidak mau menceritakannya, tidak apa! Anggap saja aku tidak ada!”
“Eh, jangan begitu!”
“Terus aku harus bagaimana, Ray? Setidaknya aku bisa tenang setelah mengetahuinya.”
Raya menunduk. Dia merasa bersalah menyembunyikan masalahnya dari orang yang sudah berjasa menolongnya dari kejaran anak buah Om Sugeng.
“Sudahlah lupakan!” Raiden hampir melangkah meninggalkan Raya di sofa itu.
“Aku dikhianati!” ucap Raya yang bibirnya gemetaran.
Raiden menghentikan langkahnya. Dia merasa bersalah karena ternyata masalah yang dihadapi Raya terlihat berat.
“Aku dikhianati orang-orang terdekatku, Rai!” ucap Raya bersamaan dengan air mata yang tumpah sejadinya. Dengan sigap, Raiden berusaha memeluk Raya dan menenangkan gadis itu dengan menepuk punggungnya.
Raya masih menangis sesenggukan. Dia benar-benar membutuhkan sandaran seperti sekarang ini. Setidaknya hal itu mampu meluluhkan amarahnya saat mengingat kembali pengkhianatan itu.
Raiden melepas dekapannya, ketika Raya mulai tenang. “Ray, ceritakan saja kalau memang kamu butuh tempat untuk berkeluh kesah. Tapi kalau tidak mau menceritakannya, tidak apa-apa, aku mengerti.”
Raya menghidu napas dalam. “Setelah aku menceritakan semua masalahku, aku harap sikapmu tidak berubah, Rai!” Raya memohon kepada Raiden agar dia tidak berpikiran negatif.
Raiden mengangguk. “Tenang saja!”
“Aku putri dari Barata yang beritanya viral beberapa hari ini.”
“Lantas, berita itu apa benar adanya?” tanya Raiden yang juga penasaran sejak kemarin.
Raya menggelengkan kepalanya sebagai penegas bahwa berita miring yang menyeret namanya belakangan ini adalah sebuah berita bohong.
“Aku dan Sebastian Danu dijodohkan.”
“Kamu menerimanya?”
“Tentu saja saat itu aku menerimanya, karena ayahku mengetahui bagaimana aku begitu mengidolakan Tian, selain itu ... ayahku dan Om Danu memang sedang menjalin kerja sama. Semua seakan mengalir begitu saja. Tian perhatian juga sama aku.”
“Ehem ... hem!” Raiden berdehem seakan tersedak sesuatu. “Maaf,” ucap Tian. Raya hanya melirik sebentar. Lalu dia melanjutkan curahan hatinya itu.
“Bahkan aku masih terngiang ucapan seseorang. Bisa dibilang dia itu sainganku di kampus. Dia bilang kalau aku tidak lebih dari seorang gadis polos yang mudah diperdaya. Saat itu aku hanya bisa marah, tanpa mengetahui maksudnya. Tapi ternyata ucapan itu benar adanya.” Raya kembali menghidu napas karena rasa menyesak di dada itu kembali membuncah.
“Kita memang tidak bisa lari dari takdir. Tanpa diduga, ayahku terkena serangan jantung. Aku panik, ayah masuk ICU. Saat itu Tian selalu ada buatku. Perhatian, bahkan ayahku mempercayakan semua kendali atas perusahaan ke tangan Tian, selama ayah dirawat. Namun, kenyataannya tidak sesuai harapan. Tian mengembalikan cincin pertunangannya di saat seperti ini dnegan alasan yang tidak bisa aku terima. Padahal tanggal pernikahan sudah di depan mata. Tian memperdaya ayah dengan kekuasaan yang saat ini masih ada di tangannya. Tian korupsi, tapi begitu sulit mendapatkan buktinya. Lebih parahnya lagi, saat aku terdesak membutuhkan biaya operasi ayahku, semua aset dibekukan. Menemuinya saja sangat sulit. Sampai-sampai sepupuku memberi saran kalau aku mencari sugar daddy. Ini konyol tapi kenyataan. Kamu ingat saat pertama kita bertemu?”
“Ya tentu saja! Memangnya apa yang terjadi dengan malam itu?”
“Malam itulah aku menipu seorang pria paruh baya yang digadang-gadang menjadi sugar daddy untukku. Aku masih waras! Tidak mau menjual keperawananku, aku putar otak. Aku tidak mau memulai sebelum uang itu masuk ke rekeningku. Namun, setelah uang itu masuk, aku kabur. Itulah mengapa aku menjadi incaran anak buah Om Sugeng.”
“Oh, pantas saja mereka begitu berhasrat untuk membawamu kembali ke dekapan Om Sugeng. Mengerikan!”
“Kau saja berpikir mengerikan, apalagi aku yang menghadapinya!”
“Terus kenapa tadi kamu sampai pingsan di jalan? Ketemu Om Sugeng?”
“Bukan, tapi ... ini!” Raya mengambil surat undangan yang ia simpan di dalam jaket. Lalu memperlihatkan surat undangan itu kepada Raiden.
“Itu undangan pernikahan Tian dengan Lusi, sepupuku yang tadi aku ceritakan.”
“Hah?” Raiden tercengang. Dia memahami apa yang Raya rasakan.
“Raya, kamu yang sabar, ya!” Raiden menggenggam kedua tangan Raya di sela-sela air mata yang terus berderai.
“Sekarang ayah kamu di mana?”
“Masih di rumah sakit. Ayah sempat menanyakan persiapan pernikahan itu, Rai! Tapi aku hanya bisa berbohong menutupi itu semua. Aku bingung, hati ini rasanya hancur!”
“Aku paham rasanya ada di posisimu saat ini. Terlebih lagi berita miring itu,” ucap Raiden ragu.
“Tapi, aku minta kamu tetap tenang! Aku akan menolong kamu!” tandasnya lagi, lantaran tidak tega melihat gadis itu terus-menerus menangis.
“Terima kasih, Rai! Tuhan sudah mempertemukan aku dengan orang sebaik kamu.”
“Terus ... apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Raiden yang siap membantu Raya kapan pun.
“Balas dendam!”
Halo salam kenal semua, jangan lupa komen dan follow ya, Mbak Engz nama lain Riandra_27 terima kasih.
Diam-diam Raya nekat pergi ke suatu tempat yang pastinya akan membuat dia sangat terluka. Namun, ini jalan satu-satunya agar Raya bisa menemui Tian. Bukan untuk mengucapkan selamat, melainkan untuk memaki Tian dan Lusi. Ya! Raya pergi ke gedung yang menjadi tempat berlangsungnya acara pernikahan mereka. Setelah semalaman Raya memikirkan konsekuensinya. Dia memutuskan untuk datang ke acara itu. Walau taruhannya adalah hati yang terluka. Baginya tidak akan ada bedanya. Kemarin, sekarang, ataupun esok, hatinya tetap saja akan terluka. Bahkan tidak ada satu orang pun yang mengira, kalau Raya akan nekat datang ke sana. Raya mengenakan gaun pengantin yang sebelumnya memang sudah ia persiapkan untuk acara pernikahannya yang gagal. Dia sengaja mengenakan gaun itu untuk mempermalukan Tian. Raya melangkah dengan anggun ketika baru saja turun dari mobil dan menginjakkan kakinya masuk ke dalam lobi gedung. Semua orang pun menatap kedatangan Raya. Bahkan teman-teman dekat Lusi mencibir kehadiran
Raya ikut tercengang melihat pria itu. Namun, Raya hanya bisa diam melihat apa yang terjadi. “Kau bertanya? Bertanya-tanya?” tanya pria itu kepada Lusi terkesan sedikit konyol. “Dia calon suamiku,” ucap Raya yang terpaksa mengatakan hal itu. Walau dalam hatinya begitu kesal karena tidak sesuai dengan skenario yang ada. “Siapa dia? Pasti pria sewaan, bukan?” ujar Tian sembari meledek dengan nada meremehkan. Raya tersenyum mendengar ucapan Tian. Lalu menghela napasnya dan melangkah mendekati pria yang datang bagai pahlawan. Raya mengeratkan kedua tangannya pada pinggang pria itu. “Dia pewaris Wilaga Grup. Iyakan, Rai?” Raya menatapnya sembari memberikan kode dengan mengedipkan sebelah mata. “Sepertinya aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi. Terima kasih sudah hadir dalam acara pernikahanku dengan Soraya Barata.” Ya! Pemuda itu adalah Raiden. Dia datang menyamar menjadi seorang sultan. Lantaran keluarga Adiwilaga adalah orang terkaya di kota itu. Namanya sudah merajai jagat raya
“Ikut saja! Dari pada kamu melamun terus kerasukan, lebih baik ikut bersamaku!” Raiden berusaha mencairkan suasana. “Heh! Ngga usah menakut-nakutiku!” “Bukan masalah menakutimu! Tapi ... rumah ini memang angker! Ngga baik melamun ataupun seorang diri dalam kesunyian!” bisik Raiden dengan tatapan mata meyakinkan. “Rai! Hentikan!” teriak Raya sembari kesal. “Aku ngga bohong! Suer!” ucapnya sembari mengacungkan dua jarinya. “Hhh!” dengkus Raya sembari melirik. “Kenapa?” tanya Raiden sembari menahan tawa. “Kamu merusak lamunanku saja, Rai!” “Aku tahu malam ini kamu sedih, tapi ngga baik loh terus-menerus meratapi kesedihanmu! Lagi pula untuk apa menangisi pria pecundang seperti Tian? Ngga guna!” tegas Raiden yang berusaha menguatkan. “Terus kita mau ke mana?” “Pastinya ke suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi!” “Hah?” “Ah, sudahlah! Ikut saja!” “Eh, tunggu! Rai!” teriak Raya sembari terkejut karena Raiden menarik tangannya. Udara malam itu membuat Raya kedinginan, wala
Brakkk!!! “Aaa ...,” teriak Raya. Dua bola mata amber itu menatap asap mengepul di hadapannya. Lamunannya buyar seketika mendapati sesuatu hal mengerikan tepat di depan matanya. Di sana baru saja terjadi insiden mengerikan yang menimpa dua joki yang tengah balapan. Belum lagi suara sirene mobil polisi yang membuat mereka lari berhamburan untuk menyelamatkan diri masing-masing. “Raya! Ray! Cepat naik!” teriak Raiden yang juga khawatir melihat kondisi Raya yang mematung dengan tatapan kosong. “Astaga! Dia melamun?” dengan segera Raiden memakaikan helm untuk gadis itu dan meraih tangannya agar Raya segera membonceng. Malam menjelang pagi mereka beraksi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Udara dingin yang menusuk tulang belulang seakan tidak mereka pedulikan. Di pikiran mereka yang ada saat itu adalah menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Ketika sampai di persimpangan jalan, Rio dan Raiden berpisah. Raiden masih melajukan kecepatan motornya menyelusup di antara gang sempit d
Hingar-bingar terlihat di mansion mewah milik Tuan Adiwilaga. Keluarga besar tengah bersiap menyambut kedatangan Tuan muda Raihaga yang sudah lama tinggal di Luar Negeri. Di antara mereka ada yang benar-benar senang, ada juga yang hanya topeng belaka. Berpura-pura senang akan kehadiran sang pewaris, padahal mereka berusaha melenyapkannya. Ya! Adiwilaga dijuluki seorang sultan karena dia adalah orang paling terpandang di kota. Tidak heran kalau kedatangan Raihaga menuai pro dan kontra. Pria misterius itu pun akan segera menginjakkan kaki untuk yang pertama kali setelah 23 tahun berlalu. “Tuan muda sudah tiba!” ucap salah seorang penjaga pintu utama aula yang menjadi tempat jamuan keluarga besar. Semua mata tertuju ke arah pintu. Tatapan mereka seperti tidak berkedip ketika seorang pria gagah yang mengenakan setelan jas dan kaca mata hitam itu berjalan dengan begitu elegan berkarisma. Beberapa di antara tamu keluarga itu bersiap untuk menyanjung dengan tujuan mendekati untuk mendapa
Setelah menemui keluarga besar serta kolega yang sudah menantikannya bertahun-tahun, Raiden yang menyamar menjadi Raihaga dibawa oleh Baskoro untuk menemui tuan besar Adiwilaga yang tidak lain adalah ayah kandung Raihaga “Bas! Kenapa tuan Adiwilaga ngga menemui putranya di ruangan tadi?” tanya Raiden sembari menarik tangan Baskoro yang berjalan di depannya. “Ingat satu hal, Rai! Bahkan tembok di dalam mansion ini memiliki telinga!” bisik Baskoro sembari melihat situasi. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarga ini?” tandas Raiden sembari menatap nanar ke arah Baskoro. “Jangankan kamu, aku sendiri saja bingung dengan masa lalu Tuan besar.” “Tapi kenapa kamu malah melibatkan aku sejauh ini, Baskoro?” Raiden mencengkeram kerah baju Baskoro. “Kau berhutang padaku, Rai!” jawab Baskoro yang terlihat pasrah dengan sikap kasar Raiden. Raiden semakin beringas untuk melayangkan bogem mentah ke arah Baskoro. Namun Baskoro menepis dan kembali merapikan bajunya. “Sudah aku bilang! Bahka
Saat ini Raiden tengah duduk bersebelahan dengan Tuan Adiwilaga. Dia tampak canggung karena baru pertama kali bertemu dengan sosok tersohor yang jarang orang mengetahui bagaimana wajah aslinya. Selama ini Tuan Adiwilaga menutup diri dan hanya orang-orang tertentu yang bisa bertatap muka secara langsung. “Apa kau tahu bagaimana rasanya seorang ayah yang kehilangan putra satu-satunya?” tanya Tuan Adiwilaga yang seakan mengintimidasi. ‘Apa maksud dari pertanyaan Tuan Adiwilaga?’ batin Raiden sembari memperlihatkan gelagat kalau dirinya tertampar dengan pertanyaan pria paruh baya itu. “Apa Papa marah karena aku baru kembali setelah sekian lama aku menghilang?” Raiden berusaha memainkan perannya. Tuan Adiwilaga mengulas senyum sembari mendengkus, “Lalu jika kau menjadi aku, apa kau percaya kalau pemuda yang ada di hadapanmu saat ini benar-benar anak kandungmu?” Deg! Raiden tercekat dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut pria paruh baya itu. ‘Apa sebenarnya dia sudah menge
Setelah mengasingkan diri beberapa hari pasca membuat keributan di pesta pernikahan Sebastian Danu, Soraya Barata memberanikan diri untuk menemui ayahnya. Dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun aib itu tidak bisa ditutupi lagi karena lambat laun Tuan Barata akan mengetahuinya juga. Barata yang sudah mulai pulih, melengkungkan senyuman sembari menatap putrinya yang datang untuk menjenguk. Namun Raya merasa langkah kakinya begitu berat. “Soraya Putriku!” ucap pria paruh baya yang terlihat lebih sehat dari sebelumnya. “Ayah,” ucap Raya sembari menahan gejolak nelangsa dalam benaknya. Barata yang merindukan putrinya seraya merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan hangat putri semata wayangnya. Kehangatan itu tak ubahnya seperti melepas kerinduan Barata setelah beberapa hari tanpa putri kesayangan di sampingnya. “Dari mana saja, Nak? Bahkan Ayah sempat berpikir kalau kamu lupa untuk mengundang Ayah ke acara pernikahanmu,” ucap Barata yang begitu murung. Dia takut kalau p