Seketika Raya mematung. Dia gelagapan karena bingung harus menjawab apa di saat seperti ini. Saat dia kembali mengingat bagaimana seorang Sebastian Danu mengkhianatinya. Dia kembali teringat ucapan seseorang yang rasanya seperti belati yang menancap dalam relung hatinya.
“Soraya Barata tidak lebih dari seorang gadis polos yang mudah diperdaya!”
Ucapan Mili sang musuh bebuyutan, masih terngiang dalam benak Raya. Saat mereka berhadapan dalam pertandingan basket antar fakultas satu bulan yang lalu.
Beberapa waktu belakangan ini, setelah Barata drop. Sebastian Danu bukannya menjadi sandaran Raya. Dia justru mengembalikan cincin tunangannya kepada Raya. Bahkan percakapan mereka pun masih terekam jelas dalam ingatan Raya.
“Ray, maksudku bukan ingin menyakiti atau mengkhianatimu.” ucap Tian saat itu yang masih terngiang dalam benak Raya. Perih tapi sulit untuk melupakannya.
Masih pula jelas terlintas dalam ingatan Raya bagaimana suasana kafe yang sendu. Ditambah alunan lagu bernuansa sedih menambah perih dan menyesak di dalam dadanya. Saat itu, Tian terlihat bingung dan terus berusaha menenangkan dengan meraih jemari tangan Raya.
“Stop! Cukup, Tian! Jangan sentuh aku lagi!” tegas Raya yang masih menundukkan pandangan sembari menahan getir perasaannya yang kalut. Lantaran Tian membatalkan pernikahan mereka dengan mengembalikan cincin tunangan itu.
“Ray—Raya, tolong dengarkan aku dulu! Maksud aku bukan ingin mengakhiri semuanya. Tapi lebih baik kita menunda pernikahan ini, sampai Om Barata kembali pulih,” jelas Tian yang masih terus berkelit tentang maksud dari pengembalian cincin itu.
Kala itu, Raya yang merasa sulit untuk bernapas dan jengah menatap Tian, berusaha untuk mempertegas segalanya. “Menunda pernikahan itu tidak harus dengan mengembalikan cincin pertunangan kita, bukan?” ucap Raya sembari perlahan menegaskan pandangannya ke arah Tian.
Pria berkulit bersih dengan aroma parfum Woody yang begitu menyengat terlihat gelagapan. “A—aku hanya tidak mau kalau kamu menganggapku sebagai orang yang hanya memberikan sebuah ketidakpastian.”
“Aku tahu! Kamu tidak benar-benar mencintaiku!” ucap Raya saat itu berusaha terlihat tegar di depan pria yang baru saja melukai hatinya.
“Bukan seperti itu, Ray! Aku hanya tidak mau kita berbahagia di atas sakitnya Om Barata.”
“Jangan pernah menjadikan kondisi Ayahku sebagai alasannya! Banyak di luaran sana pernikahan dilakukan di depan ayah mereka yang tengah sakit. Karena semua sudah direncanakan, bahkan semuanya sudah dipersiapkan! Pasti Ayah juga mengerti dan Beliau akan bahagia, karena apa yang sudah Ayah rencanakan itu berjalan dengan semestinya,” tegas Raya sekali lagi.
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Raya saat itu, Tian menundukkan pandangan. Lantaran bingung untuk menanggapinya. Karena apa yang semua Raya katakan tidak bisa terbantahkan.
“Seharusnya sejak awal ngga usah memberi sebuah harapan, kalau pada akhirnya putus di tengah jalan!” ucap Raya yang saat itu berusaha untuk menahan bulir bening yang terus mendesak dibalik pelupuk matanya.
“Aku mencintaimu, Ray!”
“Bulshit! Jangan pernah katakan hal itu lagi! Terlalu muak dan kecewa untuk mendengarkan apa pun alasanmu, Tian! Karena sejatinya, sikap orang yang tulus mencintai itu, akan selalu ada menjaga perasaan orang yang dicintai!” tegas Raya.
“Orang yang tulus mencintai itu tidak akan sanggup melihat kekecewaan sekecil apa pun di mata orang yang dicintainya,” tegasnya lagi. Raya tidak mau kembali dibodohi oleh seorang Sebastian Danu.
“Maaf! Kalau aku sudah membuat kamu kecewa, tapi aku harap kamu mengerti alasanku. Aku yakin kalau kita berjodoh, Tuhan akan kembali menyatukan kita. Aku juga tidak akan melarang kamu untuk menjalin hubungan dengan siapa pun. Begitu pun denganku, tidak akan menikah sebelum semua impianku tercapai. Aku harap kamu mengerti!” Tian kembali untuk menjelaskan apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.
“Aku pegang ucapanmu, Tian! Kalau kenyataannya berbeda, lihat saja apa yang akan aku lakukan!” Raya berusaha menghidu napas untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh.
“Apa kamu sangat mencintaiku?” tanya Tian yang membuat Raya semakin muak.
Raya menggelengkan kepalanya. “Mencintaimu adalah sebuah kesalahan, Tian! Semua rasa sudah hilang sejak kamu mengembalikan cincin ini,” ucap Raya begitu datar sembari menggenggam cincin tunangan yang dikembalikan oleh Tian. Hal itu membuat Tian tercekat dengan napasnya sendiri. Bahkan Tian tidak lagi melihat kepedihan di raut wajah Raya. Karena ekspresinya berubah dingin, berbeda dari sikap Raya yang biasanya ramah dan hangat.
Raya pun masih ingat bagaimana ia melepas cincin dari jari manisnya. Kemudian meninggalkan dua cincin di atas meja sebelum pergi meninggalkan Tian.
“Aku permisi! Ada hal yang lebih penting dari ini semua! Aku tidak mau membuang waktuku!”
“Satu hal lagi yang perlu kamu ingat! Suatu hari nanti kamu akan mendapatkan balasan!”
Gadis polos itu berubah dingin seketika kekecewaan datang dari orang yang ia impikan selama ini. Bahkan, setelah itu ujian kembali datang kepadanya.
***
“Raya?” ucap Barata membuat putrinya terkesiap dari lamunan yang membuat dadanya menyesak.
“Oh, iya ... Ayah. Maaf!” Raya terkesiap setelah kembali mengingat pengkhianatan Tian.
“Kok malah melamun, sih? Bagaimana persiapan pernikahan kalian?” Barata kembali mengulas senyum penuh harapan akan kebahagiaan putri semata wayangnya.
“Hmmm ... aman kok, Yah.” Raya berusaha mengulas senyuman palsu di balik rasa menyesak di dada.
“Syukurlah! Ayah berharap bisa lekas pulih. Karena Ayah ingin melihat senyuman putri Ayah di hari yang paling bahagia,” ucap Barata yang belum mengetahui permasalahan yang tengah Raya hadapi.
Melihat senyuman tulus dari pria paruh baya itu membuat Raya tak kuasa menahan air matanya. ‘Maafkan Raya, tidak bermaksud membohongi Ayah. Tapi ... Raya harus memendam semua ini demi kesehatan Ayah,’ ucap gadis berambut ikal sebahu itu dalam hatinya yang teriris.
“Ray, kok jadi nangis sih?” Barata mulai mengernyitkan dahinya.
“Maaf, Yah! Raya hanya terlalu bahagia membayangkan hari itu. Ja—jadi ....” Raya tak kuasa melanjutkan sandiwaranya. Dia mengusap air mata di pipinya beberapa kali.
“Ayah tahu, kamu sangat bahagia, karena sebentar lagi menikah dengan pria yang selama ini kamu idamkan, iya, kan?” ucapan Barata mengingatkan kembali ingatan Raya tentang Sebastian Danu.
Raya tidak menjawab apa pun. Dia hanya mengangguk dan berusaha tersenyum demi menjaga kondisi sang ayah tetap stabil.
Tidak dipungkiri lagi, bahwa Sebastian Danu adalah pria yang selama ini Raya idamkan. Raya mengenal pemuda itu saat menginjak masa remaja. Tian adalah impian masa depan Raya yang hampir menjadi kenyataan. Namun, kehidupan di dunia tidaklah sempurna. Begitu juga dengan kisah cinta Raya dengan Tian. Tanpa diduga sebelumnya, Tian mengkhianati Raya.
Terlebih lagi, di saat terpuruk itu. Tian justru menyalahgunakan kekuasaan yang sudah Barata berikan kepadanya. Apalagi saat Raya hendak menemuinya untuk meminjam uang. Setelah semua rekening Barata dan Raya diblokir. Bukannya membantu, Tian justru menghindar, dan sulit untuk ditemui.
***
Raya keluar dari ruang rawat inap ayahnya. Dia menangis sembari duduk bersandar ke tembok. Raya menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Dia bingung bagaimana caranya untuk menjelaskan semua itu kepada sang ayah.
“Nona Raya!” panggil seseorang yang saat itu berdiri di hadapannya. Raya mengusap air matanya dengan cepat.
“Om Seno?” Raya gelagapan karena dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya itu.
“Nona Raya, kenapa? Atau Bapak drop lagi?” tanya Seno dengan nada khawatir.
“Bukan, Om!” Raya bingung menjelaskan kepada Suseno—pria matang yang menjadi tangan kanan Barata.
“Lalu ... Nona Raya kenapa?” tanya pria berusia 35 tahun itu.
“Ngga apa-apa, Om!” Raya masih menutupi kenyataan pahit itu.
“Atau masalah yang berhubungan dengan berita pagi ini?”
“Om Seno tolong rahasiakan semuanya! Termasuk filter semua berita tentang saya dan Tian! Saya ngga mau, Ayah drop lagi, Om! Saya mohon rahasiakan ruang perawatan Ayah dari siapa pun juga kecuali saya!”
“Baik, Nona!”
“Tapi kenapa Om Seno datang lebih awal? Atau ada sesuatu yang ingin Om ceritakan?” Raya memang mempercayakan Seno untuk menjaga ayahnya. Terlebih saat ini Raya masih bersembunyi dari Om Sugeng.
“Ini berhubungan dengan bukti-bukti kecurangan Tuan Tian.”
Deg!
“Om Seno sudah mendapatkannya?” Raya berharap kalau orang kepercayaannya itu mendapatkan bukti pengkhianatan Tian di Perusahaan Barata.
“Bukti itu sudah saya dapatkan, tapi ... mereka sangat licik! File yang sudah saya sembunyikan berhasil mereka retas!”
Raya semakin lemas dengan informasi yang dia dapatkan malam itu. “Apa ngga ada cara lain, Om?” Raya masih berharap. Walau kondisinya lemas tak berdaya.
“Akan saya coba lagi, Non! Tapi ... semua butuh waktu. Mereka selalu siaga setiap kali ada saya.”
“Om, rasanya saya ingin marah dan memaki Tian!”
“Saya harap Non Raya bersabar, karena ada satu lagi berita buruk yang harus saya sampaikan sebelum Nona mengetahuinya dari orang lain.”
Raya tercekat. Dia tidak menyangka, harus kembali menelan pil pahit. “Ma—maksud, Om? Berita buruk apa?” ucap gadis itu terbata-bata.
Suseno mengeluarkan secarik surat undangan berwarna ivory berbalut pita berwarna emas. Tatapan mata Raya menajam. Dengan cepat tangannya menyambar undangan itu sebelum Seno menyerahkannya.
Pandangan mata Raya membulat seakan-akan menyimpan bara dendam jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Sekujur tubuhnya gemetaran mendapati nama mempelai yang tertera dalam surat undangan itu.
Hari-hari Raiden semakin tersudut, ketika Tian berusaha untuk mempengaruhi para kolega perusahaan Wilaga, bahwa Raihaga yang saat ini kembali bukanlah pewaris yang sebenarnya. Tentu saja hal itu membuat Raiden semakin gusar. Di satu sisi dia sudah terlanjur masuk dalam peran itu. Di sisi lain dia ingin segera mengakhirinya dengan cara membayar lunas hutang Raiden kepada Baskoro. Di ruangan kerjanya, Raiden hanya menatap layar laptopnya tentang rahasia itu. Dia berpikir untuk menemui sosok yang bernama Ratna. “Tidak mungkin Baskoro tidak mengenal Bu Ratna. Aku harus mencari tahunya,” gerutunya sembari memutar bolpoin di sela jemarinya. Tak lama berselang seseorang yang memuakkan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Raiden. Mata Raiden menajam menatap orang yang datang, “Tampaknya kau begitu sulit melupakanku?” ucap Raiden dengan nada sindiran. “Cuih!” Tian muak melihat wajah Raiden yang menyeringai. “Ngapain ke sini?” tanya Raiden sembari menyandarkan bahunya ke sandaran kursi yan
Kedua netra beradu antara dendam dan masa lalu. ‘Aku tidak akan pernah melupakan pengkhianatan ini, Tian! Kamu sudah membuatku terjerembap dalam kesulitan yang seharusnya tidak pernah aku rasakan!’ batin Raya begitu ingin mendamprat pria pengkhianat di hadapannya. ‘Soraya si gadis malang! Kelinci kecil bodoh! Begitu yang mudahnya aku masuk ke dalam kehidupanmu dan mengeruk kepercayaan beserta harta kekayaan keluargamu!’ batin Tian yang masih saja membenci Raya. Hanya karena Raya berbeda takdir dengan Lusi—gadis yang sebenarnya Tian cintai sejak lama. “Gadis lugu mau ke mana?” tanya Tian sembari menyeringai. Raya hanya diam mengepalkan tangan kanannya dengan begitu erat. Dia tidak mau terjadi keributan yang akan mempersulit Raiden. Raya berusaha menahan amarah dengan tidak menghiraukan Tian. Dia melangkah ke samping untuk menghindari Tian. Namun apa yang terjadi? Tian justru kembali mencegatnya. “Minggir!” ucap Raya. “Kalian memang cocok! Sama-sama penipu!” ucap Tian sembari menc
Raya menunduk malu sembari memejamkan matanya. Dia menduga Raiden adalah pria mesum yang menyentuhnya saat dirinya setengah mabuk. Namun, melihat tatapan Raiden yang tulus membuat Raya merasakan suatu debaran yang telah lama hilang. Debaran yang pernah ada untuk seseorang yang sudah berkhianat kepadanya. Kini debaran itu kembali muncul kepada orang yang berbeda. “Kenapa? Lapar?” tanya Raiden bingung melihat gelagat Raya yang seakan mematung. Padahal Raya sedang mengartikan rasa yang tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya yang terdalam. ‘Astaga! Nggak-nggak, perasaan ini mungkin hanya kebetulan melintas,’ batin Raya yang menolak perasaan yang mulai bersemi. Dia kembali fokus pada topik perbincangannya. “Terus bagaimana dengan rumah ayahku?” Raya mengalihkan pembicaraan. “Oh, itu ... tenang saja! Aku sudah atasi.” “Berhutang?” tandas Raya. “Memangnya kau pikir wajahku ini wajah-wajah penuh kesulitan?” kesal Raiden. “Dari mana lagi?” “Astaga! Bocah ini!” gerutu Raiden. “Aku sudah te
Rasa hangat mulai terasa membelai tubuh Raya. Perlahan dia menggeliat manja, merasakan kenyamanan seakan menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menghidu napas dalam sembari meremas rambut panjangnya. Merasakan sensasi kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya terang yang hangat itu perlahan menyelusup ke matanya yang masih terpejam, membuatnya ingin membuka mata. Raya menyipitkan matanya untuk menatap ke arah jendela yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia diam sejenak memandang setiap sudut ruangan. “Astaga!” “Ini? Nggak mungkin!” Soraya terkesiap melihat ruangan itu. Parahnya lagi, Raya menyadari dirinya sudah mengenakan piama. “Nggak mungkin!” ujarnya sembari duduk di tepi ranjang sambil mengingat kejadian semalam. “Apa aku mimpi?” ucapnya lagi dengan mencubit pipinya. “Aw! Sakit! Berarti ini?” Raya beranjak dan terlihat kebingungan. Ia menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu siang hari. Lalu ia kembali melangkah ragu menuju pintu untuk membukanya. Saat i
Raya seakan mengulangi lagi masa kelamnya sebelum bertemu Raiden. Semua karena ulah Tian yang berusaha menguasai kekayaan keluarga Barata. Malam itu, Raya melangkah gontai mengenakan gaun berwarna marun yang menampakkan belahan dadanya. Sepatunya pun berwarna senada yang begitu kontras dengan warna kulit Raya yang seputih susu. Gincu merah bold dan bulu mata lentik membuat Raya terlihat nakal. Dia memencet bel kamar hotel itu dengan ragu. Tak butuh menunggu lama, seorang pelayan membukakan pintunya. Degup jantung Raya semakin kencang. Dia menyadari konsekuensinya setelah melangkahkan kaki ke dalam sana. “Silakan masuk, Nona!” ucap pelayan itu. Seorang pria dengan seragam serba hitam. “Kenapa di dalam sana gelap sekali?” tanya Raya yang sedikit ketakutan melihat situasi gelap di dalam sana. “Tidak apa-apa, Nona! Saya akan mengantar. Tuan muda sudah menunggu!” Raya berusaha tersenyum di antara hati yang terluka. Dia melangkah mengikuti pelayan itu. Terlihat dari jarak beberapa mete
Suseno berusaha untuk menenangkan Barata yang sudah merindukan rumahnya. Lantaran ia tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi saat ini. “Mohon maaf, Tuan, kalau saya lancang.” “Ya, ada apa, Seno?” “Sebaiknya Anda menunda kepulangan Anda tanpa memberitahu Nona Raya, saya mengerti betul bagaimana Nona sibuk mengatur waktu dengan banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Saya takut, kalau tiba-tiba Tuan pulang tanpa memberitahu, Nona Raya merasa sedih karena Anda tidak melibatkannya.” “Masa sih? Aku rasa Raya justru senang. Ya ... walau sedikit terkejut,” ucap Barata yang masih mengeyel. “Tapi sebaiknya menunggu Nona Raya menemui dokter yang menangani Anda, Tuan!” ucap Seno khawatir. “Sudah pasti Nona Raya akan menyalahkan saya kalau sampai Tuan pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu,” sahut Suseno lagi dengan jurus final. Barata mendengkus tak bisa menolak, “Baiklah aku akan menurutimu! Kita tunggu Raya datang dan aku akan mengatakan kalau aku sudah merindukan suasana rumah y