Alih-alih menjawab pertanyaan Arya, Evita justru terlihat semakin bingung. Wanita itu tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan pria tersebut. "Katakan apa yang sudah terjadi, Vit!" titah Arya yang sangat yakin, jika ada sesuatu yang membebani pikiran Evita saat ini. "Aku tidak tahu, bagaimana harus menjelaskannya padamu." Evita berkata dengan kedua netra yang mulai berembun.Melihat Evita yang tampak terguncang, Arya segera mengambil air yang tersedia di dekat tempat kerja Evita. Ia ingin wanita itu menenangkan diri dulu, sebelum menceritakan semua pada dirinya."Duduklah dulu, lalu minumlah air ini!" pinta Arya.Evita menuruti ucapan Arya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Evita menerima gelas pemberian Arya, lalu meminumnya perlahan."Apakah sekarang perasaanmu sudah lebih baik?" Arya bertanya, setelah melihat Evita meletakkan gelas yang isinya tinggal separuh, ke atas meja.Evita mengangguk pelan. Tapi wajahnya masih terlihat pucat. "Kalau begitu, kita lanjutkan bicarany
Evita tengah fokus pada laptop di hadapannya, ketika dering ponselnya tiba-tiba berbunyi. Wanita itu hanya melirik untuk melihat nama penelepon. Namun keningnya seketika mengerut, ketika membaca sederet nama yang tertera pada layar ponsel.Diambilnya ponselnya. Lalu menggeser tombol hijau. Kemudian menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya."Selamat siang, Pak Usman. Saat ini Pak Arya sedang ada rapat dengan klien. Kalau ada yang ingin Pak Usman bicarakan dengan Pak Arya, Pak Usman bisa mengatakannya pada saya. Nanti saya akan menyampaikannya pada Pak Arya. Atau kalau memang tidak mendesak, Pak Usman bisa menelponnya lagi nanti," kata Evita pada pria yang merupakan sopir di kediaman Arya. Yang biasanya mengantar serta menjemput Alif dan juga Galih dari sekolah. Evita mengira jika Usman menghubunginya untuk menyampaikan pesan kepada Arya. Sebab saat ini atasannya tersebut sedang rapat dengan klien. Dan sudah menjadi kebiasaan Arya, untuk mematikan ponsel saat sedang rapat."Tidak
"Ma-maaf, mengganggu. Saya hanya ingin mengantarkan minuman untuk tamu Pak Arya." Evita berkata dengan bahasa yang formal, karena saat ini keduanya masih berada di kantor. Suara wanita itu terdengar gugup."Terima kasih, Vit. Tolong letakkan minuman itu di meja," ucap Arya, tanpa mengurai rengkuhan pada tubuh Rianti.Evita mengangguk. Bibirnya tersenyum, namun terlihat sangat dipaksakan. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena gugup, Evita mengambil cangkir dan piring dari atas nampan, lalu meletakkannya di tengah-tengah meja.Baru saja Evita hendak berpamitan, tiba-tiba saja tangan kanan Rianti terulur di depannya. "Halo, Kak. Perkenalkan, namaku Rianti" Dengan senyuman ramah, Rianti memperkenalkan dirinya."Halo juga. Nama saya Vita." Evita balas memperkenalkan dirinya. Senyuman sumbang tergambar di wajahnya."Maaf, saya permisi keluar dulu." Evita berpamitan. Ia sudah tidak sabar untuk segera pergi, agar tidak perlu melihat pemandangan, yang menusuk mata dan hatinya. "Kenapa bu
Setelah beberapa saat berpelukan, wanita itu melepaskan lilitan kedua tangannya dari leher Arya. Senyum manis dan mata yang berbinar, menghiasi wajahnya yang cantik."Ayo kita masuk! Sebaiknya kita bicara di dalam saja." Arya mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam ruang kantornya.Wanita itu mengangguk, lalu merangkul lengan Arya. Diikutinya langkah Arya yang berjalan masuk ke dalam ruang kantor."Katakan ... angin apa yang membawamu kemari! Apakah kamu sedang butuh uang untuk membeli tas branded kesayanganmu? Atau mungkin Mama sudah menceritakan sesuatu padamu," tebak Arya, setelah menutup pintu ruang kantornya. Tatapan pria itu terlihat tajam. Mendengar tebakan Arya, sontak kedua netra wanita itu membulat. Ekspresi wajahnya terlihat geram. Tangannya langsung terkepal dan meninju lengan pria tersebut."Memangnya kalau seseorang berkunjung itu harus ada perlunya?" tukas wanita tersebut sambil membuang muka. Mimik wajahnya masam. Kedua tangannya dilipat di depan dada."Bukankah mema
Hening. Tidak ada percakapan antara Arya dan Evita, selama perjalanan mereka menuju kantor. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing."Jangan dipikirkan semua perkataan Mama. Sepertinya seseorang sudah meracuni pikirannya. Mungkin saat ini dia sedang terbawa emosi. Tapi secepatnya, aku akan mencoba bicara lagi dengannya." Arya mencoba menghibur Evita, yang terlihat bersedih.Evita yang tengah melamun sambil menatap pemandangan di luar jendela, perlahan tertunduk. Perasaan sedih, khawatir dan juga bingung, kini bercampur aduk menjadi satu."Yang dikatakan tante Juwi memang benar, Ar. Seharusnya kamu lebih mengutamakan keluargamu daripada aku dan anak-anakku. Kami bukanlah tanggung jawabmu." Dengan suara parau menahan gejolak di dadanya, Evita berkata."Keluargaku?" Arya berkata seraya tersenyum. Satu sudut bibirnya terangkat. Terlihat sinis, tapi juga menyimpan luka."Aku dan Shanum sudah bercerai setahun yang lalu. Saat itu Arsen masih berusia satu tahun. Dia masih bergantun
"Mama. Tumben Mama datang berkunjung pagi-pagi sekali," ucap Arya, seraya bangkit dari duduknya.Arya sangat terkejut dan juga gugup, melihat kehadiran ibunya yang secara tiba-tiba. Apalagi pagi-pagi seperti ini. Biasanya wanita paruh baya itu akan menghubunginya lebih dulu, jika ingin berkunjung. Sebab ia tahu, putranya merupakan seorang pengusaha yang sangat sibuk."Kenapa? Apakah Mama sudah tidak diperbolehkan lagi, untuk datang mengunjungi putranya?" Wanita itu balik bertanya.Alih-alih menatap wajah lawan bicaranya, tatapan wanita bernama Juwita itu justru tertuju pada Evita dan kedua anaknya. Ekspresinya wajahnya menunjukkan perasaan tidak suka, saat menatap mereka. Sehingga membuat Evita merasa salah tingkah dan juga takut "Tentu saja Mama boleh datang kemari, kapan pun Mama mau," sergah Arya, sembari berjalan mendekati ibunya.Arya memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkannya itu. Lalu mengecup kedua pipinya."Bagaimana kabar Mama dan juga Papa? Apakah kalian sehat?" Arya be