Perkataan Alina itu, sukses membuat suami dan madunya bungkam untuk sesaat. Raut wajah mereka semakin terlihat merasa bersalah.
Lily menghampiri kakak madu sekaligus sahabatnya itu dengan wajah melas. Dia mengenggam tangan Alina, matanya berkaca-kaca. "Alina, maafin aku. Ini semua salah aku ... kamu jangan salahkan Mas Reno. Seharusnya aku dan Mas Reno bisa menahan diri dan tidak melakukannya di sana. Tapi kamu tenang aja, mulai malam ini dan seterusnya, Mas Reno akan tidur sama kamu!" Kata-kata yang dilontarkan oleh Lily, seperti sebuah pemberitahuan pada Alina jika mereka semakin mesra dan intim. Setelah 2 bulan ini terus mendiamkan mereka bersikap sesukanya, kini wanita berambut panjang itu pun akhirnya bereaksi. "Aku tahu kok, kalau hubungan kamu sama Mas Reno sangat mesra dan semakin lengket. Udah, nggak usah diperjelas lagi. Aku udah lihat dengan JELAS." Alina tersenyum tipis, dengan atensi tajam tertuju pada madunya itu. Raut wajah Lily langsung berubah, seolah dia ditindas oleh seseorang. "A-apa maksud kamu Al? Kok kamu ngomong gitu sih sama aku?" "Kamu sendiri sudah tahu jawabannya." Setelah mengatakan itu, Alina melangkah pergi dengan santai dan melewati suami juga madunya yang masih berada di dekat meja makan. Seolah-olah, dia tidak melihat mereka berdua di sana. Alina mengambil sesuatu dari dalam kulkas, sedangkan Reno dan Lily terus melihatnya dari belakang. "Mas, kayaknya Alina benar-benar marah sama aku! Gimana ini, Mas?" rengek Lily sambil memegang tangan suaminya. "Kamu tenang ya Ly, biar aku yang ngomong sama Alina." Reno pun menyusul Alina ke dapur yang jaraknya tak jauh dari meja makan. Dia melihat istri pertamanya sedang mengambil sepotong roti dan menyiapkan selai coklat di sampingnya. Tangannya sibuk mengoleskan selai coklat pada roti tawar itu. "Al, aku mau bicara." Reno memulai pembicaraan lebih dulu pada istri pertamanya. "Ngomong aja, Mas. Aku denger kok," jawab Alina sambil tetap melangkah kegiatannya, dia sama sekali tidak terganggu dengan Reno yang berbicara. Tubuh Alina tertarik ke belakang, saat seseorang menarik tangannya. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan Reno. "Apa sih Mas?" decak Alina kesal, karena Reno memegang pergelangan tangannya dengan erat. "Kamu yang kenapa? Kalau suami kamu lagi bicara, dengarkan baik-baik dan lihat matanya!" bentak Reno yang kesal dengan perilaku Alina yang dianggap tidak sopan dan tidak menghargainya sebagai suami. Bentakan itu, berhasil membuat Alina terkejut, hatinya kembali berantakan untuk ke sekian kalinya. Namun, Alina berusaha mempertahankan diri untuk tidak runtuh. Kedua sorot mata yang dulu saling menatap dengan penuh cinta itu, kini berubah menjadi sesuatu yang lain. "Lihat Lily! Dia sampai menangis gara-gara kamu." Reno mengarahkan pandangannya pada Lily yang sedang menangis. Alina juga ikut melihat madunya itu, hanya sebentar. Lalu dia kembali menatap Reno. "Apa susahnya sih tinggal bilang kalau kamu udah maafin, tanpa harus ngomong yang macam-macam sama Lily? Ribet kamu, Al!" Bukannya meminta maaf, tapi pria itu malah berbalik menyalahkan Alina atas semua keadaan ini. "Aku kan udah bilang tadi, kalian nggak usah minta maaf. Aku ... nggak pernah nyuruh kalian buat minta maaf ...," lirih Alina. "Ya, kamu emang nggak nyuruh. Tapi ... kamu bicara seolah-olah kami harus minta maaf sambil berlutut sama kamu. Jangan keterlaluan kamu, Alina!" seru Reno yang semakin menggenggam erat pergelangan tangan Alina. "Lihat Lily. Dia merasa bersalah sama kamu. Tapi, kamu malah membesarkan masalah," tutur Reno lagi mencecar Alina dengan kata-katanya. "Aku? Membesarkan masalah?" Alina meninggikan suaranya, kepalanya mendongak, matanya melotot dan tak terima dengan perkataan suaminya. "Ya! Kamu membesarkan masalah!" teriak Reno yang semakin emosi dengan perangai Alina kepadanya. "Mas Reno, Alina, udah!" teriak Lily sambil berlari menghampiri mereka berdua. Bermaksud untuk menengahi pertengkaran itu. "Ada apa ini ribut-ribut? Suaranya sampai kedengaran ke kamar Mama!" Seorang wanita paruh baya baru saja tiba dari kamarnya, bersamaan dengan Abimana yang juga akan berangkat bekerja. Weni, wanita paruh baya itu menatap Alina dengan tajam. Belum apa-apa, dia sudah menyalahkan wanita itu atas semua yang terjadi. "Pasti kamu buat masalah lagi ya? Kali ini apa yang kamu perbuat, Alina?" tuduh Weni dengan sarkas, yang langsung melayangkan godam ke dalam hati Alina. "Udah mandul, suka bikin masalah. Emang kamu tuh nggak tahu diri ya! Harusnya kamu tuh bersyukur, suami kamu masih mempertahankan kamu. Bukan malah ngelunjak kayak gini!" Jangankan untuk menjelaskan, Alina bahkan tidak diizinkan untuk bicara sepatah katapun oleh ibu mertuanya. Weni terus saja menghina dirinya habis-habisan. Menghina kekurangannya sebagai seorang wanita yang tidak bisa mengandung. "Ma, cukup! Mama udah keterlaluan!" ujar Abimana yang angkat bicara. Dia tidak tahan melihat Alina selalu direndahkan. Alina semakin sakit hati, dalam hati dia menjerit, mengapa suaminya diam saja di saat ibunya menghina dirinya seperti ini? Weni mendelik tajam pada Abimana, lalu dia berkata dengan tajam. Setajam tatapannya. "Kamu diam saja, Abi! Ini bukan urusan kamu." Abimana terdiam, setelah ibunya membentaknya. "Dan kamu Alina ... kamu pembawa sial!" Wanita paruh baya itu kembali menghina Alina dengan kata-katanya yang sarkas. Tangan Weni melayang ke atas dan mengarah pada wajah Alina. "Mama, jangan!" Lily berteriak, berusaha mencegah ibu mertuanya untuk tidak berbuat kasar pada kakak madunya. Namun, sesuatu yang mengejutkan semua orang, terjadi saat Weni akan menampar Alina. "LILY!"Alina dibawa ke rumah sakit setelah dirasa air ketubannya sudah pecah, dibantu oleh orang-orang yang ada di butik. Mereka naik ambulance agar lebih cepat sampai dan bisa menghindari kemacetan. Alina ditemani oleh Tira, sementara bayinya dititipkan pada ibu mertuanya lebih dulu. Disaat-saat seperti ini, Tira harus ada bersama dengan Alina. Bahkan saat Tira melahirkan putranya yang bernama Aksa, Alina ada di sana bersamanya."Bu, apa sudah dihubungi suaminya?" tanya seorang perawat pada Tira."Iya, ini mau saya telpon, Sus." Tira mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Dia bergegas menghubungi Abimana untuk memberitahukan kondisi istrinya.3 kali ditelpon, tapi Abimana tidak kunjung mengangkat telponnya. "Aduh, si pak Abi gimana sih? Biasanya juga gercep angkat telpon. Kok ini mendadak lemot."Hingga akhirnya dia menelpon suaminya, karena dia baru ingat kalau suaminya mungkin saat ini sedang bersama dengan Abimana untuk membahas masalah pekerjaan."Halo Mas Rey!""Ada apa yang?" tan
Apa yang sudah diputuskan Abimana harus terlaksana, apalagi jika itu mengenai istrinya. Siang itu, Abimana sudah berada di depan butik untuk menjemput istrinya. Meski istrinya sudah mengatakan padanya, kalau dia tidak mau pergi ke dokter."Mas, aku kan udah bilang sama Mas. Aku nggak mau periksa ke dokter. Ini cuma asam lambung doang," ucap Alina kesal.Abimana menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya terlihat datar dan tatapan matanya menunjukkan kalau dia tidak menerima penolakan."Pokoknya kalau aku bilang pergi ke dokter, harus ke dokter.""Aku kan nggak kenapa-napa Mas.""Pokonya ke rumah sakit!" ujar Abimana tegas.Bibir Alina mencebik saat mendengar keras kepala suaminya. Abimana memang sulit diubah pikiran dan tekadnya. Jangan lupa, bahwa pria itu adalah pejuang yang keras kepala. Dia keras kepala dan bersikeras mendapatkan Alina. Dari awal sampai akhir, dia terus berusaha sampai dia bisa mendapatkannya. Inilah dia dan keras kepalanya yang tak bisa diganggu gugat.Dengan terpa
"Mas berangkat duluan ya Sayang." Pria itu memberikan kecupan mesra di kening istrinya seraya berpamitan."Kita barengan aja Mas. Aku juga kan mau ke butik," kata Alina sambil menyimpan gelas air minum yang sudah kosong ke atas meja. Dia juga sudah bersiap-siap untuk pergi ke butik.Abimana malah kembali membuatnya duduk di atas kursi. Padahal Alina sudah berdiri dan siap-siap pergi ke butik. "Kamu berangkatnya agak siangan aja Sayang. Semalam kan kita habis anu, kamu pasti masih capek."Lagi-lagi Abimana mengingatkan mereka akan malam panas mereka semalam. Meski sudah berkali-kali melakukannya dan membahas ini, Alina tetap merasa malu. "Mas...""Kenapa sih? Orang cuma ada kita berdua aja di sini. Kamu masih malu?" goda Abimana seraya memegang dagu sang istri.Matanya menatap istrinya dengan penuh cinta seperti biasa. Dia tidak pernah bosan melihat istrinya setiap hari dan hampir setiap detik, cintanya bertambah terus menerus seakan tak akan pernah habis dan selalu diisi ulang.Inikah
Rey melihat istrinya sedang jongkok sambil memegangi perutnya. Tak hanya itu, kedua mata istrinya berurai oleh cairan bening yang hangat. Suara tangisannya terdengar menyakitkan, sampai ke ulu hati Rey."Sayang? Kamu kenapa di sini?" tanya Rey yang tak kunjung membuat sang istri berhenti menangis dan mau melihat ke arahnya. Tira malah semakin menyembunyikan dirinya dari Rey."Maafin aku ya, Sayang." Pria yang akan segera jadi ayah itu, ikut berjongkok bersama istrinya dan disamping istrinya. Dengan tulus dia meminta maaf, tapi Tira sepertinya tidak mempercayai permintaan maafnya dan malah berkata lain-lain."Ngapain kamu ke sini? Pasti kamu mau marahin aku lagi kan? Sana pergi! Jangan ganggu aku sama bayiku," ujar Tira mengusir suaminya pergi dari sana dengan wajah bad mood."Eh? Kok gitu sih? Bayi kita ya, bukan bayi kamu aja. Orang aku kok yang nanam benihnya," celetuk Rey yang sontak saja mendapatkan pelototan maut dari istrinya. "Kenapa? Aku bicara benar kan? Benihnya dari aku loh
Ketika ibu dan ayah mertuanya menanyakan keadaannya, Tira hanya bisa menangis sambil mengatakan maaf. Mereka jadi kebingungan melihat Tira seperti ini. Hingga akhirnya Rey yang masih setengah sadar, tiba di dapur dan melihat asap mengepul di sana."Ada apa sih? Siapa orang yang masak malam-malam dan bikin dapur kebakar kayak gini?" tanya Rey pada semua orang yang sudah ada di sana.Papa Rey terlihat kesal dengan perkataan putranya. Dia terlihat santai, padahal istrinya bisa saja terluka saat berada di dapur. "Rey! Kamu ini gimana sih? Kenapa kamu biarkan istri kamu ke dapur sendiri hah?""Hah? Istriku ke dapur sendirian?" kata Rey dengan polosnya."Iya, sepertinya dia lagi masak nasi goreng tapi gosong nasinya. Kenapa sih kamu nggak perhatian sama istri kamu?" ucap mamanya kali ini dengan galak."Ma, tolong jangan marah-marah sama Mas Rey. Aku sendiri yang mau ke dapur, ini bukan salah dia." Tira membela suaminya, karena memang dia sendiri yang ingin pergi ke dapur dan membuat makanan
Ketika Alina dan Abimana sedang menikmati masa bulan madu mereka yang indah. Rey dan Tira sedang menikmati masa sebelum mereka menjadi orang tua. Kandungan Tira sudah menginjak bulan ketiga ,dia sudah tidak mengalami mual-mual lagi seperti sebelumnya. Tapi sekarang sikapnya sangat membuat Rey kebingungan. Setiap hari Rey dibuat sibuk dan Tira tidak bisa melihat suaminya diam."Rey, bangun. Rey." Tira menggoyang-goyangkan tubuh suaminya dengan kedua tangannya.Dia mencoba membangunkan suaminya itu. Namun, Rey masih tertidur lelap dan belum ada tanda-tanda mau bangun. Tira semakin jengkel dan akhirnya dia pun mengambil peluit yang ada di dalam lemari nakas. Kemudian dia meniup peluit itu tak jauh dari telinga Rey.Prit... Prit...Suara peluit itu terdengar kencang dan kontan saja membuat kedua mata Rey terbuka lebar. Pemuda itu benar-benar terbangun. "Astaghfirullah! Sayang!" pekik Rey kaget, seraya mengorek-ngorek telinganya yang terasa sakit setelah apa yang dilakukan istrinya barusan