"Jangan berteriak! Meski aku sedang terluka, aku bisa saja membunuhmu.”
Akh
Damian mengerang kesakitan.
Di luar rumah.
"Ke mana perginya?"
"Dia terluka parah, jadi mana mungkin dia bisa kabur secepat itu. Cepat cari sekitar!"
Suara di luar kediaman Dony sangat ramai dengan banyaknya lelaki berpakaian hitam dan memakai masker.
Damian menyeret tubuhnya, duduk bersandar di dinding kamar. Dia bisa bernapas lega saat orang-orang misterius itu pergi. Yura berdiri dan mundur, merasa gemetar di seluruh tubuh melihat Damian yang kesakitan. Memori saat keluarga tercinta dibantai habis-habisan kembali muncul di benaknya. Hanya tersisa Ayah yang terkulai dalam koma, saat ini.
"Yura, papah aku!"
'Perlukah aku membunuhnya saat dia terluka? Asalkan aku berteriak, dia akan mati di sini. Maka, kejadian malam itu tak akan ada yang tahu,' batin Yura.
Melihat Yura tak bergeming, mata yang semula penuh harap itu seketika sirna, beralih kilatan tajam bak elang yang siap membunuh. "Ternyata kamu sama saja dengan yang lainnya, menginginkan aku mati."
Yura masih tak menjawab, membuat Damian kembali berkata meski kesulitan napas. "Kuberi tahu kau, meski aku mati malam ini, aku juga tak akan mengampuni …."
Damian tersentak ketika Yura duduk di depannya. Tak hanya itu, tangan Yura kini memegang cotton buds yang sudah diolesi obat merah. Sejak kapan dia melakukannya?
Dengan kebingungan itu, Damian ingin berkata lagi, tapi Yura sudah menghentikannya.
"Jangan bergerak, aku akan mengobati lukamu!"
Damian menolak. "Menyingkirlah!"
"Sudah terluka, tapi masih saja banyak bicara," gerutu Yura tanpa menghentikan gerakan tangannya.
"Kemarin aku berkata kasar, kamu masih tak takut padaku?"
"Takut. Siapa yang tak takut pada CEO dingin dan kejam seperti Tuan Damian."
"Lalu?"
Yura tertegun. "Aku pernah melihat orang hampir mati di depanku dan aku tak bisa melakukan apapun hingga dia meninggal dunia di depan mataku. Kali ini, aku tak akan melakukan hal yang sama," ucap Yura fokus pada luka Damian. Namun tatapannya kosong, menyiratkan trauma mendalam.
Damian melihat intens seorang Yura, seolah mencari kebenaran kalimat yang baru saja terucap. Ada kesamaan rasa yang sulit untuk dijelaskan, tetapi mereka bisa saling memahami meski hanya lewat tatapan. Rasa apakah itu?
Ya, rasa kesepian dan trauma kehilangan orang yang disayangi.
Detik berikutnya
Tatapan mereka bertemu, manik mata coklat hazel bertabrakan dengan netra hijau zamrud penuh keteduhan. Sesaat mereka lupa pada jati diri masing-masing. Damian pun tak bisa mengendalikan emosi jiwa yang menuntunnya pada bibir berlipstik nude itu.
5 centi
3 centi
Shrek
Mereka hampir berciuman jika saja Yura tak mengalihkan pandangannya. Seketika gelenyar aneh menyeruak di dalam dada, membuat Yura tak nyaman dan salah tingkah.
"Apakah sakit?" tanya Yura mencairkan suasana.
Aakh.
Belum sempat Damian menjawab, Yura sudah berteriak membuatnya heran. "Aku yang sakit, kenapa kamu yang berteriak?"
"Aku mewakili orang sombong yang merasakan sakit."
Damian sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran seorang Yura. Membiarkan wanita manis itu merawatnya sepenuh hati, menyembuhkan lukanya. Di sela-sela kegiatan, Yura menyampaikan apa yang menjadi beban pikirannya. "Luka apa ini? Dan siapa mereka tadi?"
"Mereka adalah orang suruhan Luhan."
"Kakek Luhan?" jerit Yura, membuat Damian segera membekam bibir Yura. "Bisakah kamu pelankan suaramu?"
"Maaf. Tapi, kenapa Kakek Luhan ingin membunuh cucunya sendiri?"
"Ceritanya panjang. Suatu saat nanti akan aku ceritakan."
Yura mengangguk pasrah meski otaknya dipenuhi beribu pertanyaan, memilih fokus menutup luka Damian dengan perban. Tangan Yura yang lihai membuat simpul pada perban di perut Damian. Segera beralih tapi Damian mencekal Yura dan mendekatkan diri.
"Tuan Damian, aku telah menolongmu. Tolong jangan begini?" tolak Yura.
Ekhem
"Maaf. Aku berhutang nyawa padamu. Katakan, apa yang kamu inginkan? Aku akan mengabulkannya."
Yura berpikir sejenak, ingin meminta perlindungan dari seorang Damian.
"Kenapa diam, Yura? Katakan saja. Keluarga Baskoro hanya memanfaatkanmu untuk kepentingan semata. Mereka sangat egois dan kejam. Jika kamu tak sanggup hidup dalam penjara yang mereka buat, aku akan membantumu keluar dari sini."
'Tapi keselamatan Ayahku taruhannya. Aku harus menyelamatkannya dahulu. Apakah aku harus meminta bantuan Damian? Tidak, tidak. Emosinya tidak stabil saat ini. Aku belum sepenuhnya mengerti Damian. Bagaimana jika benar benar tak mau melepaskanku setelah aku menceritakan semuanya?'
"Tidak, terima kasih. Aku merasa bahagia di sini."
"Hidup dengan lelaki yang jelas jelas berselingkuh di depanmu?"
Yura mengangguk membuat Damian tak percaya.
'Apakah Yura benar- benar mencintai Dony? Mengapa masih ada wanita seperti dia,' pikir Damian, menggelengkan kepala.
"Kamu berkata, akan mengabulkan permintaanku sebagai rasa terima kasih. Aku akan meminta satu permintaan."
Damian menatap intens Yuna. "Katakan!"
"Kejadian malam itu, tolong lupakan dan anggap tak pernah terjadi. Aku ingin kita tak berhubungan lagi setelah ini, seperti orang asing. Hanya sekedar kakak dan adik ipar."
Hufh
Damian mendesis tak suka. Mengapa wanita ini harus meminta hal yang tak ingin dilakukannya. Meski tak ingin, Damian mengangguk dan mengalihkan pandangan. Baginya, permintaan Yura sungguh keterlaluan.
Yura mengulurkan tangan, tersenyum sangat manis, membuat Damian membeku sesaat. Senyuman itu, senyuman tulus yang belum pernah dilihat darinya setelah beberapa kali pertemuan ini. Damian merasa telah jatuh cinta pada adik iparnya sendiri. Bahkan dia lah yang membuka segelnya. Namun, semua harus berakhir atas permintaan Yura sendiri. Bagaimanapun, lelaki harus menepati ucapan dan janjinya.
Damian menyambut uluran tangan Yura.
Shrek
Yura dipeluk erat, tatapan mereka bertemu dan Damian mengurut dagu lancip itu dengan tangannya. "Baik. Aku akan menjauhimu. Namun, jika setelah ini kamu masih mendekati aku, akan kupastikan, kamu tak bisa lepas untuk selamanya."
"Tidak akan pernah."
Shrek
Damian melepas kasar pelukannya dan beranjak, pergi dengan langkah terseok tanpa berkata lagi.
Huft
Yura mengelus dada, terasa batu besar yang sedari tadi menghimpitnya telah lepas darinya. Kali ini dia terbebas dari lelaki menakutkan dan dingin itu. Namun, entah mengapa Yura merasa jika ada yang aneh di hatinya. Sesuatu yang tak bisa dipastikan, apa rasa aneh itu?
Yura memutuskan istirahat, melepas semua beban yang telah dijalani seharian ini. Bersiap menjalani kehidupan esok hari. Tanpa bertemu dan berhubungan dengan Damian tentunya.
***
Damian sedang fokus pada pekerjaan kantor. Dia sedang mengevaluasi setumpuk berkas saat Andi, asistennya masuk ruangan. Dia datang dengan kening mengkerut dan bergerak gelisah. Kentara sekali jika ada yang tak beres.
"Ada apa?" tanya Damian.
"Bos ada yang mencarimu."
"Siapa?"
"Nyonya Dony, Yura."
"Apa?"
Yura masuk ruang kerja Damian. Andi segera keluar ruangan, memberi privasi kepada mereka. Damian mendekati Yura yang kini memakai dress peach selutut tanpa lengan. Terlihat sangat cantik dan membuat Damian terpukau. Kini ada dua rasa bertubrukan di sana, antara cinta dan amarah.
"Katakan, apa yang membuatmu berani datang kemari dan menggangguku lagi?"
"Aku ...."
"Apa kamu sengaja mempermainkanku, hah?"
Apa yang terjadi selanjutnya?
Saat ini Arkan ingin menikmati keindahan Dubai. Arkan melangkah gagah di tengah keramaian Dubai, cahaya sore di kota itu memantul di matanya yang berkilau penuh kekaguman. Ia memasuki area Dubai Mall, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di dunia, dengan langkah-langkah santai yang seolah menikmati setiap detail keindahan arsitektur modern yang mengelilinginya. Sesekali, ia berhenti, mengambil foto pemandangan atau bangunan ikonik dengan ponselnya, seraya sesekali matanya tertangkap oleh kecantikan para wanita yang juga sedang menikmati malam.Dalam salah satu sudut mall, ia melihat seorang wanita dengan gaun biru yang memukau, rambutnya yang panjang tergerai indah. Wanita itu, dengan anggunnya sedang memilih aksesoris di etalase butik mewah. Arkan, dengan rasa ingin tahu yang dipicu, perlahan mendekat, berusaha untuk tidak terlihat seperti mengganggu."Eh, cantik banget ya dress biru yang kamu pakai, sist!" ucap Arkan, matanya berbinar saat mendekati seorang wanita di sudut etalase
Satu jam sebelumnya.Saat ini Arkan ingin menikmati keindahan Dubai. Arkan melangkah gagah di tengah keramaian Dubai, cahaya sore di kota itu memantul di matanya yang berkilau penuh kekaguman. Ia memasuki area Dubai Mall, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di dunia, dengan langkah-langkah santai yang seolah menikmati setiap detail keindahan arsitektur modern yang mengelilinginya. Sesekali, ia berhenti, mengambil foto pemandangan atau bangunan ikonik dengan ponselnya, seraya sesekali matanya tertangkap oleh kecantikan para wanita yang juga sedang menikmati malam.Dalam salah satu sudut mall, ia melihat seorang wanita dengan gaun biru yang memukau, rambutnya yang panjang tergerai indah. Wanita itu, dengan anggunnya sedang memilih aksesoris di etalase butik mewah. Arkan, dengan rasa ingin tahu yang dipicu, perlahan mendekat, berusaha untuk tidak terlihat seperti mengganggu."Eh, cantik banget ya dress biru yang kamu pakai, sist!" ucap Arkan, matanya berbinar saat mendekati seorang wa
Para pebisnis tampak mengernyit, lalu satu demi satu mulai mengangguk. Seorang pebisnis senior, dengan tatapan tajam namun penuh penghargaan, bangkit berdiri. "Saya rasa, kita perlu mendengarkan lebih banyak lagi dari ide brilian ini. Saya dukung." Sejenak ruangan dihiasi dengan hening, sebelum akhirnya tepuk tangan menggema.Damian dan Arkan saling pandang, tersenyum penuh kemenangan. Sambil berjabat tangan dengan para pebisnis, Damian berbisik kepada Arkan, "kita berhasil, Arkan!" "Berhasil, Bos! Berkat teamwork kita!" Arkan membalas dengan senyum lebar."Sekarang adalah inti dari pertemuan ini." Damian tegas meminta, "Kalian sebagai inverstor terkemuka dan berpendidikan pasti bisa melihat masalah yang saya hadapi. Jadi, aku harap kalian mencabut daftar nama investor yang telah dipublikasikan oleh Dony."Setiap kata yang diucapkannya begitu berbobot, tak ada keraguan yang terlihat dari raut wajahnya. "Ini bukan hanya tentang kerugian finansial, tapi juga tentang reputasi dan keperca
“Em, pilih mana ya?” ucap Yura memikirkan, tampak kebingungan. “Kita datangi dua-duanya saja.”Kedua restoran inilah yang dipilih Yura dan Damian. Mereka bergegas menuju lokasi yang dipilih. Terlihat Damian beberapa kali menghela napas lega, terasa tak percuma dia membawa Yura datang ke sini. Sayang sekali ayah Yura belum sembuh. Jika sembuh, sudah pasti Yura akan mengajaknya dan Damian pasti menurutinya.Setelah selesai menikmati sajian nikmat di At.mosphere, mereka menuju tempat kedua yaitu restoran Pierchic yang merupakan restoran seafood yang terletak di Hotel Jumeirah. Pierchic memberikan kesan makan di pinggir laut karena lokasi yang benar-benar di ujung dermaga Al-Qasr, yang merupakan bagian dari Hotel Jumeirah.“Kita dapat menikmati makanan seperti kerang, sashimi, lobster dan ikan segar di Pierchic. Selain memanjakan lidah, Pierchic juga menawarkan pemandangan laut yang indah, serta Teluk Arab, Garis Pantai Dubai, Palm Jumeirah, dan Burj Al Arab.Pierchic memiliki Pierchic Ba
"Ada masalah yang harus aku selesaikan. Maaf, harus meninggalkanmu sebentar."Yura mengangguk, meski kecewa terlihat jelas di wajahnya. "Tentu, aku mengerti, tapi kamu akan baik-baik saja kan, Damian?" tanyanya, penuh kekhawatiran. Damian menghela napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat."Aku membutuhkan bantuan teman dan aku harus menghubunginya sekarang juga. Ini penting, Yura." Damian berdiri, memberikan ciuman singkat di dahi Yura, sebuah gestur yang mengatakan banyak hal tanpa kata-kata. Yura membalas dengan senyuman pahit, tahu bahwa saat ini cinta mereka harus berbagi dengan kenyataan yang keras. Damian bergegas meninggalkan Yura, meninggalkan Yura dengan cake yang belum selesai dan bunga lavender yang masih harum.Di luar ruangan ayah Yura, Damian duduk di kursi sambil menghela napas panjang, Damian meraih teleponnya. Ia harus berbicara dengan tim hukumnya, mencari celah yang bisa dimanfaatkan tanpa melanggar aturan."Kok susah banget ya cari nomor mereka ini," gumam Dami
Damian mengambil cincin dengan hati berdebar, lalu matanya tak lepas dari wajah Yura yang penuh antisipasi. Ketika cincin berlian itu tersingkap dari sela sela cake dan butter, sinar mata Yura berkilau seakan menyamai kilau batu berharga tersebut. Damian perlahan membersihkan cincin tersebut dengan tisu dan menyodorkannya pada Yura dengan posisi berjongkok dengan satu kaki bertumpu lantai. "Yura, will you married with me?""Aku....""Yes, I'm willing to marry you."Damian menampakkan senyum lebar, mata berkilat menunjukkan hati yang penuh bahagia. Ia meraih tangan Yura, lembut namun penuh arti. "Ini?" suaranya bergema kejutan saat mata Damian tertumbuk pada cincin indah di jari manis Yura."Ini..." Yura berhenti sejenak, kemudian dengan gerakan dramatis melepas cincin itu dari jari. "Hei, kenapa dilepas? Jangan dibuang!" Damian cepat-cepat menahan tangan Yura yang tampak ingin membuang cincin tersebut.Namun, tindakan Yura bukan untuk membuangnya. Dengan senyum nakal, Yura memasangnya