Share

Bab 3

“Lu jangan gila, Adrian!” sungutku. “Lu sekarang sudah menikah dengan Alana. Jangan lupakan jika pernikahan kalian bermula karena pengkhianatan kalian juga.”

Jujur saja, aku tak habis thinking dengan Adrian yang masih memintaku untuk kembali bersamanya, padahal jelas-jelas kini ia sudah menikah dengan Alana—sepupuku.

Entah apa yang ia mau? Di saat semua orang ber-euforia dengan acara pernikahannya, dia justru pergi dan mengejarku.

“Aku gak peduli, Divya. Percaya sama aku ... aku cinta sama kamu.”

Susah payah kuteguk ludah yang terasa keras lewat kerongkongan. Adrian sepertinya sengaja menyiram bensin pada percikan bara api.

Baru saja ingin berbicara, sosok yang kukira motornya sedang mogok tadi datang dan membuka helm-nya. Membuatku melongo tak percaya.

Apa jangan-jangan Adrian memang sengaja ingin menjebakku? Licik sekali dia.

“Dia ….” Aku menunjuk pria berambut gondrong itu, menatapnya bergantian dengan Adrian.

Adrian tersenyum licik. “Ya, dia temanku.”

“Sialan!” Aku menendang kaki Adrian cukup keras dan mendorong tubuhnya yang mengurungku sekuat tenaga hingga ia nyaris terjungkal.

Bisa-bisanya dia merencanakan sesuatu yang berpotensi mencelakai orang lain? “Lu gila ya? Gue hampir mati gara-gara lu!”

Aku hendak berlalu, walau tak tahu bagaimana caranya pulang dalam keadaan seperti ini?

Namun, yang kupikir adalah bisa pergi dulu dari hadapan Adrian, selebihnya nanti kupikirkan.

Hanya saja, baru melangkah, Adrian kembali menahanku. “Div. Beri aku kesempatan sekali lagi,” mohonnya.

Tatapannya memelas, tetapi aku sama sekali tak merasa iba. Sesaat kemudian, ia menggenggam erat tanganku, seolah enggan melepaskan.

“Maafin aku, aku gak bisa putus dari kamu. Aku janji gak akan ngulang kesalahan lagi. Aku janji bakal perbaiki semuanya, Div. Maafin aku. Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku pasti akan berubah.”

Tak ingin terbuai, aku menarik kasar tanganku dari genggaman Adrian. Kutatap ia penuh emosi.

“Kalau dari awal lu gak bisa putus dari gue, kenapa lu bisa selingkuh sama Alana?!” Aku tersenyum sinis. “Jangan ngelawak, deh. Lu pacarin gue hanya karena ngejar target buat akuisisi perusahaan keluarga gue, kan?”

“Gak, Div. Jika kamu mau, aku bisa menceraikan Alana sekarang.”

Plak!

Akhirnya, telapak tanganku yang gatal ini mendarat keras di pipi Adrian membuatnya memegang pipi barangkali merasakan perih.

“Cukup gue yang lu permainkan, jangan Alana!” kataku penuh penekanan, menatap hampa Adrian.

Marah, pria itu mendadak memberi kode pada teman-temannya. Entah kode apa, jujur aku sangat takut mereka melakukan hal-hal di luar nurul padaku.

Teman-teman Adrian menjauh, sedang Adrian melangkah semakin mendekat ke arahku.

“Baiklah, kalau gak mau dengan cara lembut, aku akan paksa kamu ikut bersamaku, Sayang,” bisiknya tepat di dekat telingaku. Bahkan, embusan napasnya yang bau alkohol dapat tercium, membuatku jijik dan mual.

Seolah tahu bakal mendapat penolakan, Adrian menyeret tubuhku dan memaksa masuk ke mobil.

“Lepasin gue, Adrian!” seruku, tetapi tak dihiraukan.

“Ih, lepasin!”

Ia hanya tertawa sumbang melihatku tak berkutik. Detik kemudian, dia mendorong tubuh ini hingga terjerembab di kursi tengah mobilnya.

“Apa pun yang terjadi malam ini di antara kita, aku pastikan akan menjadi rahasia berdua.”

“Adrian, lu mau ngapain?” tanyaku panik. Jangan sampai dia melakukan hal yang iya-iya padaku.

Adrian tak menjawab. Dia kini mengunci pergerakanku, mengungkung tubuh ini di sana sehingga kini posisiku sudah berada di bawahnya.

“Tolong!” teriakku, berharap siapa pun mendengarkan dan segera menolongku. Tapi, kurasa percuma karena di tempat ini hanya ada aku, Adrian, dan temannya yang tak mungkin bisa kumintai pertolongan.

Barangkali, yang dilakukannya padaku sekarang juga sudah menjadi bagian dari rencana mereka.

“Minta tolong sama siapa, Sayang? Di sini terlalu sepi,” ujar Adrian bernada ejekan.

Adrian benar. Tempat ini terlalu sepi untuk meminta tolong.

Walaupun begitu, tak akan kubiarkan ia sedikit pun menyentuhku lebih jauh dan melakukan hal yang diinginkannya.

Dengan sekuat tenaga, aku mendorong tubuhnya yang menindihku, tetapi nihil karena kekuatannya lebih besar dariku.

Bau alkohol dari mulutnya semakin menguar manakala wajahnya semakin dekat padaku.

“Jangan lakukan itu, kumohon,” lirihku dengan air mata yang tanpa kuminta sudah keluar dengan sendirinya.

Berharap sedikit saja iba dari Adrian yang tampak sedang dikuasai jurik bejat.

Aku juga tidak menyangka jika dia bisa-bisanya merencanakan hal buruk padaku saat seharusnya ia menikmati malam pengantinnya dengan Alana.

Tak berselang lama, tiba-tiba tubuh Adrian terangkat, terseret ke luar dari mobil dan dalam sekejap terbanting ke tanah.

Tak mau membuang kesempatan, gegas aku bangkit dan berlari ke belakang pria yang tidak kukenali itu sekadar mencari perlindungan. Setengah wajahnya tertutup masker membuatku sulit mengenalinya.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Adrian tersungkur setelah mendapatkan hantaman bertubi-tubi dari pria itu.

Sadar atau tidak, tetapi aku melihat pria bermasker itu seolah sengaja melampiaskan amarah yang menggebu pada Adrian.

Di sudut lain, dua teman Adrian pun bernasib sama.

Mereka terbanting ke tanah setelah dihantam habis-habisan juga oleh teman pria misterius yang tiba-tiba datang menjadi pahlawanku itu.

“Wah, ada pahlawan kegelapan,” cibir Adrian sambil menghapus darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya.

“Lu kalau laki lawan gue, jangan jadi pegecut yang beraninya sama cewek!” bentak pria itu. Membuatku sedikit terperangah mendengar suaranya.

Aku seperti tidak asing dengan suaranya.

Pria itu merongoh kacamata bening dari saku jaketnya, lantas mengenakannya. Setelah itu, ia memukul Adrian, sekali lagi. Lalu, berjalan ke arahku dan membawa pergi, tanpa sepatah kata.

“Bro, thank you, ya!” teriaknya pada dua pria yang juga mengenakan masker.

Suasana canggung pun menyelimuti kami di dalam mobil.

Sesekali, aku mencuri pandang ke arahnya yang entah kenapa betah sekali memakai masker.

Aku kan jadi penasaran seperti apa rupa sosok penolong yang dikirimkan Tuhan untukku itu?

“Terima kasih sudah menolongku,” ujarku memecahkan keheningan.

Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali fokus menyetir mobilnya. Ih, kesal banget dikacangin.

“Kalau kamu mau, nanti kapan-kapan aku traktir makan sebagai ucapan terima kasihku atau kamu boleh bilang padaku, apa yang kau inginkan?” Aku berusaha mencairkan dana, eh suzana. Suasana, maksudku.

Detik berikutnya, pria itu memperbaiki posisi kacamatanya dan dalam sekejap membuka masker membuatku membulatkan mata selebar-lebarnya, walau tak selebar mata ibu-ibu kompleks yang setia setiap saat mencari detail kesalahan targetnya.

Hingga beberapa saat, aku mengedip-ngedipkan mata barangkali sedang katarak, jadi salah lihat. Namun, wujud pria itu tak berubah bentuk.

“Kenapa, Vy? Kaget liat cowok ganteng?” tanyanya spontan membuatku melongo.

“Nizar, kamu?!”

“Ya. Ini aku,” ucapnya tersenyum tipis. “Apa kabar?”

Baru juga mau menjawab, tetapi mantanku yang terkenal playboy itu justru bicara kembali, “Ah, aku tau kabarmu baik, tetapi hatimu yang gak baik kan? Mau aku obatin?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status