“Lu jangan gila, Adrian!” sungutku. “Lu sekarang sudah menikah dengan Alana. Jangan lupakan jika pernikahan kalian bermula karena pengkhianatan kalian juga.”
Jujur saja, aku tak habis thinking dengan Adrian yang masih memintaku untuk kembali bersamanya, padahal jelas-jelas kini ia sudah menikah dengan Alana—sepupuku.Entah apa yang ia mau? Di saat semua orang ber-euforia dengan acara pernikahannya, dia justru pergi dan mengejarku.“Aku gak peduli, Divya. Percaya sama aku ... aku cinta sama kamu.”Susah payah kuteguk ludah yang terasa keras lewat kerongkongan. Adrian sepertinya sengaja menyiram bensin pada percikan bara api.Baru saja ingin berbicara, sosok yang kukira motornya sedang mogok tadi datang dan membuka helm-nya. Membuatku melongo tak percaya.Apa jangan-jangan Adrian memang sengaja ingin menjebakku? Licik sekali dia.“Dia ….” Aku menunjuk pria berambut gondrong itu, menatapnya bergantian dengan Adrian.Adrian tersenyum licik. “Ya, dia temanku.”“Sialan!” Aku menendang kaki Adrian cukup keras dan mendorong tubuhnya yang mengurungku sekuat tenaga hingga ia nyaris terjungkal.Bisa-bisanya dia merencanakan sesuatu yang berpotensi mencelakai orang lain? “Lu gila ya? Gue hampir mati gara-gara lu!”Aku hendak berlalu, walau tak tahu bagaimana caranya pulang dalam keadaan seperti ini?Namun, yang kupikir adalah bisa pergi dulu dari hadapan Adrian, selebihnya nanti kupikirkan.Hanya saja, baru melangkah, Adrian kembali menahanku. “Div. Beri aku kesempatan sekali lagi,” mohonnya.Tatapannya memelas, tetapi aku sama sekali tak merasa iba. Sesaat kemudian, ia menggenggam erat tanganku, seolah enggan melepaskan.“Maafin aku, aku gak bisa putus dari kamu. Aku janji gak akan ngulang kesalahan lagi. Aku janji bakal perbaiki semuanya, Div. Maafin aku. Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku pasti akan berubah.”Tak ingin terbuai, aku menarik kasar tanganku dari genggaman Adrian. Kutatap ia penuh emosi.“Kalau dari awal lu gak bisa putus dari gue, kenapa lu bisa selingkuh sama Alana?!” Aku tersenyum sinis. “Jangan ngelawak, deh. Lu pacarin gue hanya karena ngejar target buat akuisisi perusahaan keluarga gue, kan?”“Gak, Div. Jika kamu mau, aku bisa menceraikan Alana sekarang.”Plak!Akhirnya, telapak tanganku yang gatal ini mendarat keras di pipi Adrian membuatnya memegang pipi barangkali merasakan perih.“Cukup gue yang lu permainkan, jangan Alana!” kataku penuh penekanan, menatap hampa Adrian.Marah, pria itu mendadak memberi kode pada teman-temannya. Entah kode apa, jujur aku sangat takut mereka melakukan hal-hal di luar nurul padaku.Teman-teman Adrian menjauh, sedang Adrian melangkah semakin mendekat ke arahku.“Baiklah, kalau gak mau dengan cara lembut, aku akan paksa kamu ikut bersamaku, Sayang,” bisiknya tepat di dekat telingaku. Bahkan, embusan napasnya yang bau alkohol dapat tercium, membuatku jijik dan mual.Seolah tahu bakal mendapat penolakan, Adrian menyeret tubuhku dan memaksa masuk ke mobil.“Lepasin gue, Adrian!” seruku, tetapi tak dihiraukan.“Ih, lepasin!”Ia hanya tertawa sumbang melihatku tak berkutik. Detik kemudian, dia mendorong tubuh ini hingga terjerembab di kursi tengah mobilnya.“Apa pun yang terjadi malam ini di antara kita, aku pastikan akan menjadi rahasia berdua.”“Adrian, lu mau ngapain?” tanyaku panik. Jangan sampai dia melakukan hal yang iya-iya padaku.Adrian tak menjawab. Dia kini mengunci pergerakanku, mengungkung tubuh ini di sana sehingga kini posisiku sudah berada di bawahnya.“Tolong!” teriakku, berharap siapa pun mendengarkan dan segera menolongku. Tapi, kurasa percuma karena di tempat ini hanya ada aku, Adrian, dan temannya yang tak mungkin bisa kumintai pertolongan.Barangkali, yang dilakukannya padaku sekarang juga sudah menjadi bagian dari rencana mereka.“Minta tolong sama siapa, Sayang? Di sini terlalu sepi,” ujar Adrian bernada ejekan.Adrian benar. Tempat ini terlalu sepi untuk meminta tolong.Walaupun begitu, tak akan kubiarkan ia sedikit pun menyentuhku lebih jauh dan melakukan hal yang diinginkannya.Dengan sekuat tenaga, aku mendorong tubuhnya yang menindihku, tetapi nihil karena kekuatannya lebih besar dariku.Bau alkohol dari mulutnya semakin menguar manakala wajahnya semakin dekat padaku.“Jangan lakukan itu, kumohon,” lirihku dengan air mata yang tanpa kuminta sudah keluar dengan sendirinya.Berharap sedikit saja iba dari Adrian yang tampak sedang dikuasai jurik bejat.Aku juga tidak menyangka jika dia bisa-bisanya merencanakan hal buruk padaku saat seharusnya ia menikmati malam pengantinnya dengan Alana.Tak berselang lama, tiba-tiba tubuh Adrian terangkat, terseret ke luar dari mobil dan dalam sekejap terbanting ke tanah.Tak mau membuang kesempatan, gegas aku bangkit dan berlari ke belakang pria yang tidak kukenali itu sekadar mencari perlindungan. Setengah wajahnya tertutup masker membuatku sulit mengenalinya.BUGH!BUGH!BUGH!Adrian tersungkur setelah mendapatkan hantaman bertubi-tubi dari pria itu.Sadar atau tidak, tetapi aku melihat pria bermasker itu seolah sengaja melampiaskan amarah yang menggebu pada Adrian.Di sudut lain, dua teman Adrian pun bernasib sama.Mereka terbanting ke tanah setelah dihantam habis-habisan juga oleh teman pria misterius yang tiba-tiba datang menjadi pahlawanku itu.“Wah, ada pahlawan kegelapan,” cibir Adrian sambil menghapus darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya.“Lu kalau laki lawan gue, jangan jadi pegecut yang beraninya sama cewek!” bentak pria itu. Membuatku sedikit terperangah mendengar suaranya.Aku seperti tidak asing dengan suaranya.Pria itu merongoh kacamata bening dari saku jaketnya, lantas mengenakannya. Setelah itu, ia memukul Adrian, sekali lagi. Lalu, berjalan ke arahku dan membawa pergi, tanpa sepatah kata.“Bro, thank you, ya!” teriaknya pada dua pria yang juga mengenakan masker.Suasana canggung pun menyelimuti kami di dalam mobil.Sesekali, aku mencuri pandang ke arahnya yang entah kenapa betah sekali memakai masker.Aku kan jadi penasaran seperti apa rupa sosok penolong yang dikirimkan Tuhan untukku itu?“Terima kasih sudah menolongku,” ujarku memecahkan keheningan.Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali fokus menyetir mobilnya. Ih, kesal banget dikacangin.“Kalau kamu mau, nanti kapan-kapan aku traktir makan sebagai ucapan terima kasihku atau kamu boleh bilang padaku, apa yang kau inginkan?” Aku berusaha mencairkan dana, eh suzana. Suasana, maksudku.Detik berikutnya, pria itu memperbaiki posisi kacamatanya dan dalam sekejap membuka masker membuatku membulatkan mata selebar-lebarnya, walau tak selebar mata ibu-ibu kompleks yang setia setiap saat mencari detail kesalahan targetnya.Hingga beberapa saat, aku mengedip-ngedipkan mata barangkali sedang katarak, jadi salah lihat. Namun, wujud pria itu tak berubah bentuk.“Kenapa, Vy? Kaget liat cowok ganteng?” tanyanya spontan membuatku melongo.“Nizar, kamu?!”“Ya. Ini aku,” ucapnya tersenyum tipis. “Apa kabar?”Baru juga mau menjawab, tetapi mantanku yang terkenal playboy itu justru bicara kembali, “Ah, aku tau kabarmu baik, tetapi hatimu yang gak baik kan? Mau aku obatin?”“Gimana maksudnya?” tanyaku dengan alis yang sedikit terangkat. “Kamu kan lagi galau sekarang abis dikhianati pacar, ditinggal nikah pula. Makanya aku tawarin, mau diobatin, gak? Mumpung aku lagi buka praktik pengobatan gratis untuk hati yang terluka.” Aku menggigit pipi bagian dalam, susah payah menahan senyum, tapi rada kesal juga. Dipikir luka hati kayak luka terbuka yang bisa dijahit, lalu diperban apa? Ingin sekali aku memakinya, tetapi yang keluar dari mulut malah, “Caranya?” Kayaknya, aku ketularan anehnya Nizar deh! “Minum sianida,” jawab Nizar sambil tertawa. Aku menatap bengis pria bercambang tipis yang sedang tertawa puas di atas penderitaanku itu.Sebenarnya dia mau mengobati atau menyuruh mati? Kuhela napas berat, lantas mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. “Ide yang cemerlang, tapi aku belum tau mau dikuburin di mana?” “Janganlah. Amal kamu walaupun banyak gak akan membawamu ke surga kalo matinya bunuh diri,” ucapnya. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis m
Mata indah ini menatap orang tuaku dan Nizar secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Bunda. “Nah, itu orangnya sudah ada. Baiknya Nak Nizar tanyakan sendiri padanya,” kata Papa tersenyum kecil ke arah Nizar, lalu melirikku sekilas.Kali ini, kulihat Nizar tampak salah tingkah begitu pandangan kami bertemu beberapa detik. Kenapa dia? Tak biasanya seperti itu. Dia yang tadinya tampak senyum-senyum ketika bersama Papa dan Bunda, seketika senyum manis itu memudar begitu ada aku. Senyum manis? Jangan berlebihan memujinya, nanti dia besar kepala. “Memang ada apa, Pa?” tanyaku dengan alis terangkat.Tak ada jawaban.Baik Papa dan Bunda hanya sama-sama tersenyum tipis. Di sofa lain, Nizar juga bergeming dengan wajah datarnya. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan sebelumnya?Kenapa malah perasaanku yang tiba-tiba jadi dag dig dug ser?“Ini, Sayang....” Bunda buka suara. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu ini. “Nak Nizar ke sini mau melamar kamu.”De
“Apa kamu sedang uji coba remot langit untuk menggantikan Mbak Rara jadi pawang hujan di Mandalika?”Pertanyaan Nizar membuatku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya yang tadi menahan tubuh ini ala-ala drama bollywood. Apa-apaan sih dia meluk-meluk kayak gitu? Jangan-jangan dia sengaja lagi cari kesempatan dalam kesempitan. Dasar mantan!“Siapa juga yang mau jadi pawang hujan? Ngaco aja kalo ngomong,” sungutku.Melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibir kesal.Enggan melihat wajahnya yang sedari tadi sok manis itu. Tapi, dia emang manis sih!“Kamu tuh. Dibilangin mau hujan juga, tetap ngotot pergi. So-soan gak mau diantar,” cecar Nizar. “Sejak kapan sih kamu jadi gengsian begitu?”Aku bergeming, tak ingin menanggapi perkataannya lagi. Hingga tak lama, security kantor datang membawa payung yang kuduga itu permintaan Nizar. Dia membentangkan payung tersebut dan memaksaku ikut bersamanya. Dengan segenap rasa malas, daripada tinggal di kantor lebih lama dalam situa
Sebab kesalahpahaman itu, aku dan Nizar diarak warga hingga ke rumah yang memang sudah tak begitu jauh lagi. Padahal, tadi sudah membela diri sampai memohon agar dilepaskan saja, tapi tak membuahkan hasil. Sialnya lagi, karena beberapa warga yang memergokiku sedang berduaan dengan Nizar di mobil tadi, sebagian mengenal baik keluargaku. Kalau tidak salah, ada Pak RT juga. Aku ingat wajahnya, dia beberapa kali datang ke rumah bertemu Papa. Jadi, manalah mungkin aku bisa berkilah untuk sekadar memalsukan alamat, karena mereka sudah tahu tanpa kuberi tahu sekalipun. Ini tuh semua gara-gara si Nizar, seandainya dia gak maksa-maksa aku ikut mobilnya tadi, kita gak bakal dihakimi.Dituduh mesum, padahal kami gak ngapa-ngapain juga. Hanya sebatas meluk doang, itu pun karena terpaksa. Tau begini, gak mau aku ikut pulang si Nizar. Emang dasar, dia selalu membuat hidupku runyem. “Pak Bima!” teriak Pak RT menggedor-gedor pintu rumahku.Caranya menggedor macam mau menggerebek istri sah yan
“Papa dan Bunda kenapa sih pake acara menyetujui permintaan warga? Itu konyol banget asli! Apa Papa sama Bunda udah gak percaya Divya lagi?” Nada suaraku sedikit meninggi, tapi bukan bermaksud untuk membentak dua orang tercintaku itu. Hanya saja, diri ini sudah tak bisa menahan kekesalan yang sedari tadi meluap-luap.Sehingga setelah Nizar pamit pulang, aku sengaja menemui mereka di kamarnya untuk meminta alasan kenapa menyetujui pernikahan konyol itu?Bukannya membela di depan warga, malah membiarkan terjebak dalam dilema pernikahan yang tak kuharapkan. Kini, Bunda turun dari ranjang dan menghampiriku yang tengah berdiri kaku di depan pintu. “Eh... eh, datang-datang malah nyolot. Perasaan Bunda gak pernah ngajarin Divya bicara pake nada tinggi depan orang tua.” Suara Bunda yang selembut sutera sampai dalam hati. Sukses membuatku mati kutu. “Maaf, Bun,” lirihku. Mengangkat wajah, menata
Bunyi bising masjid-masjid dari segala penjuru kota terpaksa membuatku mengerjap.Seingatku baru tidur sebentar, tapi ternyata hari sudah subuh lagi. Eh, tapi bentar... bentar deh!Ini kenapa aku tiba-tiba tidur di bantalnya Nizar? Mana aku meluk seolah-olah dia guling lagi?Sialan! Ini jadinya kayak aku yang nempel-nempel dia gak sih? Huwaa!Gak bisa! Gak bisa dibiarin ini!Amit-amit meluk cicak tubin.Aku mendongak sedikit, melihat wajahnya. Memastikan dia masih tidur.Dan syukurlah, tidurnya masih nyenyak. Gawat kalau dia bangun, mau ditaruh di mana mukaku yang cantik paripurna ini? Masa pindah ke pergelangan kaki?Aku juga gak sudi dia jadi besar kepala kalau tau insiden peluk-pelukan ini, bisa saja diungkit sampe lebaran haji dengan tujuan untuk melemahkanku di hadapannya.Detik berikutnya, aku berusaha memindahkan kaki yang menimpa kakinya dengan gerakan san
Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami. “Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati. Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi. Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat. Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”
Kupejamkan mata sebentar, sembari menelan ludah yang terasa getir.Memang, aku tak sempat mengabari Sarah tentang pernikahan ini, bukan gak mau? Tapi tadi malam, buat bernapas aja susah. Yang kurasakan cuma sesak dan hampa.“Gue gak kepikiran sampe sana,” lirihku menggeleng pelan.Membuang napas kasar. Lantas, beranjak. Duduk di sofa, diikuti Sarah. Aku menceritakan awal mula kenapa bisa menikah dengan mantan kekasihku yang sudah putus selama 2 tahun itu? Dimulai dari Nizar yang sebelumnya memang sempat datang ke rumah untuk melamar, tapi aku tolak matang-matang.Berlanjut pada ajakan pulang bareng yang ternyata menyisakan masalah serumit memecahkan sandi rumput.Sampai akhirnya, menikah, di atas label kepergok mesum di tempat umum. Sialnya, karena bukannya prihatin mendengar ceritaku, Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Seolah melupakan rasa ibanya tadi.Seakan apa yang telah kusampaikan i