“Divya, please….”
Adrian kini buka suara. Namun, aku mengalihkan pandangan, tak mau melihatnya.“Div, aku mohon! Aku ingin menikah denganmu,” mohonnya padaku, seolah tersakiti.Bukankah di sini aku yang harusnya menangis? Jelas-jelas, dia sudah ketahuan selingkuh dengan Alana, tetapi masih ngotot mempertahankanku.Adrian terus mengiba, hingga dari sudut mata, kulihat ibu Adrian tampak geram.“Tidak usah mengemis seperti itu pada wanita sepertinya, Adrian. Di luar sana, masih banyak wanita yang lebih pantas bersamamu!” cecarnya tiba-tiba.“Dan kau, Divya!” Tante Bella menunjukku. “Kau membatalkan pernikahan dengan putraku tanpa alasan. Jangan harap kami bisa menerimamu kembali sebagai menantu jika kelak kau datang padanya lagi.”Aku bergeming tanpa ekspresi. Membiarkan ucapan ibu Adrian itu tanpa tanggapan.Nyatanya, aku tidak mungkin memutuskan sesuatu tanpa alasan. Tapi jika aku mengatakannya tanpa bukti, mereka tak akan percaya.Pastinya, mereka akan berpihak pada Adrian. Bisa saja, Adrian juga tak akan mengakui perbuatannya.“Seharusnya dari awal kami tak merestui hubungan kalian karena kau memang tak pantas untuk Adrian. Adrian, ayo pulang! Biarkan saja wanita itu menjadi perawan tua.”***“Divya, sebenarnya apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu tiba-tiba membatalkan rencana pernikahan kalian?” tanya Papa begitu keluarga Adrian sudah pulang membawa amarah dan kekesalannya karena aku membatalkan pernikahan secara sepihak.“Adrian ....” Aku ragu untuk melanjutkan. Sekilas, kulirik Papa yang juga menunggu penjelasanku.“Adrian selingkuh sama Alana, Pa, Bun,” lirihku, menunduk sambil meremas jari-jari tangan.“Apa?!” Papa spontan berdiri. Berkacak pinggang. Dari ekspresinya, tentu saja ia murka.Bunda lantas menghampiri Papa dan menenangkannya.Pria tua kesayangan kami itu lantas kembali duduk, tetapi kulihat dadanya masih bergerak naik turun saking emosinya.“Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu, Nak? Apa kamu punya buktinya?” tanya Bunda lembut setelah suasana ruang tamu kami kembali kondusif.Aku menggeleng pelan. “Kemarin, aku hanya gak sengaja melihatnya saat datang ke rumah Om Benny mencari Alana yang belum ke kantor, Bun. Aku terpaksa datang ke sana cuma mau ngecek keadaan Alana. Ternyata, yang kudapati Alana berada di dalam kamar, bersama Adrian. Dan mereka ....” Aku tercekat pilu.“Astagfirullah!” Bunda mengusap pelan dadanya. Barangkali sudah mengerti apa yang terjadi tanpa kukatakan sekalipun.“Kenapa kamu tak jujur saja pada keluarganya Adrian tadi, Nak? Diammu, membuat mereka mengeluarkan sumpah serapahnya padamu. Jujur saja, Papa sakit hati mendengarnya.”“Mereka pasti akan membela Adrian dan menuduhku mengarang cerita, Pa.”Suasana berubah hening.“Papa, Bunda ... maafkan Divya jika membuat malu keluarga karena membatalkan pernikahan ini secara sepihak,” tuturku.“Tidak, Nak. Justru kami akan menyalahkan diri jika kamu tetap menikah dengannya, dan dia malah berbuat yang tidak-tidak setelah pernikahan kalian nanti,” kata Papa.Bunda menghampiriku, mengusap lembut punggung ini. “Sekarang, kamu tidak usah memikirkan yang gak-gak dulu. Bunda dan Papa akan dukung apa pun keputusan kamu. Jodoh itu udah ada yang atur, Nak. Kalau gak sama Adrian, insyaAllah nanti kamu mendapatkan pria yang lebih baik darinya,” tambah Bunda.Aku mengangguk dan beralih memeluk Bunda.Tangisku kembali tumpah.Hanya saja, aku tak menyangka bila waktu berlalu begitu cepatDi antara gemerlap pelaminan, mata ini menangkap pemandangan pahit. Di sana, Adrian tengah merangkul Alana--sepupuku dari keluarga Papa.Walau aku sendiri yang membatalkan pernikahan, tapi dalam diam hati ini tetap penuh dengan kehancuran.“Nak Divya.” Aku menoleh ke sumber suara.Sudah berdiri Om Benny di dekatku.Pandangannya lurus ke depan, ke arah putrinya yang tampak cantik dengan balutan gaun pengantin di singgasana pelaminan.Ya, sebelumnya, Papa memutuskan untuk membongkar kelakuan Alana pada orang tuanya sesuai dengan apa yang didengar dariku.Untungnya, Alana mengakui perbuatan tak senonohnya itu di hadapan orang tuanya.Tante Nur—ibunya Alana syok sampai pingsan dan sempat dirawat di rumah sakit karena jantungnya kumat mengetahui kelakuan putrinya.Orang tua mana tak kecewa jika putri semata wayang yang menjadi permata dalam keluarga justru mencederai nama baik keluarga?Ah, tetapi tak ada yang bisa disesali. Seperti nasi yang sudah jadi bubur bentuknya tidak bisa dikembalikan seperti semula.Jalan satu-satunya, adalah dengan menyatukan mereka demi menjaga nama baik yang telanjur tercoreng.“Atas nama Kalana, Om minta maaf. Jangan benci Kalana ya, Nak. Di sini Om yang salah mendidiknya,” ujar pria yang berwajah plek ketiplet dengan Papa itu. “Om juga tidak menyangka, jika ternyata dia tega menusuk saudaranya sendiri dari belakang.”Aku membuang napas berat. “Divya ingin marah, Om. Tapi, percuma karena semua sudah terjadi.”“Aku turut mendoakan yang terbaik untuk pernikahan Alana dan Adrian,” ucapku lagi.Kini, sedikit kusunggingkan bibir agar terlihat baik-baik saja.“Maaf sekali lagi, Nak! Om juga mendoakan agar kamu mendapatkan suami yang bisa menghargai juga mencintaimu sepenuh hatinya.”“Terima kasih, Om.”Begitu Om Benny kembali pada aktivitasnya, tak lama, aku memutuskan untuk meninggalkan acara tanpa menemui dua pengkhianat itu.Aku melajukan mobil dengan kecepatan standar di tengah keheningan malam.Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh membasahi pipi.Kupacu mobil membelah kegelapan malamEntah sudah berapa lama aku mutar-mutar tanpa tujuan untuk sekadar menenangkan hati.Namun mendadak, yang kurasakan justru malam yang begitu mencekam.Kucoba berpikir positif, mungkin karena perasaanku saja.Tapi, sesaat kemudian, seorang pengendara motor berhenti di tengah jalan.Kepalang panik membuatku buru-buru menginjak rem, tetapi entah mengapa rem mobil ini tak bisa berfungsi? Keringat dingin pun mulai mengucur di seluruh tubuhku.Bagaimana ini?Terus kucoba menghentikan laju mobil, tetapi hasilnya nihil.BRAK!Aku menunduk menutup wajah begitu mobil terguncang dahsyat karena menabrak pohon.Ya, aku terpaksa membanting mobil ke kiri ketika melihat ada pohon besar di sana agar lajunya terhenti.Tak lagi kupikirkan keselamatanku ketika terdesak mengambil keputusan untuk menabrakkan gerobak roda empat ini pada pohon.Daripada menabrak pengendara motor yang kuduga motornya sedang mogok sehingga berhenti di tengah jalan.“Astagfirullah!”Aku mengatur napas ketika merasa sudah tenang.Aku tak kenapa-kenapa. Tetapi, mobil pemberian Papa rusak parah dan kulihat asap mulai mengepul tebal di bagian depan.Cepat, aku keluar dari mobil karena takut terjadi ledakan dan bisa-bisa ikut melenyapkanku.Aku celingak-celinguk mencari pertolongan. Nyatanya, mencari seseorang di tengah kegelapan dan kesunyian malam seperti ini cukup susah.Entah di mana pria yang motornya rusak tadi? Apa sudah pergi? Tiba-tiba sekali. Apa tak melihatku hampir mati gara-gara dia yang berada di tengah jalan?Kurongoh ponsel dari saku celana untuk menghubungi orang rumah. Namun, baterainya pun tinggal 2%. Sedikit lagi dibacakan yasin.Aku mendengus sebal. Hingga sesaat kemudian, sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di hadapanku. Seorang pria tak kukenal turun dari sana dan langsung membekap mulutku tanpa mengatakan apa pun.Aku tersentak, berusaha melepaskan diri.Tuhan, ada apa lagi ini?“Lepasin!” Aku memberontak. Memukul-mukul tangan dan dada pria asing ini.Walau kekuatannya cukup besar, aku tak boleh lengah. Kuinjak kakinya dengan keras hingga ia memekik kaget.Aku berhasil lepas dan punya kesempatan untuk kabur, tetapi sebuah tangan lain tak kalah cepat menarik lenganku dan mendorong tubuhku hingga terpojok di samping mobil.Bersama dengan itu, mata ini melotot tajam tatkala melihat wujud sang pelaku.“Adrian, lu?” tanyaku kaget, menatapnya nyalang.Mengapa dia berada di sini?Bukankah seharusnya ia masih bersama Alana? Lalu, kenapa tiba-tiba sudah berada di sini? Apa sengaja mengikutiku?“Ya. Ini aku, Sayang. Setelah kupikir, aku gak bisa melepaskanmu begitu saja, Divya. Aku gak mau kita putus.”Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be