Ashraf menatap Oma Sarah dengan wajah terkejut. “Loh, kenapa Oma nggak tinggal di rumah Papa? Kenapa malah di sini?”Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Oma Sarah langsung berubah. Tatapannya kini tajam, menatap cucunya seolah hendak menegur. “Kamu keberatan Oma tinggal di sini, Ashraf?” tanya Oma Sarah dengan dingin. Ashraf menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bukan gitu, Oma. Aku malah senang kalau Oma di sini. Cuma tadi aku kaget aja, soalnya aku kira Oma bakal tinggal di rumah Papa sama Mama, nggak tau kalau Oma bakal di sini,” jelas Ashraf, tidak ingin oma-nya salah paham. Namun, ucapan itu hanya ditanggapi embusan napas panjang saja oleh Oma Sarah. “Sebenarnya, Raja dan Winda juga tadi maksa Oma buat tinggal di rumah mereka. Cuma kalau di sana, Oma nggak tau kapan kamu akan ke sananya. Kayak yang dulu-dulu, kamu selalu kasih janji sama Oma tapi nyatanya sampai Oma pulang ke rumah Opa, kamu nggak kunjung datang ke sana.”Ashraf menunjukkan raut wajahnya tidak enak pada Oma S
Sudah hampir satu bulan Tharie bersikap tak acuh pada Gilang. Setiap kali berpapasan atau bertemu, Tharie akan menghindar, dari pura-pura tidak melihat atau mengubah arah ke mana ia pergi agar tidak berpapasan dengan Gilang. Seperti kali ini, ketika ia dan Aca hendak ke kantin, tapi malah melihat Gilang ada di sana, Tharie langsung mengajak Aca untuk pergi. "Kenapa?" tanya Aca yang tidak melihat Gilang. "Nggak apa-apa, mendadak aku nggak laper," ucap Tharie sambil terus berjalan. Aca menatap Tharie dengan aneh. Namun, ia terus mengikuti sahabatnya itu yang tidak lama duduk di salah satu bangku taman dan mulai membahas banyak hal. Di saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba mereka mendengar suara seseorang yang menyapa Tharie. "Hai, Tharie."Tharie dan Aca mengangkat pandangannya. Ia tersenyum tipis saat melihat Jordan dan kedua temannya ada di sana. Berbeda dengan Aca yang terlihat lebih senang karena dihampiri oleh Jordan, ketua basket di sekolah mereka. "Hai," balas Tharie. "La
Ashraf membuka pintu kamar mereka perlahan. Suasana kamar itu cukup hening, hanya terdengar suara AC yang menderu lembut di sudut ruangan. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, pandangannya langsung tertuju pada sosok Ayu yang sedang duduk di tepi ranjang, membelakangi pintu, sambil melepas satu per satu aksesori dari rambut dan tubuhnya. “Ayu…” panggil Ashraf pelan. Ayu menoleh sekilas, lalu kembali fokus melepas antingnya. “Udah selesai ngobrol sama Oma?” Ashraf mengangguk walau tahu Ayu tak melihat. “Udah… tapi aku kena marah.” Ayu tersenyum tipis. Ia tahu persis seperti apa gaya bicara Oma Sarah. Tegas, ceplas-ceplos, tapi selalu punya maksud baik di baliknya. “Aku juga diminta jangan macam-macam. Disuruh biarin kamu istirahat,” lanjut Ashraf, mencoba mencairkan suasana. Ia kemudian berjalan pelan dan duduk di sebelah Ayu, tak terlalu dekat tapi cukup untuk bisa menatap wajah istrinya itu dari samping. “Bagus,” jawab Ayu singkat, nada suaranya terdengar agak datar namun tidak
Ashraf menatap Oma Sarah dengan wajah terkejut. “Loh, kenapa Oma nggak tinggal di rumah Papa aja?”Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Oma Sarah langsung berubah. Tatapannya kini tajam, menatap cucunya seolah hendak menegur. “Memangnya kalau Oma di rumah papa kamu, kamu bakal ke sana? Enggak ‘kan?!”Ashraf langsung nyengir salah tingkah sambil mengusap belakang kenapanya. “Kamu tau Ashraf yang ada kalau Oma di sana Oma bakal kesel sendiri karena nungguin kamu yang nggak tau kapan ke sananya!” lanjut Oma Saran. “Oma tahu alasannya ‘kan. Seharusnya Oma paham.” “Justru karena Oma paham, makanya Oma mutusin buat tinggal di sini aja!” balas Oma Sarah cepat. “Daripada Oma nungguin kamu tiap hari dengan sia-sia, mendingan Oma sekalian ikut tinggal bareng kalian ‘kan. Toh kalian juga perlu didampingi, apalagi kalian ini pengantin baru. Banyak yang perlu dipelajari dari hidup berumah tangga.”Ashraf tertunduk, tahu kalau ucapan Oma ada benarnya juga. Sementara itu, Ayu hanya bisa diam terp
“Bagaimana makanannya, enak?” tanya Ashraf saat Ayu sudah mulai memakan makanannya.Ayu tersenyum dan mengangguk. “Lumayan.”Ashraf tersenyum tipis, karena ucapan dan tindakan Ayu yang tidak sama. Ayu mengatakan makanan itu lumayan, tapi cara makannya cukup lahap. Tanpa mengatakan apa-apa. Ashraf mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan, membuat Ayu menatap Ashraf bingung tapi ia bersikap tak acuh. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya pelayan restoran itu.Ya, pada akhirnya Ashraf mengikuti kemauan Ayu yang tidak ingin malam di kamar.Beberapa saat yang lalu, di mana Ashraf memaksa Ayu untuk beristirahat dan makan di dalam kamar hotel. Ayu langsung menatap Ashraf dengan tatapan tidak suka. “Nggak mau, pokoknya aku mau pulang. Kalau kamu masih mau di sini, silakan. Aku bisa pulang sendiri," ucapnya yang kemudian beranjak dan berjalan ke arah nakas, mengambil tas miliknya dan pergi dari sana.Tidak ingin Ayu pulang seorang diri, Ashraf langsung meraih kunci mobilnya dan menyusu
Ayu keluar dari kamar mandi sekitar jam dua belas siang. Tubuhnya terasa lemas setelah apa yang baru saja terjadi. Ya. Sekali lagi, Ashraf membuatnya lelah. Bagaimana tidak lelah coba? Dari bangun tidur sampai tadi, ia terus digempur oleh pria yang baru satu hari menjadi suaminya itu. Ia tidak habis pikir dengan stamina Ashraf yang seakan tidak ada habisnya.Ayu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dan berusaha untuk terbiasa dengan kelakuan suaminya itu. Ia berjalan menuju meja rias, lalu duduk di sana, memandangi bayangannya sendiri di cermin. Rasanya, segala energi Ayu telah terkuras habis oleh kelakuan Ashraf.Dengan perlahan, Ayu meraih hairdryer di atas meja, mencoba mengeringkan rambutnya yang masih basah. Suasana hening sesaat. Hanya terdengar suara hairdryer yang berputar, sampai tiba-tiba pintu kamar hotel terbuka.Ashraf masuk tanpa suara, dengan wajah yang terlihat segar dan tenang. Ayu menatapnya diam-diam dari pantulan cermin. “Apa dia tidak merasa lela