Share

6. Kecelakaan

"Auw ...!"

"Ya ampun! Bu Salsa!" Rini memekik ketika melihatku merintih.

Entah kenapa tiba-tiba perutku kram setelah melihat video Mas Zein bersama seorang wanita yang asing bagiku.

"Bu Salsa kenapa?" Asisten rumah tangga yang baru datang siang tadi itu terlihat cemas.

Tergopoh dari arah dapur ia kemudian duduk di karpet dekat sofa tempat aku duduk.

"Perut saya sedikit sakit, Rin. Sepertinya kram," ucapku meringis sambil memegang perut bagian bawah.

"Oalah, terus apa yang bisa saya bantu, Bu? Apa saya telpon ambulance saja?"

"Tidak usah, nanti juga baikan sendiri. Saya cuma perlu istirahat saja."

"Kalau begitu, mari saya antar ke kamar Ibu."

"Baiklah, terima kasih."

Kemudian aku dipapah oleh Rini masuk ke dalam kamar. Untunglah ada Rini, kalau tidak, aku pasti kewalahan menghadapi kram ini sendirian.

Sesampainya di kamar dan berbaring, aku mengelus janin yang masih belum terbentuk sempurna di rahimku.

Perasaan bersalah seketika menyinggahi hati.

"Maafkan Bunda, Sayang. Bunda terlalu berat memikirkan ayahmu yang belum juga pulang sampai larut seperti ini."

"Harusnya Bunda yakin dan percaya kalau ayah pasti tidak akan tega mengkhianati kita. Tentang Video nyasar itu, pasti semua itu ada alasannya. Toh, di video juga ayahmu tidak terlihat sedang melakukan hal aneh. Dia hanya duduk dan ngobrol dengan seorang wanita."

"Pasti semua baik-baik saja, iya 'kan, Nak?" ucapku pada janin yang belum terlihat jenis kelaminnya ini, sebab baru memasuki bulan kedua usianya di perutku.

Meski tak dipungkiri, bayangan Mas Zein bersama wanita yang tidak aku kenal itu masih terlintas di kepala.

Tetapi, sebisa mungkin aku merilekskan diri agar tetap tenang. Ada nyawa lain yang harus aku jaga di dalam sini.

Setelah lelah menunggu Mas Zein yang tak kunjung datang, rasa kantuk menyerang bersamaan dengan kram yang berangsur membaik. Hingga tak lama mata ini terpejam sempurna mengarungi mahligai lautan mimpi.

****

Aku terbangun dari tidur karena ponselku berdering kencang.

Dengan tergesa aku melihat si penelpon berharap itu Mas Zein.

"Daniel?" Ternyata dia yang melakukan panggilan.

Segera ku geser tombol hijau.

"Halo! Ada apa, Dan?" sapaku tanpa mengucapkan salam. Firasatku mengatakan kalau ini ada hubungannya dengan Mas Zein.

"Sebaiknya Ibu tenangkan diri dulu. Selepas shalat subuh, nanti saya akan jemput Ibu," ucap Daniel seolah tahu dengan keadaanku sekarang.

"Ada apa? Kenapa saya harus tenang. Apa yang terjadi?" Aku masih berusaha tenang, menyembunyikan kegelisahan akan hilangnya kabar Mas Zein.

"Sebentar lagi Subuh. Sebaiknya Anda bersiap shalat kemudian saya akan menjemput Ibu. Maaf, teleponnya saya tutup dulu. Permisi."

Tanpa meninggalkan kejelasan apapun, Daniel mematikan teleponnya, menyisakan aku dengan penasaran yang memenuhi isi otak.

"Sebaiknya aku percayakan saja pada Daniel. Aku yakin Daniel tidak akan melakukan hal aneh."

Berperang dengan hati dan pikiran lumayan lama, akhirnya aku memutuskan untuk ke kamar mandi. Membersihkan diri lalu kemudian bersuci dan shalat dua raka'at.

Benar saja, beberapa menit selesai shalat ponselku ada pesan masuk dari Daniel.

[Saya tunggu di depan, Bu. Sebaiknya jangan katakan apapun pada orang rumah. Bilang saja Anda ada acara keluarga.]

Kedua alisku saling menaut heran.

[Baiklah, aku bangunkan Naura dulu,] balasku.

Gegas aku mengenakan kerudung instan. Tanpa make up apapun aku berjalan cepat keluar kamar.

Suasana rumah masih sepi. Rini masih belum bangun, sebab waktu masih pukul empat pagi.

Kuketuk pintu kamar Rini dengan pelan. Perlahan pintu kamar terbuka. Muncul Rini dengan wajah khas orang baru bangun.

"Eh, Ibu. Maaf, Bu, saya kesiangan," ucapnya sungkan.

"Gak papa kok. Saya saja yang bangunnya kepagian."

Rini hanya tersenyum menanggapi.

"Saya mau ada acara keluarga di rumah mertua hari ini. Makanya saya bangun lebih awal. Nanti kamu tolong jaga rumah, ya. Beres-beres dan tidak usah masak," pesanku.

"Baik, Bu."

"Ya sudah, silakan bersih-bersih dulu, saya mau bangunin Naura dan langsung berangkat. Nanti kamu kunci lagi pintu dan gerbangnya, ya."

"Apa Ibu perginya bersama Bapak?" tanya Rini membuatku sedikit heran.

"Iya, Bapak sudah menunggu di luar. Ya sudah, saya ke kamar Naura dulu!" Tanpa menunggu jawaban Rini lagi, aku melenggang meninggalkannya menuju kamar anakku.

"Sayang, bangun yuk. Kita ke rumah Oma hari ini." Menepuk pelan pipi anakku yang masih tertidur pulas.

Jika saja aku tidak sedang hamil, Naura pasti sudah aku gendong, agar tidak memakan waktu.

Aku sudah tidak sabar mengetahui Daniel mau membawaku kemana.

Naura mengerjap. Perlahan matanya terbuka. "Bunda ...."

"Iya, Sayang. Yuk bangun."

Aku membantu Naura bangun dan turun dari ranjang setelah sebelumnya Naura mengangguk.

Sambil mengucek matanya yang mungkin masih ngantuk, Naura berjalan pelan mengikuti tuntunanku.

Memutar kunci pintu utama, Rini tiba-tiba muncul. "Biar saya bantu, Bu. Mari," ujarnya.

"Baiklah."

Kemudian aku dan Naura keluar lebih dulu diikuti oleh Rini yang hendak membukakan pagar.

"Terima kasih, Rin. Hati-hati di rumah ya," pesanku setelah berada di luar pagar pada wanita berusia 28 tahunan yang kelihatannya lugu.

"Baik, Bu."

Barulah setelah itu aku berjalan menuju satu-satunya mobil yang terparkir di tepi jalan.

"Apa dia asisten rumah tangga Ibu yang baru?" Daniel bertanya setelah aku berhasil masuk ke dalam mobil.

"Iya, kenapa?"

"Sebaiknya Ibu jangan mudah percaya pada orang yang belum Anda kenal," ucap Daniel dingin. Pandangannya lurus mengarah pada Rini yang masih berdiri di pintu pagar.

"Tapi kelihatannya dia baik dan lugu. Lagian, semua barang berharga sudah aku taruh di tempat yang aman."

"Tidak semua yang tampak dari luar sama seperti yang kita duga, Bu Salsa." Pandangan Daniel masih mengarah pada wanita yang sejak tadi masih stay di sana.

Benar juga apa yang di katakan Daniel. Rini memang terlihat baik, tetapi aku juga tidak bisa memastikan apakah dia memang benar-benar baik atau tidak.

"Lalu, apakah kita akan tetap di sini memperhatikan Rini sampai dia masuk?"

Tanpa mengucapkan kata apapun lagi, Daniel langsung menghidupkan mobil, kemudian menginjak pedal gas dengan pelan.

-----

Sekitar setengah jam berada dalam mobil yang dikendarai oleh Daniel, akhirnya aku sampai pada sebuah gedung yang tinggi bertuliskan RS Medika Persada. Salah satu rumah sakit terbesar di kota ini.

Masih dengan kebingungan yang melanda, kakiku terus melangkah mengikuti Daniel Yang menggendong Naura, memasuki gedung berlantai banyak itu.

"Tunggu sebentar di sini." Daniel menurunkan Naura setelah berada di sebuah ruangan. Lalu dia mengotak-atik benda pipih berwarna hitam di tangannya.

Aku hanya bisa menurut diam. Mau bertanya pun pasti akan berakhir kecewa sebab Daniel tak akan mudah membuka suaranya.

Beberapa saat kemudian Daniel mengajakku kembali berjalan memasuki lorong rumah sakit.

Tepat di depan pintu dengan tujuan angka tiga digit Daniel berhenti.

Tak ingin lebih lama menunda rasa penasaran, aku langsung membuka pintu itu.

Mataku terbelalak melihat Mas Zein yang tengah tersenyum manis berada di atas brankar dengan selang infus di tangannya.

"Mas Zein ...." Aku berlari mendekap suami yang sejak kemarin tak ada kabar.

Menumpahkan semua cairan di pundak lelaki yang sangat aku cintai.

"Maaf membuatmu khawatir," ucapnya sambil mengelus kepalaku.

Aku mengurai pelukan. "Mas kenapa?"

"Hanya insiden kecil saja, tidak apa-apa, kok." Lelaki itu kembali tersenyum.

"Tidak apa-apa bagaimana, tangan Mas di infus dan muka Mas pucat." Aku sedikit mengomel karena khawatir melihat keadaannya.

"Beneran gak papa, Sayang. Yang penting, satu hal yang Mas minta. Apapun berita yang tersebar nanti, kamu harus percaya pada Mas sepenuhnya!"

Berita? Percaya sepenuhnya? Apa maksud perkataan Mas Zein. Apa ada yang dia sembunyikan dariku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status