Share

Dikira Melarat Usai Bercerai
Dikira Melarat Usai Bercerai
Author: Meisya Jasmine

1

last update Last Updated: 2022-04-21 08:24:08

BAB 1

              “Lisna, aku talak kamu mulai detik ini. Haram bagiku untuk menggaulimu.” Ucapan bagai petir menggelegar itu membuatku termangu. Kami tidak bertengkar. Tidak berselisih paham. Namun, kenapa suamiku tiba-tiba mengikrarkan talak yang semestinya tak pernah dia ucapkan?

              Aku yang tengah menyiapkan sarapan untuknya langsung tertegun hebat. Kutatap pria yang tengah duduk manis di kursi makan tersebut dengan ekspresi yang tak habis pikir.

              “Kamu kenapa, Mas?” tanyaku dengan bola mata yang turun naik. Kuselidiki tampang suamiku. Namun, rautnya datar. Seakan tak sedang terjadi apa pun di antara kami.

              “Ya, hari ini aku sudah menalakmu. Kita cerai secara agama. Aku akan segera urus berkas-berkasnya ke pengadilan.”

              Aku masih saja tercengang. Tanganku yang baru saja menaruh piring berisi tempe mendoan ke atas meja makan, kini gemetar hebat. Perempuan mana yang tidak terkejut saat suami yang baru dinikahinya dua tahun, tiba-tiba saja mengajukan talak lisan.

              “Apa maksudmu?” Aku bertanya lagi. Kurasa sekarang mukaku sudah pucat pasi.

              “Apa omonganku kurang jelas, Lis? Kamu bukan lagi istriku. Kamu kutalak. Silakan kemasi barang-barangmu. Kutunggu dalam waktu maksimal dua kali dua puluh empat jam.”

              Jantungku rasanya mau copot. Aku oleng. Buru-buru kutarik kursi dan aku terduduk di hadapan Mas Bintang. Otakku sibuk mengingat-ingat. Apa salahku? Apa dosaku?

              Aku tidak pernah bermain sosial media apalagi mengobrol lewat aplikasi chatting dengan siapa pun, kecuali sesekali menghubungi Ibu-Ayah bila tak sempat mengunjungi mereka dalam akhir pekan. Aku juga hanya berdiam di rumah, sesuai perintah suamiku. Lantas, salahku di mana?

              “Jangan bertanya-tanya tentang alasanku, Lis. Laki-laki berhak untuk menceraikan istrinya kapan pun. Dan itu adalah keputusan absolutku.” Mas Bintang yang tadi subuh masih membangunkanku untuk salat dan meminta untuk dibuatkan tempe mendoan serta sambal kecap sebagai menu sarapan itu, tiba-tiba berucap lantang sekaligus ketus.

              Hatiku rontok. Seakan aku memiliki sebuah salah besar dan dosa tak termaafkan. Mas Bintang, apakah kamu sudah memiliki penggantiku? Berselingkuhkah kau di belakangku, Mas?

              Kuangkat kepalaku. Kutahan laju air mata yang kini terasa menggumpal di sudut pelupuk. Lalu, kutatap tajam Mas Bintang selaku pria yang menikahiku dua tahun silam dengan jalan taaruf. Senyumku kini menyeringai tipis di bibir.

              “Katakan alasanmu, Mas. Setidaknya agar aku bisa menerima dengan lapang dada,” kataku dingin.

              “Laki-laki tidak perlu alasan untuk bercerai. Kalau aku sudah katakan cerai, ya artinya kita pisah!” Mas Bintang membentak. Pria yang sudah rapi dalam balutan seragam kerja itu memukul meja.

              Aku tak gentar, tapi aku memilih sabar. Baiklah, Mas. Aku akan keluar dari rumahmu detik ini juga.

              “Kamu yang memintaku ke rumah untuk menjadikanku istri, Mas. Kita kenal baik-baik, bahkan tanpa proses pacaran. Aku tahu kamu juga bukan dari sembarang orang, melainkan dari guru agamaku di SMA yang tak lain adalah pamanmu sendiri.”

              “Jangan terlalu banyak omong kosong, Lisna. Apa maumu? Cepat katakan. Nggak usah banyak mutar-mutar!” Mas Bintang yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru laut dengan tatanan rambut pendek yang rapi berpomade itu menatap sengit. Aku tak sangka, pria yang selalu dielu-elukan oleh seluruh keluarga besarnya ini ternyata menyimpan kepribadian yang sungguh di luar nalar. Dia kasar dan seenaknya. Bahkan perubahan itu terjadi dalam sedetik, secepat membalikan telapak tangan.

              “Aku ingin kamu yang mengantarku ke rumah. Pulangkan aku ke Ayah-Ibu dan bicaralah baik-baik, seperti kamu dulu memintaku pada mereka.”

              Mas Binta mendengus. Pria itu terlihat merogoh saku celananya. Entah apa yang dia cari. Hanya kupantau gerak-geriknya dengan mata yang nyalang.

              Lelaki 30 tahun itu mengeluarkan dompet. Terlihat dia mengambil beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dan melemparkannya ke atas meja. Aku terkesiap. Ini bukan Mas Bintang yang kukenal. Jangankan melempar uang, mempelototiku saja selama dua tahun ini belum pernah.

              “Satu juta. Lebih dari cukup untuk ongkos naik taksi buat pulang ke rumahmu. Sisanya silakan belikan beras dan minyak goreng. Siapa tahu ibumu butuh.”

              Aku marah. Dadaku mendidih rasanya. Ini sudah keterlaluan. Sampai orangtuaku juga dia hina. Seakan-akan uang yang dia lemparkan itu mampu untuk menjatuhkan harga diriku.

              “Terima kasih banyak, Mas,” sahutku lembut.

              Aku bangkit dari dudukku. Kuraup semua uang yang berhamburan di atas meja bahkan melompat ke dalam piring mendoan dan bakul nasi.

              “Sudah kuduga. Segampang itu ternyata mengendalikanmu. Itu karena kamu bukan siapa-siapa, Lisna. Hanya perempuan muda yang kebelet kawin karena ekonomi. Menceraikanmu jelas semudah saat meminangmu.”

              Aku semakin tersenyum lebar. Uang yang sudah berhasil kuhimpun di tangah itu pun lalu kulemparkan tepat di muka Mas Bintang. Lelaki itu kaget. Dia mengelak dengan raut yang syok. Namun, sayang. Sudah mengelak pun, uang itu tetap menampar wajahnya.

              “Makan uangmu yang tidak seberapa itu, Mas! Kamu pikir, baru saja jadi staf operasional di pabrik, kamu bisa menginjak-injak aku? Aku memang cuma tamatan SMA, Mas. Umurku juga masih 20 tahun. Namun, ini bukan berarti kamu yang sudah 30 tahun dan baru ngasih aku makan selama 2 tahun belakangan, bisa ngeludahin harga diriku. Nggak, Mas. Maaf. Aku juga udah nggak sudi jadi istrimu.” Kuraih piring mendoan di atas meja dan kulemparkan seluruh isinya ke arah Mas Bintang. Lelaki berkulit sawo matang dengan kumis tipis itu langsung menjerit.

              “Perempuan kurang ajar! Semoga hidupmu melarat setelah kuceraikan! Jadi gembel aja sana kamu kaya orangtuamu.”

              Aku gegas meninggalkan pria itu di meja makan. Piring bekas mendoan tadi sebelumnya kubanting di lantai ruang makan hingga pecah berderai. Kalau kamu bisa menghinaku dengan kata-katamu, aku juga bisa menghinamu dengan perbuatan tanganku, Mas.

              Mas Bintang, kau pikir aku akan melarat setelah bercerai darimu? Maaf, Mas. Bukan sampean yang punya dunia. Ada Allah yang akan membagiku rejeki.

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikira Melarat Usai Bercerai   20

    BAB 20ENDINGENAM BULAN KEMUDIAN ….“Mbak Lisna aku mau pop esnya dua, ya. Cokelat sama taro. Terus, mau bakwannya sepuluh.”“Aku juga, Mbak. Aku mau es teh gula batu. Satu aja. Terus sama tempe mendoannya tiga, bakwannya tiga.”Warungku baru buka, tapi serbuan bocah-bocah yang ingin jajan langsung membeludak. Aku sih, sebagai pedagang yang selalu happy kiyowo every time every day, senang-senang aja pas dapat pembeli cilik yang kebetulan sedang libur sekolah karena hari Minggu. Cuma, yang suka keki itu para bu-ibu julid sekitar rumah yang kadang suka ngeluh jajan anaknya jadi kebablasan gara-gara warung dekat rumah. Ya, itu mah risikonya situ. Lisna kan, cuma pengen cari nafkah aja. Daripada aku open Bo terus suami mereka yang kecantol. Nah, lho, lebih repotan mana?“Iya, iya. Sabar ya, adik-adik yang budiman. Yang nggak budiman, terserah mau sabar atau nggak,” ucapku sambil cengar-cengir.Belum selesai aku melayani dua bocah lelaki yang usianya sekitar 9-10 tahunan itu, tiba-ti

  • Dikira Melarat Usai Bercerai   19

    BAB 19Makan malam selesai, aku pun masuk ke kamar bersama adikku. Agak kaget saat melihat ponsel yang tergeletak di ranjang, bergetar berulang kali. Bukan main syoknya saat aku melihat nama si Bintang ternak muncul di layar ponsel. Panggilan masuk darinya! “Kenapa Mbak?” Ita maju. Dia melongok ke arah ponsel yang ada di genggamanku.“Telepon dari si curut,” ucapku jengkel.“Angkat aja! Biar kita hajar berjamaah.” Ita yang gregetan. Dia hampir menyambar ponselku, tetapi cepat kualihkan.“Biar aku aja,” sanggahku.Kuangkat telepon tersebut dengan perasaan berdebar. Ita pun langsung mendekat. Berusaha menguping dan mepetk ke arah ponsel.“Halo. Kenapa lagi, sih? Nggak bisa move on, Nyet?!” Kusemprot si kunyuk itu habis-habisan sebelum dia membuka percakapan. Hatiku soalnya sudah panas luar biasa.“Maaf mengganggu, Bu. Ini dari pihak kepolisian. Suaminya sedang di kantor polisi, Bu.”Aku tergemap. Seketika kaki ini sudah terasa tak lagi berpijak ke bumi. Apa? Si Bintang di kant

  • Dikira Melarat Usai Bercerai   18

    BAB 18POV BintangSetelah lelah bergumul dengan pertengkaran aku versus Siska, akhirnya kami berdua pun kembali ke rumahku saat Magrib menjelang. Sialnya, saat itu jalanan di komplek perumahan kami yang masuk ke gang itu ramai sekali orang. Di gapura masuk saja para bapak-bapak masih nongkrong dengan gayanya yang sok kecakepan. Bahkan di sana ada Cak Sadikin yang mulutnya macam kaleng rombeng itu. Gimana nggak kaleng rombeng, orang aku masih hidup aja dibilang sudah mampus. Memang gila dia!“Lho, Mas Bintang, baru pulang?” tegur salah satu bapak-bapak kawannya Cak Sadikin. Namanya Pak Totok. Bekerja sebagai kuli pabrik rokok. Lagaknya selangit. Masa dia kemarin sudah bisa beli mobil baru buka bungkus? Padahal, jabatan dia cuma kuli, lho. Beda dengan aku yang sudah staf. Palingan juga main babi ngepet dia. Pantas badannya Pak Totok makin hari makin subur makmur kaya makan pupuk NPK.“Iya, Pak!” sahutku setengah berteriak sambil mengencangkan laju sepeda motor. Siska bahkan sampai m

  • Dikira Melarat Usai Bercerai   17

    BAGIAN 17Klik! Sambungan telepon langsung kumatikan. Bye, Sekar! Terserah saja kamu mau lapor polisi. Emangnya gue pikirin? Yang ada malah si kebon binatang alias Bintang liar itu yang bakalan kami laporkan ke polisi. Awas saja! Nanti juga bukti-bukti perselingkuhannya aku dapatkan dengan gampang, kok. “Mbak Lisna, gimana?” tanya Ita sambil mendekat ke arahku. Dia pun langsung duduk di sebelahku dengan raut yang penasaran.“Si kucrut itu ngancam mau lapor polisi gara-gara video yang di Facebook!” kataku sambil melemparkan ponsel ke tangan Ita.“Dih, najong! Enak aja lapor polisi. Dia duluan ntar yang kulaporin!” Si Ita mana mau kalah. “Dia nggak tahu sih, kita punya orang dalam!”“Hush! Jangan berbangga hati gitu dulu, Ta! Ini bukan masalah punya orang dalam atau nggak. Yang salah jelas-jelas si Bintang Muklis Mukidi! Dia yang bikin gara-gara duluan sama aku. Hitungannya juga sudah melakukan KDRT secara verbal. Kan, sialan dia! Kalau masalah diviralin, mana bisa mau nuntut penc

  • Dikira Melarat Usai Bercerai   16

    BAGIAN 16POV BINTANGSiska keasyikan belanja hingga lupa waktu. Cewek yang ternyata sangat matre dan mata duitan itu pun akhirnya menyudahi kegiatan belanja tepat pukul 13.05 siang. Bisa dibayangkan bukan, rasa lelahku sudah seperti apa? Kakiku gempor abis. Seperti habis memacul ratusan hektar sawah tetangga.Untung saja, si Arif benar-benar mengirimkan uang pinjaman kepadaku. Dia tak hanya memberikan satu juta, tetapi dua juta. Dia bilang, saat gajian aku harus menggantinya dengan nominal tiga juta. Masa bodohlah dia mau meminta ganti berapa pun. Paling-palingan juga nanti tak akan kubayar. Enak saja si Arif. Masa minjamin dua juta, minta ganti tiga juta? Sudah mau alih profesi jadi lintah darat, dia? Apa nggak cukup hanya menjadi buaya darat doang? Dasar kemaruk!Siska dengan tentengan belanjaan yang seharga satu juta setengah itu pun berjalan dengan penuh jemawa. Dadanya yang sebesar melon itu pun dia busungkan ke depan. Lagaknya seperti ibu-ibu sosialita yang baru saja habis d

  • Dikira Melarat Usai Bercerai   15

    BAB 15POV BINTANGDengan muka yang cemberut dan kusut, Siska langsung naik membonceng saat aku mulai menyalakan mesin motor. Aku yang habis kena ludahi itu pun cuma bisa mengheningkan cipta. Nyesek. Mau marah, takut tambah diludah. Mau meludah balik, bisa-bisa leherku patah jadi dua sama Siska. Mending membisu begini. Cari aman, pikirku. Padahal, hatiku sudah gregetan dari tadi. Geram. Yang salah dia, yang galak dia.“Kamu itu jangan kurang ajar, Mas! Bisa-bisanya kamu ngegangguin aku yang lagi lobi-lobi.” Terdengar suara kesal dari bangku belakang. Siska malah menabok pundakku lagi dari belakang. Aku tersuruk. Untung tidak kebanting ke jalanan. Gila memang dia.“Sis, aku kan, cemburu wajar. Tandanya aku cinta. Sayang,” jawabku. Aku terus beralasan. Sebenarnya pengen ngelawan dengan kata-kata kasar dan kotor. Sayang sekali, si Siska ini tidak pernah mau mengalah sedikit pun.“Wajar apanya? Cinta? Sayang? Ah, bullshit, Mas! Kita nggak kenyang makan cinta. Aku ini juga butuh tambah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status