BAB 3
“Sekarang, kamu tenang ya, Sayang. Semuanya akan berjalan sesuai yang kamu inginkan. Aku nggak kasihin dia sepeser harta pun. Biar aja dia mampus hidup melarat. Bisa apa sih, dia kalau udah cerai dari aku? Masih bocil ingusan, paling-paling dia jadi cewek michat yang open BO buat cari makan.”
Aku termangu. Benar-benar kaget bin syok mendengar omongan dari si mulut got itu. Biar pun aku ini dilarang menggunakan media sosial seperti F******k, I*******m, maupun TikTok supaya tidak terkontaminasi hal-hal buruk, tapi aku masih menonton televisi dan tahu perkembangan zaman.
Cewek michat? Open BO? Dasar kambing ompong! Mudah sekali dia mengataiku begitu. Mengira aku bakalan menjual diri hanya untuk bisa makan dan bertahan hidup pasca bercerai dengannya.
Wallahi, Mas Bintang yang kelakuannya mirip binatang, aku nggak pernah ikhlas kamu perlakukan begini! Aku akan membuktikan kepadamu, bahwa dugaanmu itu salah besar!
Perlahan, aku melangkah mundur. Setelah kupikir-pikir, enak saja dia dapat perawanku, tapi maskawin yang jelas hakku saja dia suruh jangan dibawa.
Om-om ompong itu kira, aku ini sangat tolol, ya? Tidak. Keenakan dia dan pelakornya kalau aku banyak mengalah. Sudahlah aku diselingkuhi, diceraikan mendadak, masa sebutir emas pun tak boleh kubawa padahal itu jelas hakku?
Aku kembali ke kamar. Geram sekali saat kuingat kalimat busuk dari mulut sampah itu. Dia bilang biar aku mampus melarat setelah keluar dari rumah ini. Enak saja! Tidak bisa. Akan kubawa kabur emas-emas yang berserakan di lantai tadi. Meskipun tak membuatku jadi konglomerat, setidaknya itu bisa kubuat modal usaha nantinya.
“Persetan kamu mau bilang apa, Mas! Ini hakku! Ini milikku. Maskawin adalah mahar yang memang kewajibanmu sebagai bentuk penghormatan kepada wanita. Enak saja kau suruh aku meninggalkannya.” Aku bergumam geram. Memunguti satu per satu perhiasan yang masih tergeletak di lantai dekat pintu kamar. Kumasukan semuanya ke dalam ransel. Aman. Semua sudah berada di tempat yang semestinya.
Aku pun juga memutuskan untuk menukar pakaian dalam tas jinjingku. Baju-baju yang sudah jelek, kuhamburkan ke lantai. Awalnya, aku memang ogah untuk membawa pakaian yang Mas Bintang belikan selama kami menikah. Cuma, kalau dipikir ulang, enak saja kalau kutinggalkan di sini! Mana banyak yang bagus-bagus pula. Untung di pelakor sialan itu, dong? Mending yang kutinggal baju-baju jelek saja. Biar dinikmati nanti sama si pelakor kalau dia jadi menikah sama si embek ompong.
Gaun-gaun, kebaya beserta kain songketnya, baju tidur, maupun daster yang baru dibeli pekan lalu pun kumasukan ke dalam tas jinjingku. Sedangkan baju-baju lama yang semula ingin kubawa, kuserakan ke atas tempat tidur dan lantai kamar. Nah, makanlah baju-baju jelek itu, Mas. Suruh pelakormu nanti pakai.
Tak lupa, juga kuambil celengan di dalam lemari. Celengan itu adalah uang sisa belanja bulanan yang memang kusisihkan. Rencananya sih, untuk dipakai berdua. Sekarang, pikiranku yang sudah kerasukan sakit hati ini langsung berubah haluan. Enak aja dia mau menikmati celengan ini. Paling nanti dipakai buat beli lipstik dan sempaknya si pelakor. Ogah! Aku nggak sudi. Sampai mati pun nggak bakal ikhlas kalau dinikmati sama pelakor yang mukanya belum kuketahui seperti apa wujudnya tersebut.
“Nggak bakal melarat aku, Mas! Sorry! Uang di celengan ini lumayan. Kalau dipakai untuk usaha jualan pop ice juga masih ada lebihannya.” Aku berkata geram sembari membawa kabur celengan tersebut. Kumasukan tabung berukuran sedang dengan gambar karakter Frozen itu ke dalam ransel. Sekarang, waktunya aku cus meninggalkan si kutu kupret.
Aku melenggang kangkung menuju teras. Mas Bintang masih terlihat menelepon. Mukanya serius sekali. Persis macam orang yang tengah merapatkan pemindahan ibu kota negara.
Saat melihat aku keluar, lelaki itu langsung kelabakan. Buru-buru dia mematikan sambungan telepon dan memasukan ponselnya ke saku kemeja. Dengan sok garang, Mas Bintang yang nonong dan bermuka songong itu pun bangkit dari tempat duduknya.
“Lelet sekali gerakanmu! Apa nggak ikhlas keluar dari istanaku?” tanya Mas Bintang sambil melipat tangan di depan dada.
Apa? Istana katanya? Istana keong kali! Rumah segede kutil jin aja dia bilang istana. Mending juga beli cash. Rumah tipe 36 masuk gang sempit beli kredit 20 tahun aja belagu! Pakai acara koar-koar istana segala. Kalau mau sombong, minimal napasmu nggak bau kentutlah, Mas!
“Iya, nggak ikhlas banget. Rasanya takut kehilangan. Kehilangan bau comberan.” Aku asal nyerocos. Kalau dia bisa ngebacot tanpa mikir, kenapa aku nggak? Apa bedanya dia sama aku? Wong kami sama-sama makan nasi! Kecuali kalau Mas Bintang saban hari mbadok paku sama semen. Nah, baru aku boleh takut!
“Apa katamu?!” Mas Bintang terlihat tersulut emosinya. Pria beralis tipis itu menatap tajam sambil mendengus kesal. Bau, Mas. Mundur kamu. Bisa pingsan aku nyiumin bau napas gorilamu itu.
“Selain ompong, ternyata kamu itu tuli toh, Mas? Ya sudah, sebelum kamu kawin lagi, itu tolong kupingnya dibersihkan ke dokter. Atau minimal ke puskesmas kalau emang nggak mampu bayar dokter spesialis. Dan satu lagi, tolong gigi palsumu itu mbok ya diganti sama yang baru. Bau, Mas. Bau eek kadal.” Aku berucap lantang. Memasang muka cuek dengan gerakan yang angkuh menantang.
Mas Bintang semakin naik turun napasnya. Lelaki yang mulai semakin gemuk sejak menikah itu pun seperti hendak mengangkat tangannya.
“Kenapa? Kamu mau pukul aku? Coba aja. Aku akan teriak supaya semua tetangga datang dan membawamu ke kantor polisi!” ucapku semakin menantang.
Mas Bintang sepertinya langsung ciut. Lelaki itu gegas menurunkan tangan dan menunjuk ke arah luar sana.
“Keluar kamu dari sini!” perintahnya kasar.
“Nggak usah kamu suruh aku keluar, aku juga akan pergi, kok! Oh, ya, tolong sampaikan salamku buat perempuan yang tadi meneleponmu. Bilang ke dia, kalau memang kerjaannya terdahulu cewek open BO, tolong periksa dulu HIV sebelum kawin denganmu dan buat kamu, Mas, jangan suruh aku open BO kaya selingkuhanmu, ya. Aku tetap bisa makan nasi tanpa harus menjual diri!” Aku berucap tanpa suara yang nyaring apalagi harus teriak-teriak. Aku santai. Nggak pakai urat. Namun, ucapan telakku malah membuat muka pas-pasan Mas Bintang pucat pasi. Lelaki itu membeliakan mata sekilas. Seakan kaget dengan kalimatku barusan.
Mas Bintang, Mas Bintang. Mbok ya kalau mau melakukan sesuatu itu dipikir dulu dong pakai otaknya sampean yang kapasitasnya cuma 1GB itu. Nelepon selingkuhan kok, di teras. Ya aku yang punya kuping lengkap ini bisa dengarlah. Kamu pikir gendang telingaku sudah pecah apa, sampai-sampai nggak bisa dengar omongan busukmu tadi? Dasar kambing ompong. Mulutmu prengus, ketekmu mambu jaran. Amit-amit jabang bayi, semoga kita nggak usah ketemu lagi kecuali pas tahlilan 40 harimu aja.
(Bersambung)
BAB 20ENDINGENAM BULAN KEMUDIAN ….“Mbak Lisna aku mau pop esnya dua, ya. Cokelat sama taro. Terus, mau bakwannya sepuluh.”“Aku juga, Mbak. Aku mau es teh gula batu. Satu aja. Terus sama tempe mendoannya tiga, bakwannya tiga.”Warungku baru buka, tapi serbuan bocah-bocah yang ingin jajan langsung membeludak. Aku sih, sebagai pedagang yang selalu happy kiyowo every time every day, senang-senang aja pas dapat pembeli cilik yang kebetulan sedang libur sekolah karena hari Minggu. Cuma, yang suka keki itu para bu-ibu julid sekitar rumah yang kadang suka ngeluh jajan anaknya jadi kebablasan gara-gara warung dekat rumah. Ya, itu mah risikonya situ. Lisna kan, cuma pengen cari nafkah aja. Daripada aku open Bo terus suami mereka yang kecantol. Nah, lho, lebih repotan mana?“Iya, iya. Sabar ya, adik-adik yang budiman. Yang nggak budiman, terserah mau sabar atau nggak,” ucapku sambil cengar-cengir.Belum selesai aku melayani dua bocah lelaki yang usianya sekitar 9-10 tahunan itu, tiba-ti
BAB 19Makan malam selesai, aku pun masuk ke kamar bersama adikku. Agak kaget saat melihat ponsel yang tergeletak di ranjang, bergetar berulang kali. Bukan main syoknya saat aku melihat nama si Bintang ternak muncul di layar ponsel. Panggilan masuk darinya! “Kenapa Mbak?” Ita maju. Dia melongok ke arah ponsel yang ada di genggamanku.“Telepon dari si curut,” ucapku jengkel.“Angkat aja! Biar kita hajar berjamaah.” Ita yang gregetan. Dia hampir menyambar ponselku, tetapi cepat kualihkan.“Biar aku aja,” sanggahku.Kuangkat telepon tersebut dengan perasaan berdebar. Ita pun langsung mendekat. Berusaha menguping dan mepetk ke arah ponsel.“Halo. Kenapa lagi, sih? Nggak bisa move on, Nyet?!” Kusemprot si kunyuk itu habis-habisan sebelum dia membuka percakapan. Hatiku soalnya sudah panas luar biasa.“Maaf mengganggu, Bu. Ini dari pihak kepolisian. Suaminya sedang di kantor polisi, Bu.”Aku tergemap. Seketika kaki ini sudah terasa tak lagi berpijak ke bumi. Apa? Si Bintang di kant
BAB 18POV BintangSetelah lelah bergumul dengan pertengkaran aku versus Siska, akhirnya kami berdua pun kembali ke rumahku saat Magrib menjelang. Sialnya, saat itu jalanan di komplek perumahan kami yang masuk ke gang itu ramai sekali orang. Di gapura masuk saja para bapak-bapak masih nongkrong dengan gayanya yang sok kecakepan. Bahkan di sana ada Cak Sadikin yang mulutnya macam kaleng rombeng itu. Gimana nggak kaleng rombeng, orang aku masih hidup aja dibilang sudah mampus. Memang gila dia!“Lho, Mas Bintang, baru pulang?” tegur salah satu bapak-bapak kawannya Cak Sadikin. Namanya Pak Totok. Bekerja sebagai kuli pabrik rokok. Lagaknya selangit. Masa dia kemarin sudah bisa beli mobil baru buka bungkus? Padahal, jabatan dia cuma kuli, lho. Beda dengan aku yang sudah staf. Palingan juga main babi ngepet dia. Pantas badannya Pak Totok makin hari makin subur makmur kaya makan pupuk NPK.“Iya, Pak!” sahutku setengah berteriak sambil mengencangkan laju sepeda motor. Siska bahkan sampai m
BAGIAN 17Klik! Sambungan telepon langsung kumatikan. Bye, Sekar! Terserah saja kamu mau lapor polisi. Emangnya gue pikirin? Yang ada malah si kebon binatang alias Bintang liar itu yang bakalan kami laporkan ke polisi. Awas saja! Nanti juga bukti-bukti perselingkuhannya aku dapatkan dengan gampang, kok. “Mbak Lisna, gimana?” tanya Ita sambil mendekat ke arahku. Dia pun langsung duduk di sebelahku dengan raut yang penasaran.“Si kucrut itu ngancam mau lapor polisi gara-gara video yang di Facebook!” kataku sambil melemparkan ponsel ke tangan Ita.“Dih, najong! Enak aja lapor polisi. Dia duluan ntar yang kulaporin!” Si Ita mana mau kalah. “Dia nggak tahu sih, kita punya orang dalam!”“Hush! Jangan berbangga hati gitu dulu, Ta! Ini bukan masalah punya orang dalam atau nggak. Yang salah jelas-jelas si Bintang Muklis Mukidi! Dia yang bikin gara-gara duluan sama aku. Hitungannya juga sudah melakukan KDRT secara verbal. Kan, sialan dia! Kalau masalah diviralin, mana bisa mau nuntut penc
BAGIAN 16POV BINTANGSiska keasyikan belanja hingga lupa waktu. Cewek yang ternyata sangat matre dan mata duitan itu pun akhirnya menyudahi kegiatan belanja tepat pukul 13.05 siang. Bisa dibayangkan bukan, rasa lelahku sudah seperti apa? Kakiku gempor abis. Seperti habis memacul ratusan hektar sawah tetangga.Untung saja, si Arif benar-benar mengirimkan uang pinjaman kepadaku. Dia tak hanya memberikan satu juta, tetapi dua juta. Dia bilang, saat gajian aku harus menggantinya dengan nominal tiga juta. Masa bodohlah dia mau meminta ganti berapa pun. Paling-palingan juga nanti tak akan kubayar. Enak saja si Arif. Masa minjamin dua juta, minta ganti tiga juta? Sudah mau alih profesi jadi lintah darat, dia? Apa nggak cukup hanya menjadi buaya darat doang? Dasar kemaruk!Siska dengan tentengan belanjaan yang seharga satu juta setengah itu pun berjalan dengan penuh jemawa. Dadanya yang sebesar melon itu pun dia busungkan ke depan. Lagaknya seperti ibu-ibu sosialita yang baru saja habis d
BAB 15POV BINTANGDengan muka yang cemberut dan kusut, Siska langsung naik membonceng saat aku mulai menyalakan mesin motor. Aku yang habis kena ludahi itu pun cuma bisa mengheningkan cipta. Nyesek. Mau marah, takut tambah diludah. Mau meludah balik, bisa-bisa leherku patah jadi dua sama Siska. Mending membisu begini. Cari aman, pikirku. Padahal, hatiku sudah gregetan dari tadi. Geram. Yang salah dia, yang galak dia.“Kamu itu jangan kurang ajar, Mas! Bisa-bisanya kamu ngegangguin aku yang lagi lobi-lobi.” Terdengar suara kesal dari bangku belakang. Siska malah menabok pundakku lagi dari belakang. Aku tersuruk. Untung tidak kebanting ke jalanan. Gila memang dia.“Sis, aku kan, cemburu wajar. Tandanya aku cinta. Sayang,” jawabku. Aku terus beralasan. Sebenarnya pengen ngelawan dengan kata-kata kasar dan kotor. Sayang sekali, si Siska ini tidak pernah mau mengalah sedikit pun.“Wajar apanya? Cinta? Sayang? Ah, bullshit, Mas! Kita nggak kenyang makan cinta. Aku ini juga butuh tambah