BAB 4
Langsung kutinggalkan Mas Bintang sendirian di depan teras rumahnya yang sederhana itu. Aku pun berjalan dengan hati yang puas usai mencaci maki pria tak tahu diri itu. Meskipun telah berstatus janda di mata agama, aku tak gentar. Hidup bagiku adalah senda gurau semata. Sekarang menangis, besok akan tersenyum lagi. Masalah rejeki, tak perlu takut. Masih ada Allah yang akan memberikanku makan dan minum sesuai kebutuhan.
Saat aku menyusuri jalanan komplek yang terbilang tak begitu lebar itu, tetangga depan yang kebetulan baru pulang dari pasar dengan motor matiknya berhenti di depanku. Namanya Mak Jubaidah. Janda tiga anak yang usianya sudah memasuki angka 50 tahun. Dia seperti kaget melihatku berjalan dengan membawa dua tas segala.
“Lis, mau ke mana pagi-pagi begini bawa tas segala? Kok, jalan kaki?” tanya Mak Jubai yang memiliki tubuh gemuk dan berjilbab ungu tua tersebut. Dalam hati aku berkata, semoga setelah ini aku tak ikut-ikutan ngefans sama warna ungu seperti Mak Jubai. Mentang-mentang udah janda, masa auto jadi purple lovers juga?
“Mau balik ke rumah ortu, Mak,” jawabku enteng.
“Lha? Kenapa? Mana suamimu? Kok, nggak nganterin?” tanya Mak Jubai dengan ekspresi yang terkejut bukan main. Biasa aja kali, Mak. Kaya baru sekali ngelihatin bini diusir laki aja.
“Dia udah bukan suamiku lagi, Mak. Aku udah nggak kenal. Aku permisi, ya,” ucapku meminta pamit ke Mak Jubai.
“Eh, sini Mak anterin, Lis. Anterin sampai terminal, deh. Gimana?” tanya Mak Jubai berteriak sampai orang-orang di sekitar jalan langsung menoleh ke arah kami. Kenceng banget, Mak. Kenapa nggak pengumuman langsung ke masjid aja, biar satu komplek tahu?
Aku langsung menoleh. Menghentikan langkah dan menatap Mak Jubai. Perempuan tua baik hati itu pasti niat menolong. Ya, sekalian cari info pastinya. Buat bahan gosip. Namanya juga ibu-ibu. Ya, udahlah. Terima aja tawarannya. Biar sekalian aja kuceritakan semuanya. Supaya tetangga pada tahu kelakuan itu manusia sedot tinja kaya apa.
“Oke, Mak. Boleh, deh. Nggak ngerepotin, kan?” tanyaku lagi sambil mendatangi Mak Jubai yang berada di sebrang jalan sana.
“Nggaklah. Kita pinjam helmnya Sadikin dulu, deh. Sekalian nitip belanjaan. Duh, kasihannya kamu, Lis. Cantik-cantik begini masa mau jalan kaki, sih? Ya Allah, itu lakimu tega banget?” keluh Mak Jubaidah sembari membiarkanku naik ke atas motornya. Jarak dari tempat pertemuan kami ke rumah Mak Jubai sebenarnya dekat. Namun, mungkin dia nggak enak hati untuk mengajakku ke rumahnya terlebih dahulu, sebab rumah kami saling hadap-hadapan. Ntar, papasan pula sama si pabrik jigong. Ogah!
“Nggak tahu, Mak. Tiba-tiba ngasih talak tiga. Kaya kecakepan aja. Mending kalau ganteng. Lha, ini? Masih bagusan juga congornya buaya, ketimbang muka dia,” celetukku gusar.
Eh, Mak Jubai malah tertawa. Dia membelokkan motornya dan melajukan kendaraan roda dua itu dengan kecepatan pelan. Mak Jubai lantas berhenti di depan rumahnya Cak Sadikin, penjual sate yang merangkap jabatan sebagai ketua RT.
Santai, Mak Jubai masuk ke halaman rumah Cak Sadikin di mana gerobak satenya yang berwarna biru tengah parkir. Lelaki 40 tahunan yang memiliki tubuh kurus dan kulit legam plus kumis lebat itu langsung menoleh.
“Lho, Mak Jubai? Lisna? Mau beli sate? Satenya ntar sore baru buka,” kata Cak Sadikin yang biasanya berjualan di sebrang gang komplek.
“GR banget kamu, Kin! Pinjam helm, dong. Dua. Sekalian nitip belanjaan.” Mak Jubai turun dari motornya. Dia menyambar satu kresek belanjaan dan memberikannya kepada Cak Sadikin yang tengah menyapu teras. Bujang lapuk itu pun menerimanya dengan lapang dada. Mungkin takut disemprot sama Mak Jubai.
“Oke, Mak Jubai. Sebentar, ya. Tak ambilin dulu helmnya di dalam.” Cak Sadikin yang baik hati dan tidak sombong plus tidak nonong itu pun memasukan kresek belanjaan Mak Jubai ke dalam. Sedang Mak Jubai menanti di depan pintu rumah. Kalau aku, standby duduk di atas motor sambil memangku tas jinjing hitamku. Masih agak-agak syok sih, dengan kejadian pagi ini. Nggak habis pikir aja. Kok, ada ya, orang jelek nggak tahu diri kaya Mas Bintang? Dia tuh, ngirain mukanya kaya Anjasmara kali, ya?
“Ini Mak, helmnya. Kalian berdua ini mau ke mana pagi-pagi? Kok, si Lisna pakai bawa tas segala?” tanya Cak Sadikin kebingungan sambil menoleh ke arahku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil padanya. Malas mau menjawab.
“Mau nganterin Lisna pulang dulu,” jawab Mak Jubai agak jutek sambil mengambil helm dari tangan Cak Sadikin.
“Oh. Suaminya mana? Mas Bintang?” Cak Sadikin malah semakin bertanya. Kenapa, Cak? Kamu kangen pakai nanyaian mantan suamiku segala?
“Kemana Bintang, Lis?” tanya Mak Jubai basa-basi.
“Mati,” jawabku asal.
“Astaghfirullah! Innalillahi! Ya Allah, kapan? Kenapa belum diumumkan di masjid? Lho, ini kenapa malah pulang? Kan, suaminya meninggal. Lho, Lisna, kamu kok tega sama suami?” Cak Sadikin malah ceramah panjang lebar. Ceramah itu di masjid, Cak. Bukan di teras.
“Udah, ah. Berisik kamu, Dikin. Aku pergi dulu,” kata Mak Jubai dengan plengosan mautnya.
“Lho, kalian ini gimana, sih? Malah pada pergi. Ada orang meninggal kok, kaya dianggap angin lalu aja? Aku mau siap-siap ngelayat kalau gitu,” ujar Cak Sadikin yang sangat polos tak bermotif tersebut.
Aku hanya tertawa geli dalam hati. Sana, Cak, melayat ke rumahku. Bawakan si Bintang itu beras satu kilogram, terus lempar ke mukanya yang menyebalkan. Siapa tahu, habis dilayat, kelakuannya jadi balik ke jalan yang benar.
Aku pun dibawa oleh Mak Jubai dengan sepeda motor matik hitamnya. Perempuan bertubuh gemuk itu mulai menginterogasiku saat kami sudah keluar dari gang.
“Lis, jadi ceritanya gimana? Kenapa Bintang bisa tiba-tiba nalak kamu?” tanya Mak Jubai di tengah desau angin dan suara kendaraan yang lalu lalang di jalan besar.
“Aku bikinin dia sarapan, Mak. Awalnya nggak ada yang mencurigakan. Pas semua masakan jadi, dia tiba-tiba ngomong talak. Kutanya alasannya apa, dia malah ngalor ngidul nggak jelas kaya orang mabok lem. Aku kira dia itu mendadak gila, ternyata dia selingkuh, Mak. Dia neleponin cewek di teras rumah kami pas aku lagi beres-beres di kamar. Dia kan, ngusir aku. Mana aku nggak dibolehin bawa mahar pernikahan kami.”
“Astaga! itu Bintang kesurupan kuda lumping? Dia itu sadar nggak sih, kalau mukanya kaya sikat WC? Bisa-bisanya dia nyelingkuhin bidadari kaya kamu, Lis! Terus, kamu nurut kalau maharmu nggak dibawa? Kamu mau?” tanya Mak Jubai geram. Lawan deh, ini emak-emak gosip komplek! Ras terkuat di bumi yang kalau lampu sennya ke kiri, dia malah lurus dan kalau ditilang polisinya yang minta maaf. Semoga setelah curhatku ini selesai, Mak Jubai akan menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi. Biar hancur sekalian nama baiknya Mas Bintang!
“Nggak tau tuh, Mak. Dia mikirnya kalau muka dia itu mirip artis FTV Tukang Becak Naik Haji, kali. Mana ngomong ke selingkuhannya pula kalau aku bakalan melarat kalau dia cerai. Katanya, paling-paling aku jualan diri setelah ini. Biadab dia, Mak. Seharusnya, ibunya ngasih nama Binatang, bukan Bintang!” kataku berapi-api. Dadaku asli langsung panas. Mungkin ini yang dinamakan dengan emosi jiwa.
“Pas aku dengar omongan dia di telepon itu, aku yang semula udah mau pergi dari rumah, langsung balik arah. Aku balik ke kamar dan ngambilin semua maharku. Enak aja dia ngelarang aku ngambilin maskawin yang jelas-jelas itu hakku. Aku nggak akan mau ngalah sama manusia limbah rumah tangga itu, Mak. Demi Allah, aku juga nggak ikhlas diginiin,” sambungku penuh geram.
“Benar-benar kurang ajar si Bintang. Mak kira, dia itu laki-laki baik. Ya, maklum. Umur juga kan, udah dewasa. Nikah sama gadis cantik dan jauh lebih muda dari dia, Mak kira pastinya bakal setia sekaligus nggak neko-neko. Eh, ternyata kelakuannya kaya berang-berang. Mak pikir, mukanya doang yang mirip berang-berang. Emang keterlaluan itu manusia!” umpat Mak Jubai juga penuh dengan kegeraman yang sama denganku.
“Nggak cuma Mak Jubai yang berpikir begitu. Aku juga mikirnya begitu, Mak. Kok, bisa ya, manusia kaya dia nggak ada syukurnya gitu? Malah aku yang dibilang begini dan begitu. Seumur hidup aku nggak akan mau balik lagi ke rumah itu, Mak.” Aku pun bersumpah dalam hati untuk tidak akan mau melihat bentukan dari botol minyak urut itu. Najis!
“Mak Jubai sumpahin si Bintang, semoga dia sama selingkuhannya mati ketabrak tronton!” kata Mak Jubai lagi.
“Nggak usah, Mak. Aku maunya mereka hidup terus. Panjang umur. Kalau bisa masuk tivi sekalian, biar viral! Aku pengen tahu banget, itu muka pelakornya kaya apa. Kalau lebih cantik, mau aku kasih selamat, tapi kalau mukanya ternyata kaya endapan minyak jelantah, mau aku ketawain tujuh hari tujuh malam!”
Aku pun meremas jari jemariku dengan kuat. Tanganku sebenarnya gatal sekali ingin menonjok baik Mas Bintang maupun selingkuhannya. Namun, kalau dipikir-pikir, kasihan tangan cantikku, dong? Bisa-bisa ini tangan kena rabies karena habis nonjokin dua ekor anjing gila! Huh, nauzubillah!
“Terus, gimana ini kata orangtuamu kalau kamu pulang ke rumah tanpa diantar sama Bintang? Orangtuamu pasti sedih, Lis,” kata Mak Jubai dengan nada yang prihatin.
Rasanya dadaku langsung sesak mengingat wajah Ibu dan Ayah. Mereka pasti sangat sedih sekali. Harapan mereka itu kalau aku menikah dengan Mas Bintang, hidupku jadi lebih bahagia dan taraf ekonomi kami bisa lebih meningkat. Nyatanya? Nggak usah deh, ngarep jadi nyonya besar yang dihormati. Faktanya, udah sibuk ngebabu 50 jam sehari pun, balasan Mas Bintang malah kaya entut jaran! Bukannya ngucapin makasih, malah meludahiku dengan kalimat talak. Benar-benar titisan Fir’aun versi melarat.
“Ortuku pasti sedih, Mak. Cuma, aku akan buktikan kepada keluarga besarku, terutama Ibu dan Ayah kalau keputusanku buat cerai dari lelaki laknat itu emang keputusan paling tepat. Insyaallah semua ada hikmahnya.”
Hikmah? Entahlah. Mungkin hari ini, kata-kata mutiara itu hanya sebagai penghibur yang rasanya omong kosong belaka. Namun, aku yakin, di hari besok hikmah itu akan benar-benar datang seolah keajaiban besar dari Allah. Dan kupastikan, Mas Bintang maupun pelakornya akan mendapatkan ‘hikmah’ yang lebih mantap daripada letusan pabrik petasan. Tunggu saja pembalasannya.
(Bersambung)
BAB 20ENDINGENAM BULAN KEMUDIAN ….“Mbak Lisna aku mau pop esnya dua, ya. Cokelat sama taro. Terus, mau bakwannya sepuluh.”“Aku juga, Mbak. Aku mau es teh gula batu. Satu aja. Terus sama tempe mendoannya tiga, bakwannya tiga.”Warungku baru buka, tapi serbuan bocah-bocah yang ingin jajan langsung membeludak. Aku sih, sebagai pedagang yang selalu happy kiyowo every time every day, senang-senang aja pas dapat pembeli cilik yang kebetulan sedang libur sekolah karena hari Minggu. Cuma, yang suka keki itu para bu-ibu julid sekitar rumah yang kadang suka ngeluh jajan anaknya jadi kebablasan gara-gara warung dekat rumah. Ya, itu mah risikonya situ. Lisna kan, cuma pengen cari nafkah aja. Daripada aku open Bo terus suami mereka yang kecantol. Nah, lho, lebih repotan mana?“Iya, iya. Sabar ya, adik-adik yang budiman. Yang nggak budiman, terserah mau sabar atau nggak,” ucapku sambil cengar-cengir.Belum selesai aku melayani dua bocah lelaki yang usianya sekitar 9-10 tahunan itu, tiba-ti
BAB 19Makan malam selesai, aku pun masuk ke kamar bersama adikku. Agak kaget saat melihat ponsel yang tergeletak di ranjang, bergetar berulang kali. Bukan main syoknya saat aku melihat nama si Bintang ternak muncul di layar ponsel. Panggilan masuk darinya! “Kenapa Mbak?” Ita maju. Dia melongok ke arah ponsel yang ada di genggamanku.“Telepon dari si curut,” ucapku jengkel.“Angkat aja! Biar kita hajar berjamaah.” Ita yang gregetan. Dia hampir menyambar ponselku, tetapi cepat kualihkan.“Biar aku aja,” sanggahku.Kuangkat telepon tersebut dengan perasaan berdebar. Ita pun langsung mendekat. Berusaha menguping dan mepetk ke arah ponsel.“Halo. Kenapa lagi, sih? Nggak bisa move on, Nyet?!” Kusemprot si kunyuk itu habis-habisan sebelum dia membuka percakapan. Hatiku soalnya sudah panas luar biasa.“Maaf mengganggu, Bu. Ini dari pihak kepolisian. Suaminya sedang di kantor polisi, Bu.”Aku tergemap. Seketika kaki ini sudah terasa tak lagi berpijak ke bumi. Apa? Si Bintang di kant
BAB 18POV BintangSetelah lelah bergumul dengan pertengkaran aku versus Siska, akhirnya kami berdua pun kembali ke rumahku saat Magrib menjelang. Sialnya, saat itu jalanan di komplek perumahan kami yang masuk ke gang itu ramai sekali orang. Di gapura masuk saja para bapak-bapak masih nongkrong dengan gayanya yang sok kecakepan. Bahkan di sana ada Cak Sadikin yang mulutnya macam kaleng rombeng itu. Gimana nggak kaleng rombeng, orang aku masih hidup aja dibilang sudah mampus. Memang gila dia!“Lho, Mas Bintang, baru pulang?” tegur salah satu bapak-bapak kawannya Cak Sadikin. Namanya Pak Totok. Bekerja sebagai kuli pabrik rokok. Lagaknya selangit. Masa dia kemarin sudah bisa beli mobil baru buka bungkus? Padahal, jabatan dia cuma kuli, lho. Beda dengan aku yang sudah staf. Palingan juga main babi ngepet dia. Pantas badannya Pak Totok makin hari makin subur makmur kaya makan pupuk NPK.“Iya, Pak!” sahutku setengah berteriak sambil mengencangkan laju sepeda motor. Siska bahkan sampai m
BAGIAN 17Klik! Sambungan telepon langsung kumatikan. Bye, Sekar! Terserah saja kamu mau lapor polisi. Emangnya gue pikirin? Yang ada malah si kebon binatang alias Bintang liar itu yang bakalan kami laporkan ke polisi. Awas saja! Nanti juga bukti-bukti perselingkuhannya aku dapatkan dengan gampang, kok. “Mbak Lisna, gimana?” tanya Ita sambil mendekat ke arahku. Dia pun langsung duduk di sebelahku dengan raut yang penasaran.“Si kucrut itu ngancam mau lapor polisi gara-gara video yang di Facebook!” kataku sambil melemparkan ponsel ke tangan Ita.“Dih, najong! Enak aja lapor polisi. Dia duluan ntar yang kulaporin!” Si Ita mana mau kalah. “Dia nggak tahu sih, kita punya orang dalam!”“Hush! Jangan berbangga hati gitu dulu, Ta! Ini bukan masalah punya orang dalam atau nggak. Yang salah jelas-jelas si Bintang Muklis Mukidi! Dia yang bikin gara-gara duluan sama aku. Hitungannya juga sudah melakukan KDRT secara verbal. Kan, sialan dia! Kalau masalah diviralin, mana bisa mau nuntut penc
BAGIAN 16POV BINTANGSiska keasyikan belanja hingga lupa waktu. Cewek yang ternyata sangat matre dan mata duitan itu pun akhirnya menyudahi kegiatan belanja tepat pukul 13.05 siang. Bisa dibayangkan bukan, rasa lelahku sudah seperti apa? Kakiku gempor abis. Seperti habis memacul ratusan hektar sawah tetangga.Untung saja, si Arif benar-benar mengirimkan uang pinjaman kepadaku. Dia tak hanya memberikan satu juta, tetapi dua juta. Dia bilang, saat gajian aku harus menggantinya dengan nominal tiga juta. Masa bodohlah dia mau meminta ganti berapa pun. Paling-palingan juga nanti tak akan kubayar. Enak saja si Arif. Masa minjamin dua juta, minta ganti tiga juta? Sudah mau alih profesi jadi lintah darat, dia? Apa nggak cukup hanya menjadi buaya darat doang? Dasar kemaruk!Siska dengan tentengan belanjaan yang seharga satu juta setengah itu pun berjalan dengan penuh jemawa. Dadanya yang sebesar melon itu pun dia busungkan ke depan. Lagaknya seperti ibu-ibu sosialita yang baru saja habis d
BAB 15POV BINTANGDengan muka yang cemberut dan kusut, Siska langsung naik membonceng saat aku mulai menyalakan mesin motor. Aku yang habis kena ludahi itu pun cuma bisa mengheningkan cipta. Nyesek. Mau marah, takut tambah diludah. Mau meludah balik, bisa-bisa leherku patah jadi dua sama Siska. Mending membisu begini. Cari aman, pikirku. Padahal, hatiku sudah gregetan dari tadi. Geram. Yang salah dia, yang galak dia.“Kamu itu jangan kurang ajar, Mas! Bisa-bisanya kamu ngegangguin aku yang lagi lobi-lobi.” Terdengar suara kesal dari bangku belakang. Siska malah menabok pundakku lagi dari belakang. Aku tersuruk. Untung tidak kebanting ke jalanan. Gila memang dia.“Sis, aku kan, cemburu wajar. Tandanya aku cinta. Sayang,” jawabku. Aku terus beralasan. Sebenarnya pengen ngelawan dengan kata-kata kasar dan kotor. Sayang sekali, si Siska ini tidak pernah mau mengalah sedikit pun.“Wajar apanya? Cinta? Sayang? Ah, bullshit, Mas! Kita nggak kenyang makan cinta. Aku ini juga butuh tambah