Share

Abian yang Lalai

Author: Lian Nai
last update Last Updated: 2022-11-13 11:03:00

"Buru-buru amat?"

Abian menoleh, "Ada sedikit masalah di Restoran cabang. Titip urusan disini ya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku."

"Sudah kuduga ada yang nggak beres di Restoran kamu yang satu itu," sahut Dama.

Abian menghela napas kasar. Dama adalah sepupunya yang merangkap menjadi orang kepercayaan Abian di Restoran pertama milik Abian. Restoran yang paling besar dibandingkan dengan Restoran cabang yang lain. Tentu. Anggap saja itu sebagi Restoran utama. Bisnis pertama yang Abian geluti bahkan sebelum menikah dengan Maya. 

"Beberapa hari belakangan saat kamu bilang Restoran itu sepi dan minus pendapatan per bulan ini, aku udah merasa janggal," papar Dama. "Pasalnya, tiga hari belakangan aku selalu melewati tempat itu, hanya saja ... maaf, Restoran itu masih tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, Bian."

Abian mengurungkan dirinya masuk ke dalam mobil. Sore ini ia mendadak meminta Dama untuk datang ke tempat pembangunan Restoran baru untuk menggantikan dirinya memantau para pekerja proyek disini.

"Kenapa nggak bilang?"

"Ya ... kalau kubilang kepala Restoran yang baru itu bermasalah, emang percaya?"

Abian mendengkus kesal. Selama ini dia tidak menemukan kesalahan dari pekerjaan Satria. Ia berpikir jika pria itu adalah pria bertanggung jawab yang bisa mengurus Restoran miliknya sementara waktu. 

"Kenapa bisa tiba-tiba feeling sekarang? Ada yang bilang?"

"Maya," sahut Abian setelah menyentak napasnya kasar. "Tadi dia datang kesana untuk memastikan bahan dapur apa saja yang habis sampai-sampai Satria meminta dana tambahan dariku. Aku khawatir Restoran itu mendadak bangkrut itu sebabnya aku meminta bantuan Maya ...."

"Lalu ...?"

"Maya diperlakukan buruk karena mereka tidak tau kalau dia istriku."

Dama terbahak-bahak mendengar penuturan Abian. Bagaimana bisa istri dari pemilik Restoran tidak diketahui pekerjanya?

"Kok bisa? Maya nggak pernah ikut kesana?"

Abian merengut kesal. Tawa Dama mendadak terhenti melihat air muka sepupunya yang berubah mengerikan.

"Sorry ... tapi memang aku nggak habis pikir, bisa gitu para pekerja disana nggak kenal Maya?

"Maya bilang semua pekerja dirombak total. Pekerja lama nggak kelihatan batang hidungnya, yang ada hanya orang-orang baru termasuk satpam."

"Wah, itu udah nggak bener, Bian," sahut Dama menimpali. "Dan Satria nggak kenal istri seorang Abian?"

"Ck! Aku merekrut nya karena terburu-buru mengurus pembangunan restoran ini, Dam!" sahut Abian menyesali keputusannya. "Dia dan Maya belum pernah bertemu. Tau sendiri kan kalau dia jarang mau aku ajak berkunjung ke Restoran?"

Dama mengangguk membenarkan ucapan Abian. "Aku sempat heran, bisa-bisanya orang baru dapat kepercayaan penuh darimu. Dan ternyata feelingku benar, dia enggak bertanggung jawab."

"Pulanglah! Biar aku yang memantau perkembangan disini, besok pagi-pagi sekali aku bisa meluncur melihat pekerjaan di Resto Abimaya." 

"Kamu selalu bisa diandalkan, Dam."

"Ini semua nggak gratis!" sela Dama bergurau. Abian tertawa dan berkata, "Harga saudara, seharusnya bonus satu kali gaji cukup kan?"

Mereka tertawa bersama sebelum akhirnya Abian pergi untuk kembali ke rumah setelah hampir satu minggu ia meninggalkan Maya di kontrakan sendirian. Ya. Rumah mereka hanyalah rumah kontrakan untuk tempat tinggal sementara karena rumah baru Abian sedang dibangun di ujung jalan Perumahan Citra Kencana.

Sudah satu bulan ini dia bolak-balik dari rumah ke tempat pembangunan Restoran baru. Tidak setiap hari melainkan satu minggu sekali pria itu akan pulang dan membawa Maya berkunjung ke rumah Sang Ibu meskipun istrinya setiap hari mendatangi rumah Sang Mertua untuk sekedar berkunjung dan berbagi makanan. Bukan tanpa alasan, jarak yang memakan waktu hampir tiga jam membuatnya terpaksa menginap di hotel terdekat agar mudah memantau pekerja disana.

Kesibukan Abian membuatnya abai pada Restoran cabang dan mempercayakan semua urusan pada Satria. Bahkan Abian hampir melupakan catatan bulanan yang sampai saat ini bel Satria setorkan.

"Mungkin ini teguran," gumam Abian. "Aku terlalu sibuk membesarkan nama sampai-sampai harus melalaikan beberapa tempat yang sudah aku bangun dengan susah payah," lanjutnya.

"Ah, seharusnya aku mengambil sopir pribadi. Bosan sekali menyetir mobil sendirian begini," gerutu Abian.

Tok ....

Tok ....

Tok ....

Kaca mobil Abian diketuk dari luar. Pria itu menurunkan separuh kaca dan bertanya pada seorang wanita yang sedang menggendong bayi di samping mobilnya.

"Bagi duit, Pak. Dari kemarin kami belum makan," ucapnya memelas.

Abian mengerutkan kening. "Usia berapa anaknya?"

"Tiga bulan," jawab wanita itu spontan. Abian mengangguk ragu. "Ya ... pantas saja belum makan, kan masih tiga bulan. Iya kan?"

Wanita yang sejak tadi menunduk itu mengangkat wajahnya dan menunjukkan raut tidak suka dengan jawaban Abian. 

"Kok marah?" tanya Abian ketika menyadari gelagat aneh wanita yang ada di depan pintu mobilnya. "Saya salah?"

"Kalau nggak mau ngasih duit, bilang! Baru punya mobil aja sombong!" gerutu wanita itu sambil berlalu.

Lampu merah sudah berganti hijau. Wanita itu menepi, sementara Abian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Karena merasa bersalah, dia menepikan mobil dan memilih keluar untuk menemui wanita tadi. Kasihan juga sebenarnya, batin Abian. Meskipun memberi uang pada peminta-minta di jalan memang tidak dibenarkan. Tapi rasa iba mengalahkan semua larangan yang ada.

Langkah Abian terhenti ketika di bawah pohon palem wanita itu duduk memunggungi jalanan ditemani seorang pria yang usianya terbilang muda. Mereka adalah pasangan muda, batin Abian menebak. Terlihat dari bagaimana pria itu menimang bayinya yang terlihat kepanasan.

"Uang, uang, uang terus! Harusnya Ibu bisa sedikit lebih hemat. Aku sama Mas Reyhan lagi kesulitan ekonomi, Bu!" pekik wanita itu pada sambungan telepon. "Nggak bisa! Hari ini aku nggak bisa kirim uang. Lagipula untuk apalagi sih, Bu? Beli emas ...? Kurang emas yang Ibu punya, iya?"

Abian dibuat melongo dengan pemandangan di depan matanya. Bagaimana tidak ... peminta-minta yang mengaku belum makan sejak kemarin ternyata mampu membeli ponsel keluaran terbaru dengan harga di atas 5 juta. Abian tahu harga ponsel yang wanita itu gunakan karena Maya pun memakai merk yang sama.

"Ibu pikir cari duit gampang?! Buat apa sih banyakin perhiasan, toh di Perumahan itu rumah Ibu yang paling bagus. Semua orang juga tau kalau hanya dengan melihat rumah Ibu, Ibu itu orang kaya," ucapnya lagi. "Pokoknya nggak ada uang untuk minggu ini, aku sedang berhemat!"

Terlihat wanita itu mematikan sambungan telepon dengan kesal. Abian segera berbalik sebelum pasangan muda itu melihat dirinya yang berdiri mematung tidak jauh dari tempat mereka duduk. Hanya terpisah lampu dan kursi jalanan saja.

"Kamu nggak bilang kalau kita mau kredit mobil bekas di tempat Jaja?" 

Abian dibuat melongo dengan suara pria yang ada di belakangnya. Hingga sepersekian detik, ia kembali melangkah menuju mobil sambil geleng-geleng melihat pemandangan yang langka sekali menurutnya.

"Kalau mereka orang mampu, ngapain minta-minta?" Abian bermonolog. "Perhiasan, hape, lalu kredit mobil bekas ... banyak sekali tipu muslihat di dunia ini. Astaga ...."

Bersambung 

    

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sri Baron
utk memberi pemahaman ke pwmbaca tidak perlu minta maaf, krn utk jaman sekarang utk memberi pemahaman tentang bersedekah memang sangat perlu, agar benar2 bermanfaat.
goodnovel comment avatar
Lian Nai
Siap kakak...
goodnovel comment avatar
Nana Juliana
ngapain sebagai seorg penulis anda minta maaf..penulis berhak menuliskan apapun...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga   Terungkap

    Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men

  • Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga   Dipermainkan Takdir

    "D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia

  • Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga   Istri Reyhan?

    "Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha

  • Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga   Mengasuh anak dari wanita lain

    "Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki

  • Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga   Anak siapakah itu?

    "Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora

  • Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga   Belajar dari Kesalahan

    Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status