.
.
"Buru-buru amat?"
Abian menoleh, "Ada sedikit masalah di Restoran cabang. Titip urusan disini ya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku."
"Sudah kuduga ada yang nggak beres di Restoran kamu yang satu itu," sahut Dama.
Abian menghela napas kasar. Dama adalah sepupunya yang merangkap menjadi orang kepercayaan Abian di Restoran pertama milik Abian. Restoran yang paling besar dibandingkan dengan Restoran cabang yang lain. Tentu. Anggap saja itu sebagi Restoran utama. Bisnis pertama yang Abian geluti bahkan sebelum menikah dengan Maya.
"Beberapa hari belakangan saat kamu bilang Restoran itu sepi dan minus pendapatan per bulan ini, aku udah merasa janggal," papar Dama. "Pasalnya, tiga hari belakangan aku selalu melewati tempat itu, hanya saja ... maaf, Restoran itu masih tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, Bian."
Abian mengurungkan dirinya masuk ke dalam mobil. Sore ini ia mendadak meminta Dama untuk datang ke tempat pembangunan Restoran baru untuk menggantikan dirinya memantau para pekerja proyek disini.
"Kenapa nggak bilang?"
"Ya ... kalau kubilang kepala Restoran yang baru itu bermasalah, emang percaya?"
Abian mendengkus kesal. Selama ini dia tidak menemukan kesalahan dari pekerjaan Satria. Ia berpikir jika pria itu adalah pria bertanggung jawab yang bisa mengurus Restoran miliknya sementara waktu.
"Kenapa bisa tiba-tiba feeling sekarang? Ada yang bilang?"
"Maya," sahut Abian setelah menyentak napasnya kasar. "Tadi dia datang kesana untuk memastikan bahan dapur apa saja yang habis sampai-sampai Satria meminta dana tambahan dariku. Aku khawatir Restoran itu mendadak bangkrut itu sebabnya aku meminta bantuan Maya ...."
"Lalu ...?"
"Maya diperlakukan buruk karena mereka tidak tau kalau dia istriku."
Dama terbahak-bahak mendengar penuturan Abian. Bagaimana bisa istri dari pemilik Restoran tidak diketahui pekerjanya?
"Kok bisa? Maya nggak pernah ikut kesana?"
Abian merengut kesal. Tawa Dama mendadak terhenti melihat air muka sepupunya yang berubah mengerikan.
"Sorry ... tapi memang aku nggak habis pikir, bisa gitu para pekerja disana nggak kenal Maya?
"Maya bilang semua pekerja dirombak total. Pekerja lama nggak kelihatan batang hidungnya, yang ada hanya orang-orang baru termasuk satpam."
"Wah, itu udah nggak bener, Bian," sahut Dama menimpali. "Dan Satria nggak kenal istri seorang Abian?"
"Ck! Aku merekrut nya karena terburu-buru mengurus pembangunan restoran ini, Dam!" sahut Abian menyesali keputusannya. "Dia dan Maya belum pernah bertemu. Tau sendiri kan kalau dia jarang mau aku ajak berkunjung ke Restoran?"
Dama mengangguk membenarkan ucapan Abian. "Aku sempat heran, bisa-bisanya orang baru dapat kepercayaan penuh darimu. Dan ternyata feelingku benar, dia enggak bertanggung jawab."
"Pulanglah! Biar aku yang memantau perkembangan disini, besok pagi-pagi sekali aku bisa meluncur melihat pekerjaan di Resto Abimaya."
"Kamu selalu bisa diandalkan, Dam."
"Ini semua nggak gratis!" sela Dama bergurau. Abian tertawa dan berkata, "Harga saudara, seharusnya bonus satu kali gaji cukup kan?"
Mereka tertawa bersama sebelum akhirnya Abian pergi untuk kembali ke rumah setelah hampir satu minggu ia meninggalkan Maya di kontrakan sendirian. Ya. Rumah mereka hanyalah rumah kontrakan untuk tempat tinggal sementara karena rumah baru Abian sedang dibangun di ujung jalan Perumahan Citra Kencana.
Sudah satu bulan ini dia bolak-balik dari rumah ke tempat pembangunan Restoran baru. Tidak setiap hari melainkan satu minggu sekali pria itu akan pulang dan membawa Maya berkunjung ke rumah Sang Ibu meskipun istrinya setiap hari mendatangi rumah Sang Mertua untuk sekedar berkunjung dan berbagi makanan. Bukan tanpa alasan, jarak yang memakan waktu hampir tiga jam membuatnya terpaksa menginap di hotel terdekat agar mudah memantau pekerja disana.
Kesibukan Abian membuatnya abai pada Restoran cabang dan mempercayakan semua urusan pada Satria. Bahkan Abian hampir melupakan catatan bulanan yang sampai saat ini bel Satria setorkan.
"Mungkin ini teguran," gumam Abian. "Aku terlalu sibuk membesarkan nama sampai-sampai harus melalaikan beberapa tempat yang sudah aku bangun dengan susah payah," lanjutnya.
"Ah, seharusnya aku mengambil sopir pribadi. Bosan sekali menyetir mobil sendirian begini," gerutu Abian.
Tok ....
Tok ....
Tok ....
Kaca mobil Abian diketuk dari luar. Pria itu menurunkan separuh kaca dan bertanya pada seorang wanita yang sedang menggendong bayi di samping mobilnya.
"Bagi duit, Pak. Dari kemarin kami belum makan," ucapnya memelas.
Abian mengerutkan kening. "Usia berapa anaknya?"
"Tiga bulan," jawab wanita itu spontan. Abian mengangguk ragu. "Ya ... pantas saja belum makan, kan masih tiga bulan. Iya kan?"
Wanita yang sejak tadi menunduk itu mengangkat wajahnya dan menunjukkan raut tidak suka dengan jawaban Abian.
"Kok marah?" tanya Abian ketika menyadari gelagat aneh wanita yang ada di depan pintu mobilnya. "Saya salah?"
"Kalau nggak mau ngasih duit, bilang! Baru punya mobil aja sombong!" gerutu wanita itu sambil berlalu.
Lampu merah sudah berganti hijau. Wanita itu menepi, sementara Abian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Karena merasa bersalah, dia menepikan mobil dan memilih keluar untuk menemui wanita tadi. Kasihan juga sebenarnya, batin Abian. Meskipun memberi uang pada peminta-minta di jalan memang tidak dibenarkan. Tapi rasa iba mengalahkan semua larangan yang ada.
Langkah Abian terhenti ketika di bawah pohon palem wanita itu duduk memunggungi jalanan ditemani seorang pria yang usianya terbilang muda. Mereka adalah pasangan muda, batin Abian menebak. Terlihat dari bagaimana pria itu menimang bayinya yang terlihat kepanasan.
"Uang, uang, uang terus! Harusnya Ibu bisa sedikit lebih hemat. Aku sama Mas Reyhan lagi kesulitan ekonomi, Bu!" pekik wanita itu pada sambungan telepon. "Nggak bisa! Hari ini aku nggak bisa kirim uang. Lagipula untuk apalagi sih, Bu? Beli emas ...? Kurang emas yang Ibu punya, iya?"
Abian dibuat melongo dengan pemandangan di depan matanya. Bagaimana tidak ... peminta-minta yang mengaku belum makan sejak kemarin ternyata mampu membeli ponsel keluaran terbaru dengan harga di atas 5 juta. Abian tahu harga ponsel yang wanita itu gunakan karena Maya pun memakai merk yang sama.
"Ibu pikir cari duit gampang?! Buat apa sih banyakin perhiasan, toh di Perumahan itu rumah Ibu yang paling bagus. Semua orang juga tau kalau hanya dengan melihat rumah Ibu, Ibu itu orang kaya," ucapnya lagi. "Pokoknya nggak ada uang untuk minggu ini, aku sedang berhemat!"
Terlihat wanita itu mematikan sambungan telepon dengan kesal. Abian segera berbalik sebelum pasangan muda itu melihat dirinya yang berdiri mematung tidak jauh dari tempat mereka duduk. Hanya terpisah lampu dan kursi jalanan saja.
"Kamu nggak bilang kalau kita mau kredit mobil bekas di tempat Jaja?"
Abian dibuat melongo dengan suara pria yang ada di belakangnya. Hingga sepersekian detik, ia kembali melangkah menuju mobil sambil geleng-geleng melihat pemandangan yang langka sekali menurutnya.
"Kalau mereka orang mampu, ngapain minta-minta?" Abian bermonolog. "Perhiasan, hape, lalu kredit mobil bekas ... banyak sekali tipu muslihat di dunia ini. Astaga ...."
Bersambung
. . Maya membuka pintu dan bersedekap dada menatap Dahlia di depan pagar rumahnya."Keterlaluan kamu, Mbak Maya!" ucap Dahlia, "Sadar diri dong, Mbak ... kamu itu orang baru di sini, jangan bikin onar apalagi ngirim-ngirim rekaman CCTV di grup!"Maya menaikkan satu alisnya. "Memang ada larangan kalau orang baru nggak boleh membela diri, Mbak Lia?"Dahlia meradang. "Aku bisa laporkan ini ke polisi loh, Mbak Maya," ancamnya sambil tersenyum sinis. "Orang susah kayak kamu yakin bisa mengelak dari jerat hukum?"Maya tertawa lebar. Dia mengibaskan tangan di udara dan memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan Dahlia yang mengomel di depan rumahnya. Tak jarang wanita itu mengumpat dan menghina Maya dengan teriakan-teriakan lantang.Ting ....|Karena grup mulai tidak kondusif, saya selaku ketua RT untuk sementara mengaktifkan mode senyap dan hanya admin yang bisa berkirim pesan||Sekiranya Mbak Lia memang bersalah, tidak ada salahnya meminta maaf pada Mbak Maya||Karena dari pengamatan saya
. . Maya sudah bersiap dengan setelan blazer berwarna nude dengan kaos ketat berwarna putih sebagai dalamannya. Tak lupa, kalung berlian berbentuk bulat dengan aksen mungil melingkar indah di lehernya yang putih dan jenjang. Satu gelang dan satu cincin emas putih menambah kesan betapa mewah dan elegan tampilan Maya kali ini. "Mau pakai mobil apa motor?" tawar Abian. Maya yang sedang memoles bibir pun menoleh. "Mobil dong, Mas. Sekalian ke rumah Ibu sepulang dari Restoran nanti."Abian mengangguk patuh. Dia memilih keluar dan memanaskan mesin mobil terlebih dahulu.Setelah dirasa cukup, Maya membuka lemari tas-nya dan mengambil salah satu koleksi tas paling mahal miliknya. Tas kecil berwarna putih semakin menyempurnakan tampilan Maya siang ini."Wah, Mbak Maya sudah siap juga ternyata. Mau ikut gabung di mobilnya Bu Sur?" Bu RT menyapa Maya yang kebetulan hendak membuka pintu pagar. "Saya bareng Mas Abian saja, Bu," tolak Maya halus. "Sepulang nanti mau sekalian berkunjung ke rumah
. . "Masih punya muka mau ikut makan-makan di Restoran Mas Sat, Mbak Maya?" sindir Eti. "Eh, pakai bawa-bawa suami lagi. Ketemu dimana, di rumah istri barunya?""Kalau aku jadi Mbak Maya, nggak kebayang gimana malunya, ya nggak, Bu Sur?" celetuk Bu Hanum sambil melirik Bu Sur yang terlihat mulai antusias. "Sudah bikin keributan, jambak-jambak rambutnya Eti, eh ... sekarang datang bawa suami mau makan gratis. Astaga ...."Dahlia dan Bu Sur tergelak. Juga beberapa ibu-ibu yang lain yang hidupnya hanya sebatas ikut-ikutan saja. Sementara Bu RT dan Bu Puji saling pandang, merasa suasana sebentar lagi pasti memanas."Kalau sudah puas menghina istri saya, mari masuk!" Abian merangkul bahu Maya dengan mesra membuat bibir Eti mencebik dan menoleh ke belakang dimana Satria berdiri terpaku dengan keringat dingin yang mulai bercucuran."Mas, ayo! Masa yang ngajakin ibu-ibu masuk malah dia sih, harusnya kan kamu. Tuan rumah di Restoran ini," teriak Eti kesal. "Jangan lupa sama janji kamu kemari
.."Sudah, cukup!" Suara bariton Abian membuat suasana yang semula memanas jadi makin panas. "Kamu yang menjelaskan, atau saya yang mengatakan kebenarannya di depan semua orang, Satria?"Eti menoleh. Wajahnya memerah mendengar Abian memanggil suaminya tanpa embel-embel "Pak.""Ngelunjak ya kamu!" desis Eti. "Pekerja seperti ini masih kamu pertahanan? Iya, Mas?""Diam, Eti. Diam!" bentak Satria lantang. "Aku lama-lama muak mendengar suaramu. Bisa tidak kamu diam?"Eti terperanjat. Kedua matanya memanas bahkan kristal bening sudah siap meluncur karena ini kali pertama Satria membentaknya di depan banyak orang."Ka-- kamu bentak aku, Mas?""Kamu ... kamu lebih membela suami Mbak Maya ini daripada aku, iya?""Apa susahnya kamu pecat dia, Mas? Dia cuma tukang cuci piring, itu kan yang kamu bilang?""Setelah apa yang Mbak Maya lakukan ke aku, rambutku rontok, kepalaku pusing, dia jambak-jambak aku di depan Restoran dan sekarang kamu justru membela suaminya?" "Apa yang ada di otak kamu, Ma
"Keterlaluan kamu, Mbak Maya!" geram Eti. "Jangan mentang-mentang kamu istri dari pemilik Restoran ini lalu bisa bersikap seenaknya ya!"Maya tergelak. Dia bertepuk tangan melihat Eti yang sedang menangis. Playing victim!"Hei, bukankah kamu yang lebih dulu bersikap angkuh dan mentang-mentang sebagai istri dari kepala pelayan lalu dengan sombongnya mengusirku tanpa memberikan kesempatan buatku mengatakan siapa aku sebenarnya," sahut Maya. "Kamu yang keterlaluan, Mbak Eti! Kamu mendorongku sampai terjerembab di depan Restoran, tidak mendadak amnesia, bukan?"Eti melengos sementara Satria mati kutu tidak bisa menyangkal semua kebenaran yang Maya katakan. "Ta-- tapi itu bukan salahku. Lagipula kenapa semua pekerja disini tidak mengenalmu, hah?""Mbak Eti ingin tau jawabannya?" tanya Maya sinis. "Dia ... suami kamu sudah memecat semua pekerja dan menggantinya dengan pekerja baru tanpa ijin dari suamiku! Dia ... suami kamu yang berlagak seakan-akan ini adalah Restoran miliknya ... menilap
"Wah, siapa tuh? Cantik banget ya, jangan-jangan selingkuhannya Mas Satria," tuduh Dahlia.Eti yang mendengar celetukan Dahlia seketika menoleh dan melempar tatapan tajam."Kalian mau pulang kan? Kenapa masih ada disini, hah? Sana pulang!" usir Eti geram. "Tetangga seperti kalian hanya mau enaknya saja. Giliran ada yang kesusahan sok buta semuanya!"Bu Sur mencebik. Dia melangkah lebih dulu meninggalkan Restoran sembari memainkan gelang di tangannya."Beruntung Hesti bebelian emas tanpa menilap uang orang lain. Duh, ngeri sekali jaman sekarang ya," sindir Bu Sur. "Pantas saja maharnya emas sampai puluhan gram, eh ... nggak taunya. Ayo lah, ibu-ibu kita pulang saja."Wajah Eti memerah. Sejenak ia lupa pada sosok wanita cantik di depannya. Wanita itu terlihat heran dengan apa yang ia lihat di depan mata."Mas Satria lupa siapa saya?" tanya wanita itu. "Indira, Mas. Teman Nabila, istri kamu ..
"Nggak kebayang deh jadi Mbak Eti, udah suaminya tukang tipu, eh ternyata udah punya istri pula," celetuk Bu Sur memulai obrolan di dalam mobil.Mobil yang seharusnya muat hanya untuk delapan orang, terpaksa diisi sepuluh orang dengan bentuk tubuh yang beberapa diantaranya memang terlihat subur."Ah, biarin aja, Bu Sur! Salah sendiri sombong, bilang-bilang ke semua tetangga katanya mahar dari suaminya emas tiga puluh gram, belum lagi koar-koar katanya Satria mau beli Restoran. Eh ... nggak taunya," sahut Bu Hanum julid. "Orang sombong ya gitu emang. Ada aja balasannya."Bu Puji geleng-geleng mendengar ucapan Bu Hanum. Jika berbicara, wanita itu suka lupa berkaca. "Yang keterlaluan itu Mbak Maya, sudah tau Mbak Eti kesusahan, dapat masalah sama suaminya, eh ... masih saja ancam-ancam Satria mau dipecat. Nggak punya hati memang!" Dahlia mengompori. "Harusnya ikhlaskan saja uang segitu ya, itung-itung bantu tetangga. Ya kan?""Kalau bicara itu dipikir dulu, Mbak Lia," sela Bu Puji. Lida
"Tumben jalan-jalan sampai ke sini, Mbak Maya?" sapa Bu Sur basa-basi. Maya menoleh, dia melempar senyum tipis tapi enggan menanggapi pertanyaan tetangganya yang satu itu."Budek! Baru ketahuan kaya udah budek," gumamnya lirih.Maya mencebik. "Mau lihat-lihat rumah di sekitar sini, Bu," jawab Maya pada akhirnya. "Oh ya, rumah Mbak Lia kenapa dari kemarin tutup ya, Bu Sur tau dia kemana?"Bu Sur berdiri di depan rumah sambil menenteng satu kotak kue lapis khas Surabaya. "Eh, emang iya? Wah, padahal aku mau kasih kue ini ke Dahlia. Kasihan, dia itu tampang dan lagaknya aja sok kaya, padahal mah aslinya ....""Bu Sur, tumben banget ngobrol sama Mbak Maya. Nggak lagi cari kesempatan dalam kesempitan kan?" sindir Bu Hanum lantang. Wanita berusia matang itu berjalan mendekat. Maya menghela napas kasar. Rencana ingin melihat-lihat pembangunan rumah barunya pupus lah sudah karena ada dua manusia paling julid di perumahan tempatnya tinggal."Ck! Mbak Maya ini loh, Bu Hanum, katanya mau lihat-